Ranjang Pengantin untuk Suamiku
![]() |
Sumber: www.pixabay.com/photos/bridal-bouquet-shoes-butterfly-bed-2275316/ |
Pertemuan keluarga di ruang jogosatru[1]
baru saja usai. Rapat yang dihadiri oleh
keluarga besar Diparaharja telah memutuskan bahwa Mas Hernowo, harus segera
menikah lagi. Ya, Mas
Hernowo,
suamiku harus menikah lagi.
Waktu yang telah diberikan kepada kami untuk mendapatkan
keturunan telah habis. Delapan tahun pernikahan, kami tak kunjung mendapatkan keturunan. Kami sudah berusaha dengan berbagai cara,
baik dengan cara medis, herbal maupun
menuruti berbagai saran apa pun
dari keluarga dan kerabat.
Tetap aku
belum juga hamil.
Dokter tidak menemukan suatu keanehan dan penyakit dalam rahimku. Sedangkan keluarga besar Diparaharja sudah sangat menanti datangnya keturunan dari Mas Hernowo, sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarga inti Diparaharja. Anak laki-lakilah yang akan menerima warisan, amanat wasiat yang sudah turun-temurun.
Keluarga Diparaharja merupakan keluarga besar yang
mempunyai beberapa usaha: industri rokok kretek, pengolahan gula tebu dan industri batik
tradisional khas Kudus. Bagaimana pun
usaha ini harus dipegang keturunan Diparaharja. Sayangnya semua saudara Mas
Hernowo perempuan. Mereka tetap mendapat bagian, tapi bukan bagian inti seperti
Mas Hernowo. Mbah Diparaharja memang mempunyai tiga istri, tetapi dari semua istrinya tidak ada yang
mempunyai anak laki-laki, kecuali ibu dari Mas Hernowo, sebagai istri ke tiga. Punya istri lebih dari satu untuk mencari keturunan
laki-laki sudah menjadi hal biasa di keluarga ini.
Ini sudah menjadi konsekuensiku menjadi istri Mas
Hernowo, karena sebelum kami menikah aku sudah diberi penjelasan bahwa kami harus
mempunyai keturunan laki-laki,
paling lambat delapan tahun setelah pernikahan.
Terdengar memaksakan, tapi bagaimana lagi.
Delapan tahun waktu yang sangat melelahkan bagi kami. Aku dan Mas Hernowo berburu dokter kandungan terbaik serta menjalani berbagai perawatan untuk mendapatkan keturunan. Belum lagi pengobatan non medis dan herbal semua telah aku jalani. Namun hasilnmya tetap sama. Nihil.
Inilah sebabnya, aku harus merelakan suamiku untuk
menikah lagi demi memperoleh keturunan yang dinanti-nanti keluarga Diparaharja.
***
"Sebenarnya aku tidak bisa menerima keputusan ini, Jeng," Mas Hernowo membahas ini lagi ketika kami sudah berada di kamar.
Aku hanya bisa diam memandang ujung soko[2] yang sebagian ada di dalam kamar kami. Hatiku sudah tak menentu.
"Dari awal aku mencintaimu Jeng, bukan karena rahimmu. Aku sangat mencintaimu seutuhnya, Jeng."
Aku masih membiarkan Mas Hernowo bicara sendiri karena pikiranku melayang pada peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Saat aku mengenal Mas Hernowo sebagai kakak angkatan di kampusku.
Perhatian, ketulusan dan kesederhanaannyalah yang membuat aku jatuh cinta padanya. Mas Hernowo sama sekali tidak menampakkan, dia anak konglomerat. Tidak seperti beberapa laki-laki lain yang sok perlente saat mendekatiku. Prestasi Mas Hernowo sangat bagus di kampus: pintar, cerdas, gemar berorganisasi dan juga gemar berkesenian. Berbagai acara kesenian daerah di kampus diikutinya bila tidak mengganggu jam kuliah. Mas Hernowo menjadi lulusan terbaik dan termuda saat itu. Aku kagum dengan prestasinya.
