Hujan yang Turun di Mata Aspal
dari hujan yang turun di mata aspal
lubang hitam memandangku
pada malam di kakimu
kau menggigil bersama jalan pulang
ketika hujan jatuh terasa jauh
di hadapan lampu yang redup itu
seakan mengubur waktu
tak lebih sepi, kecuali jatuh sendiri
di antara kerikil-kerikil kelam yang basah
bulan desember ikut berdarah
di lutut, masih kau ditatap mata aspal
yang membesar dalam larut
2019
Jika Saja Hujan Pandai Memaafkan
jika saja hujan pandai memaafkan
kesedihan di matamu
bolehkah aku kembali mencintaimu
menangkap semua dingin
yang berloncatan dari tanganmu
sedang ingatanmu masih perih
melupakan orang lain
2019
Sesal Hujan
luka-luka yang basah
jadi seribu pertanyaan kosong
dalam perjalanan
menuju kota resah
kita tak bertemu
dan tak kembali
pada suhu yang dingin
kita menjadi beku
mengapa hujan
selalu turun di hatiku
sebagai sesal
yang mengenangmu?
2019
Keterangan buku
Judul: Mawar
Kertas untuk Mama
Penulis: Reyhan
M. Abdurrohman
Penerbit: CV.
Reybook Media
Tahun: 2021
Tebal:
viii+112 halaman
ISBN:
978-623-92669-9-8
Di sore hari yang gerimis, saya
menerima sebuah paket berisi buku terbaru teman saya, Reyhan. Buku dengan
sampul putih bergambarkan seorang perempuan yang membawa bunga mawar. Cantik. Mawar
Kertas untuk Mama, judul buku itu. Segera setelah saya menerima buku tersebut,
saya kirim pesan ke Reyhan dengan pertanyaan apakah saya akan berjarak ketika
membaca bukunya mengingat sudah lama sekali saya tidak membaca cerita remaja.
Jarak kedua adalah saya mengira cerita yang ditulis Reyhan adalah cerita
masa-masa remaja yang menyenangkan, sedang masa remaja saya lebih dekat dengan
kesuraman daripada kebahagiaan. Kesimpulan prematur saya adalah, saya akan
kurang menikmati cerita dalam kumpulan cerita yang ditulis Reyhan.
Ternyata saya keliru. Meski
cerita yang disajikan memang remaja banget, saya sungguh menikmatinya.
Cerita-cerita di buku ini bukan seperti cerita-cerita remaja di sebuah platform
menulis (meski banyak juga cerita bagus di sana) yang klise dan kurang riset.
Saya selalu berprinsip bahwa entah bagaimanapun bentuk tulisan, harus tetap
riset, tidak cacat logika, agar tidak ngawur. Tanpa terasa saya sudah
merampungkan 15 cerita dalam buku ini dalam waktu kurang dari dua jam.
Cerita-cerita dalam kumcer ini memang singkat namun bisa membuat orang tidak
berhenti untuk membacanya.
Saya mengamati di masyarakat
ataupun di media sosial tidak sedikit orang yang meremehkan permasalahan yang
dihadapi remaja. Perasaan remaja dianggap remeh dan tidak valid. Padahal apa pun
perasaan yang dihadapi manusia baik tua ataupun muda adalah valid. Mungkin
orang dewasa menganggap masalah putus cinta bagi remaja adalah hal yang remeh,
tapi bukan bagi remaja itu sendiri. Mereka juga punya perasaan yang harus
diakui. Hal inilah yang diangkat Reyhan dalam cerita-ceritanya. Remaja di dalam
cerpen-cerpennya mengalami jatuh cinta, cemburu, kecewa dengan teman atau
keluarga, ambisius mendapatkan sesuatu, caper, minder, dan sebagainya. Masalah
remaja memang kompleks. Tidak hanya orang dewasa saja.
Remaja dan cinta memang tidak
terpisahkan. Saya senyum-senyum sendiri ketika membaca kisah cinta di cerpen Bir
Pletok, Menjemput Salsa, Jas untuk Rengga, Tak Mau Terganti, dan My Love.
Dalam cerpen Bir Pletok dan Jas untuk Rengga, kita bisa menebak
kalau penulis cerpen ini adalah orang yang dulunya bersekolah di sekolah
kejuruan. Dalam Bir Pletok saya menduga tokoh-tokoh di cerpen ini
belajar di jurusan tata boga ketika membaca dialog ini.
“Pak Anggoro (guru kuliner di
sekolah) yang bilang. Saat praktik kemarin, katanya punyamu paling enak.”
Aku tersipu, “Benarkah?
Padahal ini minuman yang sangat mudah.”
“Nggak bagiku. Aku tak tahu
berapa banyak perbandingan jenis rempah yang direbus: jahe, kayu secang, batang
serai, dan rempah lainnya.” (halaman 3).
