Kearifan Sang Dryad
![]() |
Sumber: www.deviantart.com |
Kehidupan memerlukan
mitos, dan demi menyelamatkan bumi, kita perlu mempercayainya.
Mengapa sebagian besar dari kita sangat ingin bahwa makam
orang tua atau nenek moyang kita harus dibangun dari nisan batu atau marmer?
Mengapa ada sebuah pohon tua di tengah sawah dibiarkan tidak dipotong, padahal di
atas lahan sawah itu sebentar lagi akan dibangun sebuah hotel bertingkat?
Kita punya kepercayaan kepada mitos. Nisan dan makam
memiliki mitos. Pohon di tengah sawah juga memiliki mitos, karena setiap pohon dihuni
oleh dryad atau bangsa peri yang
tinggal dan menjaga pohon-pohon. Dan, yang paling penting adalah, kita
mempercayainya.
Mite atau mitos (myth) adalah cerita yang mempunyai
latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat
sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak
mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa. Orang pertama
yang memperkenalkan istilah mitos adalah Plato. Plato
memakai istilah “muthologia”, yang artinya menceritakan cerita. Sedangkan,
dalam Webster’s Dictionary, mitos adalah perumpamaan atau alegori,
yang keberadaannya hanya merupakan khayal yang tak dapat dibuktikan. Mitos
termasuk dalam salah satu jenis cerita dongeng.
Di kampung saya, membangun nisan atau cungkup makam dengan bahan
permanen seperti batu keramik dan marmer tidak diizinkan di pemakaman umum.
Itulah sebabnya, di pintu makam ada tulisan besar larangan membangun nisan atau
cungkup. Sayangnya, kesadaran tersebut tidaklah mudah untuk dipraktikkan. Beberapa
orang berduit secara diam-diam tetap saja membangun nisan untuk makam orang tua
mereka. Mereka percaya pada mitos, bahwa membangun nisan dengan marmer dianggap
sebagai Mikul dhuwur, mendhem jero; penghormatan
kepada leluhurnya.
Sebaliknya, menebang pohon tua di tengah sawah sebenarnya
tidak ada larangan dan tidak ada sanksinya. Akan tetapi, banyak orang tidak
berani melakukannya. Tidak ada fakta ilmiah tentang bahayanya menebang pohon
besar tersebut, tidak ada larangan dalam ajaran agama. Tetapi, mengapa
orang-orang tetap saja tidak berani memotongnya? Mereka percaya mitos, bahwa di
dalam pohon tersebut ada sosok dryad yang
hidup dan menjaga pohon itu.
Percaya adalah soal keyakinan, kebenaran adalah soal
logika. Mempercayai mitos adalah sebuah keyakinan dan bukan ranah logika. Orang bisa saja pintar dan paham yang
ilmiah-ilmiah, tapi jika ia sudah yakin bahwa di dalam pohon itu ada kekuatan dryad, ia dipastikan tidak akan berani
menebang pohon tersebut. Padahal dryad
sama sekali tidak bisa ia lihat dan tidak bisa ia buktikan secara ilmiah. Buss.
Begitulah keelokan cerita mitologi yang diturunkan nenek
moyang kita, yang membingkai hidup kita selama bertahun-tahun, bahkan
berabad-abad ini sampai hari ini. Lalu setelah hari ini, kita mulai gemar
menafikkannya secara pelan-pelan. Kita mulai senang menyangkalnya. Kita
sekarang hidup pada sebuah era di mana kita tidak pernah takut pada apa pun
yang bersifat invisible, yang
bersifat tak terlihat. Kita menyangkal keberadaan dryad atau makhluk gaib penunggu pohon, sehingga kita tidak
menghargai pohon yang menjadi tempat tinggalnya. Kita tidak takut menebangi
pohon, kita tidak takut merusak hutan. Wilayah keyakinan kita tidak menjalin
relasi yang saling menghormati dengan para dryad,
si penunggu pohon-pohon.
Saya membayangkan pohon-pohon besar di hutan sana tidak
akan habis dibabat manusia, seandainya orang-orang masih percaya kepada
kekuatan dryad di dalam pohon-pohon
itu. Kita saat ini telah gagal mengambil kebijaksanaan dari mitologi, karena
kita tidak lagi mempercayainya.
Izinkan
saya menceritakan mitologi Yunani tentang hutan yang dilindungi oleh
pohon-pohon rindang dan para dryad. Erisikhthon
adalah pria yang kaya dan pongah. Suatu hari dia menebang pohon di sebuah hutan
suci padahal dia sudah diperingatkan bahwa itu bisa memicu kemarahan para dewa.
Tetapi laki-laki itu tidak menghiraukan nasihat siapapun. Akibat perbuatannya
itu, seorang Dryad (nimfa pohon) yang tinggal di pohon
tersebut mati. Para Dryad yang lain
melaporkan hal ini pada Demeter.
Demeter
kemudian marah besar, lalu menghukum
Erisikhthon dengan rasa lapar yang tak pernah terpuaskan. Erisikhthon memakan
semua makan yang dia punya namun dia tak pernah merasa kenyang. Erisikhthon
kemudian menjual semua barang-barangnya untuk membeli makanan sampai dia tak
punya apa-apa kecuali putrinya. Dan karena dia masih terus merasa lapar,
putrinya pun ia jual juga.
Maistra,
putri Eriskhthon, membiarkan tubuhnya disetubuhi oleh dewa Poseidon. Sebagai
balasannya, Poseidon memberi Maistra kemampuan berubah wujud. Dengan kemampuan
itu, Maistra selalu bisa kabur dari orang yang baru saja membelinya. Setelah
kabur, Maistra kembali pada ayahnya dan Erisikhthon menjual lagi Maistra pada
orang lain, begitulah seterusnya sampai akhirnya Eriskhthon putus asa karena
rasa laparnya dan dia pun memakan dirinya sendiri sampai mati.
Orang-orang
yang merusak hutan, yang menebang pohon-pohon hingga menyebabkan hutan menjadi
gundul, mereka akan bernasib serupa Eriskhthon. Dari dulu hingga sekarang, mereka
tidak akan pernah merasa puas, tidak pernah merasa cukup, tidak pernah bisa
berhenti mengumbar nafsu serakahnya. Mereka selalu merasa kurang, merasa lapar
dan tidak akan pernah merasa kenyang, sebelum mereka kemudian mati memakan
dirinya sendiri.
Meski
hanya mitologi atau cerita yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, Erisikhthon
memberikan pesan moral kepada kita bahwa keserakahan adalah sumur tanpa dasar. Itulah mengapa kita perlu menyadarinya agar
kita tidak terperosok dan terperangkap sia-sia di dalamnya. Tak ada jeleknya,
kita mengambil kearifan mitologi.
Jimat Kalimasadha. Redaktur tajug.net
1 comments
Ini termasuk bagian dari Sastra Sejarah : Mitologi, legenda, Hagiografi, dan Simbolisme dan Sugesti ..
BalasHapus