Saat mendekatiku, Mas Hernowo selalu sopan dan menyenangkan terhadap orang tuaku. Sehingga bapak-ibu pun kepincut sosok Mas Hernowo. Bapak sempat terkejut setelah mengetahui bahwa Mas Hernowo adalah putra dari keluarga Diparaharja, Bapak seolah sudah melihat akan ada beban berat di pundakku bila aku menjadi bagian dari Diparaharja. Apalagi setelah mengetahui bahwa Mas Hernowo putra satu-satunya di keluarga tersebut. Tetapi kami telah saling mencinta, dan tak mungkin dipisahkan lagi, dengan segala konsekuensi tentunya. Aku pun siap menerima Mas Hernowo sebagai suamiku dengan segala risikonya.
***
"Aku ingin Jeng bicara, jangan hanya menerima keputusan saja. kalau memang Jeng tidak bisa menerina perlakukan ini, bicalah Jeng! Karena aku juga keberatan, Jeng." Mas Hernowo menaikkan nada bicaranya. Aku membiarkan saja.
"Aku tidak akan sanggup melakukannya, Jeng! Aku sangat mencintai Jeng. Aku tidak bisa menduakanmu, aku tidak sanggup, jeng!" Mas Hernowo agak keras berbicara walau kami duduk bersebelahan.
Aku menoleh, air mata di sudut mataku segera kuhapus. Aku harus tegar. Aku harus bisa memberi semangat pada Mas Hernowo untuk bisa menerima keputusan keluarga. Aku harus menguatkannya, bukan malah ikut larut dalam romantisme seperti ini. Karena aku sendiri sudah menerima keputusan itu, sejak awal kami menikah.
"Mas, kita tetap masih bersama, kan, walaupun Mas bukan lagi milikku seutuhnya, paling tidak kita masih bisa saling memandang dan bertegur sapa tiap hari." Aku mencoba tegar, walau hatiku terasa teriris sembilu.
"Aku tahu, Jeng pasti akan terluka. Jeng tidak bisa membohongi aku, dengan ketegaran yang Jeng tampakan. Aku tidak bisa menyakiti wanita yang sangat aku cintai, Jeng," jelas Mas Hernowo sambil merapatkan badannya ke tubuhku. Aku merasakan ada cairan bening hangat yang mengalir di pipiku saat Mas Hernowo pelan-pelan menciumku dan memelukku erat-erat.
"Besok masih ada pertemuan keluarga lagi, Jeng. Semoga kita diberi kesempatan untuk berbicara. Tolong Jeng, katakan kalau Jeng keberatan. Saya yakin mereka pasti akan menerima dan mencari solusi lain, toh keponakan-keponakan kita juga banyak yang laki-laki. Mereka juga berhak meneruskan jalannya perusahaan, tidak hanya dari keturunan kita." Mas Hernowo berusaha mempengaruhiku agar aku melawan keputusan keluarga besar yang merugikan aku dan suamiku.
"Kita tunggu besok, Mas. Semoga mereka mau menerima alasan kita, bahwa kita saling mencintai dan tak ingin ada orang ketiga di antara kita," Aku hanya menimpali sekenanya.
Sebagai wanita aku sudah sangat pasrah, apa yang menjadi keputusan keluarga dan suamiku. Aku jadi ingat petuah dan nasehat sesepuh yang diberikan saat kami hendak menikah dahulu. Sebagian orang Jawa masih menganggap bahwa perempuan hanyalah sebagai wadah atau cawan dari permata mulia milik laki-laki. Perempuan hanya sebagai emban[3], sebagai klangen[4] kehidupan laki-laki. Sehingga laki-laki berhak untuk berpoligami bila diperlukan.
***
Esok harinya, rapat keluarga besar Diparaharja digelar kembali. Aku dan Mas Hernowo juga turut di dalamnya. Tetapi aku sudah tidak diberi kesempatan untuk berbicara, bahkan mereka memberi pengertian padaku akan posisi perempuan Jawa harus eling, posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki sebagai takdir Tuhan. Perempuan harus isin, harus memiliki rasa malu dan bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu. Perempuan harus sabar dan tangguh menghadapi berbagai cobaan hidup, serta harus legawa, yaitu rela menerima kondisi seberat apa pun dan pantang mempertuntutkan hawa nafsu.