Sedangkan cerpen Jas untuk
Rengga, remaja dalam cerpen tersebut bersekolah di jurusan Tata Busana.
Tugas semesteran ini cukup
menantang. Anak jurusan tata busana diberi tugas untuk membuat setelan busana
pria. Jelas tugas ini punya kesulitan tersendiri, karena Bu Indira menuntut
untuk membuat busana yang unik dan indah sesuai dengan karakter orang yang
memakainya. Siapa yang akan memakai ditentukan dari lintingan-lintingan kertas
yang diambil berurutan. (halaman 50).
Saya suka ending cerpen
ini, berisi twist yang mengejutkan dan yang membuat pembaca tidak bosan
adalah kita diberi referensi keadaan sekolah di luar sekolah umum.
Tema keluarga juga diangkat dalam
cerpen-cerpen yang ditulis Reyhan seperti dalam cerpen Membeli Rindu dan
Mawar Kertas untuk Mama. Membeli Rindu adalah salah satu cerpen
favorit saya. Tema poligami atau perselingkuhan ternyata bisa ditulis dari
sudut pandang remaja yang sedang merajut cinta. Sepertinya memang keahlian
Reyhan untuk membuat twist di akhir cerpennya. Twist yang membuat
hati pembaca seperti saya ikut merasa ngilu.
Aku menyerahkan HP-nya lagi.
“Bukan, Cuma SMS. Tidak kubaca, kok. Itu di wallpaper foto siapa?”
Ia tersenyum, “Aku dan
Mama-Papa.” Ia menunjukkan lagi foto itu. Mendadak dadaku sakit luar biasa.
Kenyataan apa ini? Itu papaku, Aira. (halaman 39)
Mawar Kertas untuk Mama
juga cerpen yang kelabu tentang kerinduan seorang anak kepada ibunya. Meski
saya kurang sreg dengan bagian si tokoh menyuruh anak kecil untuk merekam
pacarnya di pemakaman, tapi saya suka informasi yang diberikan penulis tentang
fobia, dalam hal ini adalah fobia bunga mawar. Banyak sekali fobia di dunia
ini, bahkan yang kadang kita sendiri tidak memikirkannya kalau fobia tersebut
benar-benar ada.
Saya teringat novel Balada Si
Roy ketika membaca cerpen Satu Syarat Terakhir dan Good Boy.
Tentang remaja yang ingin menunjukkan eksistensi dan pemberontakan. Meski dalam
cerpen ini penulis terkesan main aman dengan membuat akhir cerita yang berisi
pesan moral dan membahagiakan pembaca. Tapi tema yang diusung memang masalah
yang dihadapi remaja untuk mencoba hal-hal baru meski hal baru itu adalah
sesuatu yang tidak baik. Tema yang akan selalu relevan dari masa ke masa.
Tema insekuritas juga menarik
perhatian saya dalam cerpen Anggun Ingin Kurus. Persoalan berat badan
ini sepertinya adalah masalah abadi dalam hidup seorang perempuan dari remaja
sampai dewasa. Ending yang lucu membuat cerita tidak terkesan berat dan
menggurui. Tema tentang obsesi juga ditampilkan Reyhan dalam cerpen Badai di
Hati Tara dalam bungkus yang “sekolah banget” yaitu selalu ingin
mendapatkan ranking satu. Dalam konteks yang lebih luas bukankah banyak orang
memang ingin menjadi nomor satu atau yang dinomorsatukan? Persaingan lain juga
kita dapatkan dalam cerpen Sepatu Amira. Terlihat penulis sangat
memperhatikan fashion yang sedang hits dan lagi-lagi ia berhasil membuat
ending yang ciamik. Saya juga menaruh perhatian pada cerpen Gue Bakal Jujur.
Penulis ingin mendobrak stereotype anak laki-laki yang harus melakukan kegiatan
yang dianggap macho. Dalam cerpen ini tokoh aku suka ikut kegiatan cheerleaders.
Anak laki-laki joget-joget dan melakukan akrobatik seperti cheerleader perempuan,
kenapa tidak? Meski ia juga mengalami ketakutan untuk mengakui pada awalnya.
Ada juga tema yang sebenarnya ingin dibahas penulis, yaitu homoseksualitas
dalam cerpen Tak Mau Terganti, namun sepertinya penulis juga bermain
aman dengan membuat ending bahwa tokoh dalam cerpen itu ternyata seorang
hetero. Padahal sebagai pembaca saya berharap tokoh dalam cerpen tersebut
benar-benar seorang gay agar bisa tahu bagaimana cara menghadapi masalah yang
ditimbulkan. Tapi tentu saja penulis adalah tuhan untuk karyanya, terserah mau
dibuat apa.
