Gusjigang di Kepala Penyair
Sebagian besar masyarakat melek pengetahuan dan atau kaum terpelajar kota Kudus pastilah sudah sangat familier dengan akronim Gusjigang. Akronim yang terbentuk dari gabungan tiga kata baGus, ngaJi, dan daGang itu, diyakini sebagai ajaran mulia peninggalan sang waliullah Sunan Kudus, Ja’far Shadiq.
Jejak referensial mengabarkan bahwa Gus merupakan kependekan dari kata Bagus yang mengandung arti orang--Kudus--haruslah punya perilaku yang bagus, terpuji, menjunjung tinggi adab dan etika sosial pergaulan antarmanusia. Ji, Ngaji, dimaksudkan, demi menemukan kebahagiaan di kehidupan kelak (baca akherat), orang harus pandai me-Ngaji. Berpengetahuan agama--Islam--secara luas dan dalam sekaligus mau serta mampu mengimplementasikannya dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Adapun Gang, penggalan suku kata da-Gang, maknanya mengarah pada anjuran supaya orang juga memikirkan kebutuhan duniawi. Mencari penghasilan dengan cara berdagang. Berdagang, berniaga, seturut ajaran sang junjungan, nabi akhirul zaman Muhammad SAW. Gusjigang, ajaran yang benar-benar ideal. Menjangkau segala ihwal kehidupan di sini dan di Sana. Tak heran bila pada perkembangannya ia bahkan dijadikan filosofi, sebuah pusaka yang harus dirawat, dirumat, dan dilestarikan dengan puja -puji.
Selayaknya kodrat suatu pusaka, dari waktu ke waktu, Gusjigang diperlakukan sebagai sebuah objek yang, oleh masyarakat pemujanya, cenderung ditempatkan pada sebuah titik sakral. Akibatnya, ia ibarat rumah yang pintunya terkunci rapat. Pelbagai kemungkinan untuk membuka pintu rumah itu lalu mengulik, mengkaji, menafsirnya ulang, otomatis tertampik bahkan tertabukan. Padahal bukan tidak mungkin di dalam rumah itu masih banyak hal lain. Hal-hal yang masih tersembunuyi, luput dari jangkauan mata dan pengetahuan para penafsir terdahulu.
Kondisi seperti itu sangatlah tidak menguntungkan bagi keberadaan Gusjigang. Tafsir tunggal atasnya membuat ajaran yang terkandung di dalamnya menjadi statis. Padahal ia bukan mantra, bukan pula ayat-ayat dalam kitab suci yang pantang direvisi. Gusjigang akan berprogres sejalur situasi dan kebutuhan masa kini bila dibiarkan terbuka. Aneka tafsir dari segala sudut pandang, tanpa meninggalkan ajaran esensialnya, bakal menjadikan ia lebih seksi, meaningful sekaligus colored.
Gusjigang dan Puisi
Bagi saya, Gusjigang adalah puisi yang indah lagi kaya makna. Sekalipun hanya terdiri satu larik kata, di dalamnya terkandung ide dan perenungan yang luar biasa. Untuk memahaminya diperlukan banyak bahan pustaka dalam bentuk tulisan, ucapan maupun tindakan. Dan satu hal, sebagaimana sifat puisi, ia bebas tafsir. Multi interpretable. Ia berdaya bayang alias imajinatif.
Maka bertumpu pada pengertian itu, kita boleh membayangkan, bagaimana suntuknya Sunan Kudus, kapan memilih dan memilah kata ba-Gus untuk simbolisasi sesuatu yang berkonotasi baik. Mengapa saat itu The Godfather Attitude Tolerant for Kudus Kulon itu tidak memilih diksi baik, hebat atau elok? Bukankah ketiga kata itu punya arti hampir sama dengan kata bagus? Pun demikian untuk diksi
nga-Ji dan da-Gang.
Itu baru persoalan diksi atau pilihan kata. Belum lagi bila masuk ke persoalan makna. Secara merdeka kita boleh menafsir-nafsir, kata bagus bermakna menyarankan--kepada siapa pun--untuk tahsah tampil dengan kebagusan masing-masing. Bagus dalam artian tidak sebatas pada penampilan fisik semata. Namun, juga bagus dalam berkata-kata dan bersikap laku. Pendek kata, bagus yang paripurna. Luar--dalam, raga--jiwa.
Akan halnya Ji. Bagian akhir dari suku kata nga-Ji itu bisa dimaknai sebagai (me) ngaji dalam arti denotatif maupun konotatif. Dalam makna konotatif, nga-Ji atau mengaji bisa dipahami sebagai membaca, mempelajari segala hal yang tertulis maupun tak tertulis, yang terbaca dan tak terbaca, yang kasat mata maupun yang tak. Segala pengetahuan yang terbentang di jagad raya ini. Luar biasa.
Lalu kata da-Gang. Makna kata itu bukan berdagang dalam arti jual beli untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tetapi, bisa diartikan sebaliknya, berdagang dengan penuh tepa selira. Membuang sifat tamak dan kikir dengan cara mengambil keuntungan secukupnya. Bahkan pada situasi tertentu siap untung dan sedia buntung. Tuna satak bati sanak, merugi dalam bentuk finansial, beruntung dalam bentuk (tambah) teman, saudara, sesama ciptaan-Nya.
Apakah mesti begitu tafsir pada Gusjigang? Tidak! Asal tidak menyebal jauh dari makna esensialnya, tafsir lain yang lebih ekstrim pun diperbolehkan. Mengingat Gusjigang adalah puisi. Dan sebagaimana sifat puisi, ia sangat terbuka untuk diinterpretasi bahkan. terbuka pula untuk disalahpahami.
Bagi saya, Gusjigang adalah puisi dengan “p” kapital. Puisi!
Mukti Sutarman Espe. Penyair. Buku terbarunya "Menjadi Dongeng". Karyanya tersebar di berbagai media. Tinggal di Mlati Lor, Kudus.
1 comments
Tajug go publish
BalasHapusSemoga pembacanya tak hanya warga Kudus.