Aku hanya bisa diam saja mendengarkan petuah sesepuh keluarga. Mas Hernowo di sebelahku hanya mampu menggenggam tanganku erat-erat. Karena sekali-dua kali Mas Hernowo hendak berbicara namun tidak digubris sama sekali.
"Hernowo! Engkau hanya akan mempunyai hak bicara dan wewenang semua warisan keluarga Diparaharja bila nanti sudah mempunyai keturunan, sebelum itu kamu hanya dianggap sebagai anggota keluarga biasa, kamu harus ikut peraturan yang sudah ada di keluarga besar Diparaharja."
Mas Hernowo pun hanya bisa mengangguk lemah.
Pada rapat kali ini sudah diputuskan siapa wanita yang hendak menikah dengan Mas Hernowo. Kami tidak diberi kesempatan untuk memilih sendiri. Karena para tetua sudah memperhitungkan dari segi bibit, bobot dan bebet. Bibit seorang wanita bisa dilihat dari keturunannya, bobot merupakan kualitas dan karakter baik seorang perempuan, sedangkan bebet bisa dilihat dari ciri-ciri fisiknya yang sempurna sebagai wanita.
Pilihan sudah dijatuhkan. Siti Sholeha, putri dari Kyai Danuri, seorang Kyai sepuh di kota Kudus. Gadis lulusan pondok pesantren di Jawa Timur. Aku memang belum pernah bertemu dengan gadis itu, walau pernah beberapa kali mengikuti pengajian yang digelar bapaknya.
Keputusan rapat sudah bulat. Tinggal pelaksanaannya saja. Besok akan diadakan acara nakokke[5], utusan dari pihak keluarga Diparaharja akan berkunjung ke tempat tinggal Kyai Danuri. Selanjutnya segera akan diadakan acara lamaran, sambil berunding kapan acara pernikahan akan dilaksanakan, menurut perhitungan hari baik kedua mempelai dan keluarganya.
Pihak keluarga menginginkan secepat mungkin pernikahan segera terlaksana. Mas Hernowo sendiri sekarang berubah agak pendiam. Aku menyadari kegundahan hatinya. Dia sebenarnya tidak ingin melakukan apa yang telah menjadi keputusan keluarga, Mas Hernowo seperti sungkan kepadaku. Sedangkan aku tetap berusa tenang dan menerima semua ini. Walaupun hatiku terasa hancur. Bagaimana tidak, aku harus berbagi suami. Harus ada orang lain di antara kami. Aku takut bila nantinya mereka sudah mempunyai keturunan, akankah Mas Hernowo sedikit demi sedikit berubah dan menjauhiku. Aku akan kesepian sendiri. Tapi bila mengingat keadaanku yang belum juga berketurunan, aku harus rela, aku harus berkorban demi keluarga besar Diparaharja ini.
"Pengorbananmu akan dibalas sing Kuasa, Nduk! Sing sabar lan sumareh, yo." Begitu pesan ibu mertuaku yang sudah biasa hidup bersama madu-madunya.
Ibu tampaknya mengerti akan kegelisahan dan kesedihannku. Sehingga ibu memberiku kesibukan untuk mengurusi usaha batiknya.
Semakin dekat hari H, kesibukan semakin meningkat, rupanya akan diadakan upacara pernikahan secara besar-besaran seperti permintaan keluarga keluarga Kyai Danuri. Aku tidak mengerti apakah mereka juga mempertimbangkan perasaanku atau tidak. Aku tidak pernah dimintai pendapat lagi . Kecuali soal dekorasi ranjang pengantin dan pernik-perniknya.
Karena kamar pengantin nantinya ada di kamarku sebagai kamar utama, yang terletak di sentong tengen[6], maka aku harus pindah kamar. Aku memilih tinggal di gladak[7] yang agak tertutup, karena letaknya ada di bawah ruang Jogosatru, jadi aku bisa lebih leluasa menyendiri. Aku ingin menyelesaikan beberapa karya fiksiku yang sempat terbengkalai.