Masih ada cerpen lain seperti
cerpen sendu berjudul Menunggu Hujan, atau cerpen yang akan mengingatkan kita
pada adegan FTV seperti dalam cerpen Menjemput Salsa, My Love, dan Cucu Ketua
Yayasan. Saya membayangkan ketika membaca cerpen-cerpen tersebut ada lagu
D’Bagindas yang mengiringinya. Meski secara pribadi saya kurang suka dengan
gaya dialog gue-elo di beberapa cerpen, tapi saya tetap menikmati cerpen-cerpen
ini. Gaya gue-elo sangat sah digunakan selama latar tempat dan kondisi
mendukung. Reyhan bisa melakukannya. Ia menulis cerpen dengan gayanya sendiri
tanpa mengesampingkan logika. Akhirnya saya bisa terhibur dan membayangkan
mempunyai masa remaja yang penuh warna seperti dalam cerita-cerita yang ditulis
Reyhan. Meski masa-masa di sekolah itu tidak harus menjadi masa paling indah
seperti dalam lagu Kisah-Kasih di Sekolah-nya Obbie Mesakh.
Gondangrejo, 14 Februari 2021

Kompleksitas Permasalahan Remaja dalam Kerenyahan Cerita
MASUKLAH KE RUMAHKU
tuan
cobalah masuk dengan perlahan
aku punya rumah tentang a ba ca
tapi jangan kau baca dengan keras
aku tak mampu menangkapnya dengan jelas
tuan
saat kau pegang pundakku
lalu kau bercerita tentang laut biru
aku merasa ingatanku bagai hujan berlompatan
lepas kutangkap lari berhamburan
tuan
coba kau bawakan sepasang cahaya
barangkali gelap akan menemukan pintunya
sudah lama kaki ini berjalan melambat
meraba dinding beralas ujung mata tongkat
tuan
nyanyikanlah aku lagu-lagu merdu
agar ruang senyap di kepalaku kembali riuh
setelah sekian waktu tak kudengar suara
hanya gerak jemari sebagai jalan bicara
tuan
masuklah ke rumahku
singgah untuk sekadar mencumbui senyap waktu
yang hampa suara
yang hilang cahaya
rumahku tersusun dari huruf -huruf lumpuh
dari bibirku pintu-pintu itu terbuka teduh
mengajak tuan sejenak bicara
duduk bersimpuh bersilang rasa
Undaan, 1 Februari 2021
INI HUJAN BUKAN
hujan
dan segala tentang payah
derainya menjadikan genting
semak dan reranting
di sepanjang sungai harap
antara bulir dan air
di pematang menunggu gilir
hujankah
disalah
orangorang kalah
Undaan, 29 Januari 2021
HUJAN YANG KESEPIAN
aku pernah melihat hujan malam-malam
hinggap di dahan dan ranting
sendirian
ia bertanya kepada daun
kemanakah awan
sejak ia memaksa mendung dan mengutusku menjadi hujan
aku diam-diam ditinggalkan
hadirku sering disambut dingin
sementara rumahrumah itu terlalu rapat dan asing
membiarkanku basah dan rebah
lantas menelantarkanku ke tanah
malam ini aku sedia bertahan
sebab dahan dan ranting setia mengajarkan
menjadi tabah menerima kesunyian
sementara orangorang datang seperti angin
sesaat dan dingin
biarlah aku
menjadi hujan
yang menuntaskan kesepian
Undaan, 16 Desember 2020
Puisi-Puisi Mangir Chan; Masuklah ke Rumahku
Zaman terus bergerak maju. Teknologi berkembang begitu pesat. Di era digital seperti sekarang ini, informasi bisa didapatkan seseorang dalam genggaman tangan, melalui media gawai. Semakin terjangkaunya harga smartphone, serta adanya mesin pencaraian seperti Google, membuat seseorang semakin mudah mendapatkan informasi apa pun dalam dalam waktu singkat. Tak terkecuali informasi-informasi yang berkaitan dengan kesehatan mental. Hal tersebut tak jarang meggoda seseorang untuk mencari tahu mengenai gejala-gejala yang dialami oleh seseorang tersebut dan membuatnya melakukan self-diagnose.
“Aku merasakan moodku berubah-ubah, sepertinya aku mengidap bipolar.”
“Ketika malam hari aku sering mengalami insomnia, dan juga merasakan kesediahan yang berkepanjangan. Sepertinya aku mengalami depresi.”
Self-diagnose ialah upaya yang dilakukan seseorang untuk mengdiagnosis dirinya sendiri berdasarkan informasi yang didapatkan sendiri dari berbagai sumber, bukan berdasarkan diagnosis yang dilakukan oleh tenaga ahli dan profesional di bidangnya, seperti psikolog ataupun psikiater.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh The Tinker Law Firm menghasilkan data sebagai berikut: sebesar 40% dari 3000 warga negara Amerika Serikat melakukan self-diagnose. Jika data tersebut dikalkulasikan, dari 3000 orang warga negara Amerika Serikat terdapat 1320 orang yang melakukan self-diagnose secara online. Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa amat banyak warga negara Amerika Serikat yang melakukan self-diagnose.
