Mendedah Falsafah Jeneng dan Jenang
Metafor Jeneng dan Jenang biasanya digunakan dalam konteks menyampaikan suatu pelajaran dengan model memberi anjuran secara berkias.
Jeneng dan Jenang, dua kosa
kata dari khasanah bahasa Jawa itu cukup menarik untuk dibaca, dikaji, dan
didedahkan secara benderang. Bukan hanya tersebab keunikan bunyinya–cuma beda
vokal “e” dan “a” di akhir masing-masing suku kata. Lebih daripada itu, dalam
berbagai kesempatan, kedua kata tersebut acap digunakan sebagai nasihat. Alat penyampai
falsafah kehidupan, penguat mental dan spiritural dari orang yang lebih tua
(baca: berpengalaman) kepada yang muda.
Pada umumnya, nasihat dihadirkan guna menyampaikan suatu
ajaran yang bertujuan baik. Untuk memahami sekaligus menerimanya, diperlukan
sikap tawaduk tanpa notabene. Artinya, hanya pribadi-pribadi terbuka, rendah
hati, tulus, yang dapat mencerna sebuah nasihat. Mampu menjadikannya sebagai
falsafah sekaligus pandai mempraktikkan dalam tata hidup keseharian. Dengan
kalimat lain, seseorang yang berkepribadian sok tahu, pongah, sapa sira sapa ingsun, mustahil dapat
menerima dan memahami sebuah nasihat. Apa pun dan seberapa pun nilai kebaikan
yang terkandung di dalamnya.
Menilik bentuk, makna, tempat serta bilamana kata Jeneng dan Jenang digunakan, keduanya merupakan metafora. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) metafora adalah pemakaian
kata atau frasa bukan dengan arti yang sebenanya, melainkan sebagai lukisan
yang berdasar persamaan atau perbandingan. Orang kebanyakan lazim menyebutnya
kata yang bermakna kias.
Metafor Jeneng dan Jenang biasanya digunakan dalam konteks menyampaikan
suatu pelajaran dengan model memberi anjuran secara berkias. Esensinya, agar
seseorang berlaku sabar dalam meniti proses profesionalitasnya. Menjadi profesional
apa pun; dokter, pendakwah, perias, biduan, pemusik, mekanik, pokrol, master of ceremony, presenter, modin,
naïb, etc, diniscayakan melalui proses panjang, tidak bisa secara ujug-ujug
atau instan.
Pada berbagai momentum,
kata Jeneng dan Jenang digunakan dalam susunan kalimat ujaran atau tulisan begini,
“goleka jeneng disik, aja jenang.”
Carilah nama terlebih dulu, jangan materi. Jika dilihat dari ketaksaan,
ambiugitas, yang ada dalam konteks kalimat itu, jelaslah kata Jeneng dapat dimaknai sebagai nama baik,
popularitas positif. Sedang kata Jenang
berarti materi—dalam bentuk apa pun.
Tegasnya, dalam meniti proses menjadi, seseorang dianjurkan
untuk terlebih dulu mengutamakan laku “prihatin”. Tekun, sabar, tabah, dan
kreatif dalam berusaha merengkuh keterkenalan nama. Caranya, dengan menciptakan
hak paten personal, brand jatidiri yang
kreditabel. Manakala itu sudah dicapai, maka Jenang sebagai metafor dari materi; imbalan, honorarium, bisaroh,
atau apa pun namanya, dengan sendirinya bakal datang mengiringi dalam besaran
yang memadai.
Contoh konkretnya mungkin bisa ditampilkan ilustrasi berikut,
Polan dokter muda yang baru membuka praktik. Sebagai dokter muda yang sedang
mulai meniti karir, tentu saja belum banyak orang yang mengenal namanya. Ketika
seminggu dua, kamar periksanya masih sunyii, Polan membuat akun facebook untuk
mengiklankan dirinya. Inti konten iklannya, kapan pun dan kemana pun, dokter
muda itu bersedia dipanggil ke rumah pasien yang membutuhkan.
Ringkas cerita, ternyata masyarakat menyambut iklan itu
dengan sangat antusias. Dalam rentang waktu tak lebih dari satu semester, Polan
sudah mendapat belasan bahkan puluhan panggilan. Dalam waktu singkat nama
dokter muda itu pun jadi buah bibir. Penyebabnya, selain dinilai bertangan
dingin, di kala melayani pasiennya Polan selalu bersikap simpatik, lembah
manah, motivatif, dan menghibur. Satu hal, ia juga tidak pernah memasang tarif
untuk imbalan jasanya. Diberi seberapa pun diterimanya dengan senyum kesyukuran.
Narasi Ilustratif di atas menunjukkan bahwa tokoh cerita
telah mampu memahami ajaran Jeneng
dan Jenang. Tidak sebatas mampu memahami,
tetapi pun berhasil menjadikannya sebagai falsafah hidup yang implementasinya
dalam wujud sebuah lakuan amalan. Maksud nasihat, Goleka jenang disik, aja jenang, benar-benar dilaksanakan secara
baik dan benar.
Untuk sampai pada titik lakuan amalan seperti itu tentu diperlukan
kesadaran diri yang paripurna. Selalu berupaya mengasah kompetensi kepribadian
dan bersedia mendahulukan kualitas pelayanan kemanusiaan daripada kualitas imbalan
merupakan prasyarat yang tak boleh ditawar. Hal yang bukan perkara semudah membalik
telapak tangan. Tantangan dan godaan dipastikan akan silih berganti mengaral
rintang. Mengingat, begitu kuatnya arus gaya hidup hedonisme yang saat ini melanda
hampir semua kalangan di segala ruang kehidupan.
Akan tetapi, para bijak bestari berujar, hidup adalah pilihan. Sampean akan menjatuhkan pilihan utama pada Jeneng atau Jenang, tak ada yang melarang. Pada akhirnya, semua berpulang kepada niat dan tujuan hidup masing-masing. Goleka jeneng disik, aja jenang atau Goleka jenang disik, aja jeneng, dipersilakan dengan bebas merdeka. Salam Tajug!
Mukti Sutarman Espe. Penyair. Mukim di Kudus.
0 comments