Lantas apa imbasnya jika kita melakukan self-diagnose?
Memang benar dengan cara melakukan self-diagnose memungkinkan seseorang untuk lebih menyadari terhadap apa yang sedang terjadi di dalam dirinya. Hal tersebut bisa memicu seseorang untuk pergi menemui psikolog ataupun psikiater. Dengan tujuan untuk memenatau lebih dalam terkait dengan kondisi kesehatan mental yang dialami oleh seseorang tersebut.
Namun, akan berbeda ceritanya jika seseorang tersebut tidak memiliki pikiran yang kritis ataupun orang-orang awam yang tidak tahu-menahu seluk-beluk mengenai dunia kesehatan mental. Hal tersebut akan memungkinkan seseorang tersebut tingkat kesehatan mentalnya lebih buruk jika dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Melakukan diagnosis terhadap diri sendiri mempunyai peran terhadap kesehatan mental pada diri seseorang, yaitu memunculkan kekhawatiran pada diri seseorang, padahal hal tersebut yang sebenarnya sangatlah tidak perlu. Tidak menutup kemungkinan seseorang yang melakukan self-diagnose lama-kelamaan memicu munculnya gangguan kecemasan secara umum yang diakibatkan dari rasa khawatir setelah melakukan self-diagnose. Gangguan kecemasan umum ialah kondisi mental yang umumnya ditandai dengan kekhawatiran yang berlebih terhadap situasi tertentu.
Selain menimbulkan kekhawatiran pada diri seseorang, self-diagnose bisa menimbulkan masalah baru yaitu membuat masalah kesehatan mental yang terjadi pada diri seseorang jadi tidak terdeteksi. Permasalahan terkait gangguan mental biasanya tidak muncul secara sendirian, namun juga diiringi dengan gangguan mental lainnya.
Jika Anda merasakan ada yang tidak beres pada diri Anda, khusunya yang berkaitan dengan kesehatan mental, alangkah baiknya sesegera mungkin menemui tenaga ahli seperti psikolog ataupun psikiater terdekat yang berada di kota Anda.
Kenapa harus pergi menemui psikolog ataupun pasikiater?
Hal tersebut dikarenakan ketika didiagnosis oleh psikolog ataupun psikiater, ada pihak yang bertanggung jawab ketika suatu diagnosis yang dilakukan oleh tenaga ahli dan profesional di bidangnya tidak akurat. Bayangkanlah jika suatu diagnosis itu kita dapat dari dunia maya. Apakah akan ada orang yang bertanggung jawab terhadap kesehatan mental Anda?
Sumber Reverensi:
https://www.halodoc.com/artikel/bahaya-self-diagnosis-yang-berpengaruh-pada-kesehatan-mental
https://pijarpsikologi.org/self-diagnose-tidak-akan-menyembuhkan-kekhawatiranmu/
https://psikologi.unisba.ac.id/artikel-kegiatan-psycreticle-self-diagnose-muhammad-lazuard-ramdhani-10050017102/

Self-Diagnose dan Bahaya yang Mengintai
Satu tahun berlalu, namun yang dibilang banyak orang benar juga. Kalau benci, yang baik pun akan terlihat jelek. Dan kalau sudah cinta, tai kucing pun harum baunya.
“Anak baru, telat melulu!” caci Bu Anggun setibanya aku di kantor.
Ya, aku memahami iklim di madrasahku, dan barangkali ini situasi yang lumrah. Ada kesalahan kecil, diviralkan. Dan soal keterlambatanku, memang susah dimaklumi. Bila kupikir-pikir, memang salahku sendiri sih. Tidak seharusnya aku menerima pekerjaan di tempat sejauh 15 km dari rumah. Selain itu, mereka tak sadar kondisi jalanan pada jam setengah tujuh hingga pukul tujuh pagi. Terlambat sepuluh-dua puluh menit tidak ada apa-apanya dibanding bila aku harus mengebut, melewati banyak truk, atau menyalip beraneka macam pengendara yang tak bisa dipastikan lampu seinnya. Maklum saja, rumah Bu Anggun hanya beberapa belokan saja dari madrasah.
“Kamu tahu Filosofi Teras?” tanya suamiku suatu malam. Waktu kami berdua mengobrol santai. Hampir setiap malam kami jadikan sesi curhat.
Aku menggeleng.
Suamiku seorang penulis, tapi menurutku dia lebih banyak menjadi pembaca. Di mana pun tempatnya, yang dibawa adalah buku. Di taman, di kafe, di rumah sakit, di bengkel, di kamar mandi, tidak heran bila banyak hal yang ia tahu. Seringkali aku menganggapnya seperti Mr. Owl dalam animasi Tinkerbell. “Filosofi ini meyakini, bahwa ada hal-hal yang di luar kendali kita, seperti omongan teman-temanmu, juga kerewelan anakmu. Tapi, kamu bisa mengendalikan sikapmu menghadapi semua itu.”
Benar juga, aku memang tidak bisa mengendalikan mulut mereka, mereka juga tidak bisa mengendalikan jam kedatanganku, tetapi aku bisa mengontrol sikapku ketika digunjingkan di belakang.
Aku memilih untuk diam dan tersenyum. Hidup bukan seputar mulut mereka saja.
Maka kujalani hidupku dengan tempelan catatan evaluasi di sana-sini. Toh ke depan aku bisa jadi lebih banyak digunjingkan. Apa karena mereka kadung tak suka padaku? Yang mereka komentari bukan soal telat lagi. Tapi, juga soal cara mengajarku, caraku memberi penilaian pada murid-muridku (aku tahu kemudian bahwa cara mengajar dan memberi nilai tidak seideal yang kutahu), sampai hal-hal yang sebenarnya hanya mereka buat-buat untuk menaikkan pamor di depan kepala madrasah atau sekadar bikin ramai di kantor. Biarlah mereka sibuk mendefinisikan aku, sementara aku sibuk menyusun kesuksesanku.
Sukses? Ya ini berkaitan erat dengan nominal gajiku. Kau tahu sendiri kan, gaji guru-guru swasta di kota ini. Dan aku mulai menyadari, semenjak aku kerja, perekonomian keluargaku bukannya membaik, justru kebutuhan membengkak. Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Kesempatan mengajar di madrasah sudah sesuatu yang mewah bagiku. Melihat mereka lancar dan tartil membaca Al-Qur’an, mulai terkena virus membaca yang kudapat dari suamiku, dan mulai terpantik pertanyaan-pertanyaan dari mereka soal sastra. Itu sudah luar biasa.
Kondisi ini, memperkuat keputusanku untuk berjualan. Pada dasarnya ini hobiku, dan selama ini aku menjadi dropshipper. Ada yang order, kuambilkan, kalau tidak ya promosi saja. Semakin lama, kebutuhan hidup bertumbuh. Aku jadi menganggarkan sebagian gajiku untuk menyetok barang, untuk berjaga-jaga saat tanggal tua. Biar tetap ada barang yang bisa dijual tanpa harus ambil dulu dari supplier saat ada orderan. Karena di antara kendalaku adalah ada yang pesan, tak ada modal untuk ambil barang. Sementara pembeli minta pembayaran COD, atau masih keluarga sendiri yang membuatku pakewuh untuk meminta dibayar dulu.
Banyak stok dagangan di rumah membuatku tergoda untuk membawanya ke sekolahan. Barangkali ada yang berminat kemudian membeli.
"Aku juga dulu sepertimu, Bu," curhat Bu Jelita. "Dulu aku sering membawa jualanku ke sekolahan. Aku juga membuka stan di berbagai acara. Karena nggak bisa dipungkiri jiwa enterpreneur-ku besar saat itu." Ia berhenti sebentar. Sepertinya sedang menyusun kenangan pahit. "Aku malah baru tahu beberapa waktu kemudian, ada yang berkomentar, guru kok nyambi dodolan, yah mau gimana lagi, akhirnya mereka sukses mematahkan semangatku. Sejak itu, aku tetap berjualan, tapi di luar sekolahan," tuturnya.
Aku memahami apa yang dikatakan Bu Jelita. Ini juga tamparan bagiku. Apa setiap kubawa daganganku, mereka berkomentar seperti itu? Padahal apa salahnya jualan? Jualan juga pekerjaan baik. Nabi Muhammad SAW juga jualan, sampai sejauh Negeri Syam. Kita hanya guru, yang jiwanya belum tentu lebih bersih dari selembar HVS. Prestise guru seolah tak mengizinkan berprofesi pendukung sebagai penjual tas, sosis, kopi, parfum, baju, dan sebagainya. Pada dasarnya manusia memang tidak bisa terlepas dari lingkaran muamalah.
Sejak itu, aku jarang bawa dagangan. Aku mulai fokus di penjualan online. Di sekolah, aku seorang guru. Baru seusai mengajar, aku mengatur jadwal COD, aku memberi tiga titik pilihan, Simpang Tujuh, Museum Kretek, atau Menara Kudus.
Masa-masa untuk membuktikan aku sebagai seorang guru perlahan merembet mendekat. Pertengahan Februari madrasah kami bersiap-siap menghadapi PKKM, semacam penilaian dari Departemen Agama bagi para kepala madrasah. Minggu itu menjadi minggu yang sibuk, dengan berbagai job desk masing-masing.Yang wajib bagi setiap guru adalah pembuatan RPP, semacam lesson plan namun jarang digunakan dalam pembelajaran.
Januari sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar, di mana ada beberapa poin yang mengatur pendidikan dasar dan menengah di negara berkembang ini. Salah satunya yakni RPP ringkas, cukup satu lembar. Kebijakan ini mengundang empati para guru yang selama ini terbebani berkas yang rumit dan berjilid-jilid. Pun aku. Dan kebijakan ini sangat membantuku dalam menyiapkan momen PKKM. Aku segera mengeprint contoh RPP selembar tersebut dan membawanya ke kantor kepala madrasah. Meski telah menonton video persnya, aku juga butuh persetujuan kepala madrasahku.
"Lho, ini tuh belum resmi. Ga bisa pakai yang begitu!"
Di luar ekspektasiku, respon beliau setengah marah dan seolah meledekku habis-habisan. Aku yang waktu itu bersama Bu Endang langsung malu. Sedikit geram, tapi kuhargai keputusan itu. Mungkin saja aku yang kurang memahami info ini.
Hari berikutnya, Bu Endang berbisik kepadaku, "Bu, teman-temanku yang mengampu di SMP bilang kalau sudah bikin format selembar sejak setengah bulan yang lalu."
"Ya sudah nggak apa-apa, Bu, anggap aja yang dibutuhkan bukan yang itu," jawabku berusaha menenangkannya juga.
Bagiku itu bukan masalah besar. Lebih prioritas memikirkan lauk apa yang nanti sepulang sekolah kumasak.
Job desk yang diberikan kepala madrasah padaku kini bertambah. Aku diamanahi membuat power point sebagai bahan tayang saat mempresentasikan profil sekolah. Dulu aku sangat suka membuat power point, namun karena sudah tidak ada kebutuhan, aku jarang membuatnya. Kini aku mengenang kembali kemampuanku merancang slide. Seharian di lab komputer tidak terasa bila mengerjakan sesuatu yang menyenangkan.
Tak kusangka hasil power point yang kugarap dibagikan di Grup WA Guru. Beliau memberi caption, "Profil sekolah untuk bahan tayang. Ternyata Bu Rini punya bakat luar biasa dalam membuat power point." Kiriman itu mengundang komentar positif dari teman-teman. Aku tidak sempat memilah mana yang penuh tendensi, mana yang tulus dari hati.
Dalam hati aku tertawa. Memang sih aku suka merancang slide, namun itu bukan seluruhnya buatanku. Aku tinggal mengunduh template dan mengedit gambar, ikon, keterangan, dan transisinya.
"Makanya aku pernah dengar, sekarang ini, semua orang bisa terlihat ahli. Di internet sudah tersedia berbagai informasi. Tergantung kita, bisa tidak mendayagunakan itu semua. Kadang kan banyak orang mau download saja salah klik, yang muncul malah iklan," terang suamiku seusai menyimak curhatku.
Diam-diam aku mengagumi ketegaranku sendiri. Setelah ditertawakan, kemudian dipuji. Setelah diperosokkan ke gua yang dalam dan penuh mata-mata merah, kini dilambungkan ke awan penuh pelangi. Saat mengalami keduanya, aku diam, tersenyum, mendengarkan. Ke depan, bisa jadi aku akan menjadi bola pantul, menubruk tanah dan mengangkasa.
Sebagaimana tembang Mijil yang digubah oleh Sunan Kudus, "Dedalane guno lawan sekti/ Kudu andhap asor/ Wani ngalah dhuwur wekasane/ Tumung kula yen dipun dukani/ Bapang den simpangi/ Ono catur mungkur…" (Jalan untuk menjadi hebat, harus menghormati/ berani mengalah baik nasibnya/ tidak membantah saat kena marah/ berusaha menjauhi kesombongan/ menghindari pergunjingan).
"Bu, apa benar kemarin ada anak yang lari-lari di lab komputer sampai mecahin keyboard kamu diam saja? Tadi di kantor ramai dibicarakan," Bu Kartini tergopoh-gopoh menemuiku di perpustakaan.
"Ha?" aku melongo.
***

Filosofi Mijil, Teras, dan Kantor
MEREKA YANG MENGUNJUNGI POSKO KAMI
Masih jelas deras air bah dari luapan kali
sore itu,
ibu-ibu memastikan anak-anaknya dalam dekapan
ada yang berlarian ke penjuru ruang mengamankan barang serta dokumen yang perlu diselamatkan
ada pula yang langsung mencari tempat aman untuk perlindungan.
Anak-anak teriak memanggil yang bisa dipanggil
para ayah gegas ke tanggul
melakukan apa yang bisa dilakukan
para pemuda secepatnya mengupayakan penyelamatan
namun deras arus tak hendak berjeda,
hingga tanpa menguluk salam
air bersapa ke perkampungan, rumah-rumah, gang-gang, pemukiman.
Dan begitu cepat tayangan tersiar di beranda-beranda sosial media
luapan air, amukan banyu
ada yang live, unggahan video, juga foto-foto.
Informasi dunia maya memang secepat kilat
bantuan datang, aparat bertandang,
posko didirikan
sementara, kami sibuk mengemas duka
kami berpikir perihal ladang-ladang yang mungkin mematikan senyum kami,
menjeda keberlangsungan isi perut kami esok hari
ladang-ladang yang mengalah dipeluk luapan air kali
memilih pasrah dan mungkin mati.
Mereka yang datang ke posko kami
berbondong dengan bungkusan kardus
juga makanan, pakaian, obat-obatan.
sebagian mengelus kepala anak-anak kami
sebagian ikut menangisi derita dan ujian ini.
Mereka yang datang rapi dengan pakaian senada
dan ada yang berpakaian tak diseragamkan pula
mereka yang datang dengan niatan mulia
ulurkan tangan demi kepedulian sesama
ada yang pribadi
ada yang mengumpulkan donasi.
Mereka yang datang ke posko kami
mereka yang membaca duka kami
mereka yang ikut merasakan kesedihan kami
mereka yang tergerak membantu kami
mereka yang mengulurkan bantuan di tengah kepiluan kami.
Mereka yang sesegera datang dengan dokumentasi
mereka yang kemudian berkabar foto tentang baik budi yang telah dijalani
dalam unggahan serta sesungging senyum saat penyerahan donasi.
Ya, terimakasih kami
pada mereka yang tak bisa kami baca satu persatu
perihal maksud serta kedatangan diri.
Kudus, 8 Januari 2021
KEPADA APA?
Aku bertanya perihal niatan manusia mengubah diri
sebab berseliweran sajak muhasabah akhiri detik pergantian hari
sebenarnya ada apa?
Tak samakah peralihan Sabtu ke Minggu? Minggu ke Senin?
Senin ke Selasa? Selasa ke Rabu?
atau pergantian satu hari ke hari setelahnya
apa yang beda?
Aku bertanya perihal niatan manusia mengubah diri
sebab bermunculan sajak sesal lalui berakhirnya tahun lalu
dan harapan mengubah menuju tahun yang baru
Sebenarnya apa pembeda?
sebenarnya pada siapa manusia berserah?
apakah pada Tahun?
ataukah pada Tuhan?
Kudus, 8 Januari 2021

Puisi - Puisi Yani Al Qudsy; Mereka yang Mengunjungi Posko Kami
~ Sebuah Senandika ~
Desember pun selesai. Tahun 2020 juga sudah pergi melambai. Segala apa yang terjadi sepanjang tahun itu telah menjadi masa lalu berupa kenangan atau sejarah. Disebut kenangan jika tergolong sebagai peristiwa berkesan yang kapan diingat, dayanya mampu menggetarkan rasa. Disebut sejarah jika tercatat sebagai peristiwa besar, luar biasa, yang jejaknya tansah menyertai riwayat hidup atau jati diri seseorang.
Seseorang dengan yang lain dan dengan yang lainnya lagi niscaya punya kenangan dan sejarah berbeda. Perbedaan itu dipengaruhi latar belakang kehidupan masing-masing. Seseorang berlatar belakang dosen misalnya, tentu kenangan atau sejarah yang dibuatnya relatif erat terkait dengan hal pendidikan atau dunia keilmuan. Seseorang yang suntuk bergiat menulis puisi pastilah punya kenangan atau sejarah yang tak jauh-jauh dari kegiatan yang ditekuni.
Sebagai seorang yang suntuk bergiat menulis puisi, lantas kenangan atau sejarah apa yang sudah saya buat selama tahun 2020? Tidak ada yang luar biasa. Kenangan? Saya membukukan beberapa. Sekalipun itu banyak yang berasa getir daripada sebaliknya. Betapa tidak, pada tahun 2020, tidak sedikit keinginan saya yang meleset dari bidikan. Getir bukan?
Bagaimana dengan sejarah? Lebih-lebih ini. Selama setahun, sekian puluh puisi tayang di media massa, lolos kurasi pada pembuatan belasan buku antologi puisi bersama serta diundang hadir di sejumlah tempat perhelatan puisi, adakah itu layak dinamai sejarah? Sejujurnya, saya ragu.
Keraguan itu muncul sebab saya merasa puisi-puisi yang saya tulis cuma begitu-begitu saja. Penggarapan tema, penggunaan diksi dan metafornya merupakan pengulangan demi pengulangan apa yang sudah saya tulis pada tahun-tahun sebelumnya. Merisaukan! Apa yang sebenarnya terjadi? Saya mencari musababnya.
“Itu karena engkau telah menemukan ciri khas. Gaya ucap sendiri,” kata seorang teman. “Salah itu. Menurutku, musababnya kini mata penamu sudah tumpul. Kreativitasmu mulai stagnan,” ujar teman lainnya. Saya termangu. Mana yang benar?
Beberapa waktu, setelah merenungkan dua pendapat tersebut, pada akhirnya saya cenderung membenarkan pendapat yang kedua. Ya, ya, boleh jadi benar kreativitas saya memang sudah mandek. Kemampuan saya hanya tinggal bisa mengulang-ulang apa yang pernah saya lakukan. Begitu-begitu saja. Tak ada progres, apalagi pembaruan. Duh, jika begini kondisinya, rasa-rasanya sudah tiba waktu predikat penyair - yang dengan bangga kerap saya terakan sendiri di biodata- mesti saya delet segera. Tidak sayang? Ngapain sayang?. Toh, selama ini predikat itu hanya serupa gelembung sabun. Tidak punya pengaruh yang - baik secara ekonomi maupun sosial- signifikan terhadap hidup keseharian saya.
Pembenaran saya pada salah satu pendapat teman di atas bukan tanpa alasan. Saya menulis puisi sejak tahun 1980. Dihitung sampai kini sudah 40 tahun. Separuh lebih dari bilangan usia saya. Wajar kiranya jika waktu yang relatif panjang itu menjadikan mata pena saya tumpul, imajinasi saya garing. Kondisi raga jiwa saya capai dalam arti sebenarnya. Karenanya, jalan terbaik yang mesti saya pilih adalah berhenti menulis puisi. Selamanya.
Akan tetapi, ah, bisakah saya? Sekitar tahun 2010 lampau, saya pernah punya niat sama. Berhenti menulis puisi. Gagal total. Ibarat candu, zat adiktif puisi kepalang meracuni seluruh tetes darah saya. Menguasai setiap jengkal benak dan hati saya. Terus mesti bagaimana? (O, andai saja ada pusat rehabilitasi bagi orang yang punya ketergantungi pada puisi!)
Saya hanya bisa tercenung. Diam dan tafakur. Dengan tawaduk, pelahan saya masuki lubuk hening mikrokosmos, jagat cilik, dalam diri. Lewat telinga batin, secara sungguh saya dengar kata hati kecil. Apa katanya? Yups, hati kecil saya berkata, agar saya tetap menulis puisi. Menulis dengan riang gembira. Jujur, tanpa pretensi. Menulis tanpa keinginan menjadi terkenal. Tanpa berharap sanjung puji dan timbal balik dalam wujud apa juga. Menulis sebagai klangenan. Bentuk laku produktif dalam mengisi hari tua.
Mampukah saya melaksanakannya? Mengingat saya hanya manusia biasa. Di dalam dada saya tumbuh subur berbagai penyakit duniawi; riya, iri, kemaruk, bakhil, dan semacamnya. Tetapi tidak, saya tidak boleh ragu. Saya mesti berkeyakinan bahwa jika sungguh-sungguh mau berupaya dengan tekad bulat disertai doa dan pengharapan kuat, tidak ada satu pun yang tidak bisa. Insyaallah!
Kini 2021 telah tiba. Di dinding rumah, di meja kerja, penanggalan baru telah terpasang. Dengan ramah 1 Januari menyapa mesra. Dan sebagaimana biasanya, ia senantiasa menyembunyikan aneka rahasia. Peristiwa tak terduga yang berkemungkinan menjadi kenangan atau sejarah bagi setiap manusia. Peristiwa tak terduga yang bakal terjadi di sepanjang hari-hari di bulan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Maka, agar tidak menjadi sekadar peristiwa biasa, momentum pergantian tahun ini akan saya gunakan sebagai sarana muhasabah. Bersih-bersih, mengoreksi diri, membuang segala kotoran hati. Memperbaiki yang kurang, melengkapkan yang rumpang. Harapannya, sekecil apa pun terjadi nuansa perbedaan antara tahun lalu dan tahun sekarang.
Selain itu, pergantian tahun juga akan saya gunakan untuk menyusun seberkas rencana, melangitkan sebait doa dan pengharapan mulia. Berkas rencana yang satu per satu, semoga dapat terealisasi dengan sukses dalam rentang waktu 12 bulan ke depan. Doa pengharapan mulia agar di tahun ini hidup dan kehidupan, di dalam maupun di luar diri, bisa berlangsung lebih bernilai, nyaman, aman, tenteram, sejahtera sentosa.
Satu lagi, seturut kata hati, saya juga akan tetap menulis puisi. Menulis puisi dengan jujur dan tanpa pretensi. Contohnya puisi ini , Seperti ada yang tanggal/ jatuh ke timbun waktu/saat Desember terlepas dari dinding/Apakah?/Mungkin sebuah kenangan/Sebuah peristiwa yang ingin terkekalkan//Tetapi, katamu, Januari telah kembali/Datang membawa teka-teki panjang/Sesuatu bakal terjadi/Sedetik di depan atau nanti//Apakah?
Selamat Tahun Baru, Saudara!