Sehari sebelum hari H, aku dan Mas Hernowo masih menempati kamar utama, baru esok sebelum digelar upacara ijab kabul, ranjang pengantin itu akan dihias. Malam ini menjadi malam terakhir aku memilki suamiku secara penuh.
"Jeng, kenapa harus berakhir begini, maafkan aku Jeng," lirih Mas Hernowo di telingaku.
"Mas harus tetap tegar, Mas harus ingat sebentar lagi Mas akan menjadi bapak. Mas akan segera punya keturunan. Kuatkan hati dan pandanglah masa depan itu dengan lebih baik, untuk kebaikan kita semua Mas. Aku sudah mengikhlaskan, karena aku sangat mencintai Mas." Aku hanya bisa berpura-pura tegar dan memberi semangat pada suamiku.
Malam itu kami habiskan untuk menikmati indahnya cinta secara penuh, melebihi saat malam pertama dulu. Semalaman kami tidak ingin melewatkannya. Karena tinggal malam ini saja aku memiliki suamiku secara utuh. Hari-hari selanjutnya memang masih milikku, namun aku harus rela berbagi, aku harus banyak mengalah dan sabar, agar mereka segera punya keturunan.
***
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pagi-pagi, aku sudah membereskan tempat tidur yang biasa kami gunakan bermesraan, untuk pindah ke gladak. Dengan dibantu beberapa rewang, dalam sekejap tempat tidurku sudah tertata rapi di gladak. Aku tidak ingin mengganti seprainya. Seprai yang menjadi saksi indahnya percintaan kami semalam. Bau keringat kami beradu ada di seprai itu. Seharian aku hanya terdiam di gladak yang sekarang telah berubah menjadi kamarku. Aku habiskan waktu untuk menulis merampungkan fiksi-fiksiku.
Suara gaduh di luar masih saja aku dengar, celoteh agak jorok para ibu di pawon, atau kemeriahan yang terjadi di pendopo[8] dan pringgitan[9]. Aku tak ingin menengok. Lebih baik aku menguatkan hatiku di sini.
Beberapa saat yang lalu aku membantu tukang dekor yang akan menyulap kamarku menjadi kamar pengantin buat suamiku, karena aku yang tahu persis selera Mas Hernowo. Dengan lapang dada aku melaksanakannya, sebagai tanda kerelaanku atas pernikahan ini. Walau hatiku terasa hancur memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam antara suamiku dan pengantin wanitanya. Daripada membuatku semakin perih, selesai pekerjaan lebih baik aku bergegas kembali ke gladak.
***
Tak terasa kemeriahan di luar sudah berkurang, bahkan sudah sepi. Ternyata memang sudah malam, jam dua belas malam. Acara ijab kabul dan pesta pernikahan telah usai digelar. Samar-samar aku dengar suara langkah kaki menuju kamarku. Suara langkah kaki yang terburu-buru dan terasa berat.
"Jeng… Jeng... Jeng... bukakan pintu...." Itu suara Mas Hernowo.
Bukankah ini saat malam pengantinnya. Seharusnya Mas Hernowo sedang menikmati bersama istri barunya. Bukan malah mencariku di sini. Ketukan di pintu semakin kencang. Aku segera membukanya.
"Jeng, aku tidak bisa, Jeng. Aku tidak bisa melakukannya, aku hanya ingin melakukannya denganmu, Jeng," kata Mas Hernowo yang sudah bersimpuh di kakiku.
"Mas akan bisa. Mas harus bisa. Mas harus melakukannya, demi keluarga besar Diparaharja," kataku sambil membangunkannya.
"Mas, Mas tidak boleh bersimpuh di kaki perempuan mandul seperti aku ini. Mas, masih mempunyai masa depan yang panjang. Mas adalah priyagung tidak boleh berperilaku seperti itu. Bangunlah Mas.”
"Tidak, Jeng. Aku tidak bisa melakukanya. Aku hanya ingin melalukan denganmu, wanita satu-satunya yang aku cintai."
Sementara di belakang Mas Hernowo, kulihat seorang perempuan yang hanya mengenakan kemben datang terengah-engah. Rambutnya panjang sebahu, wajahnya cantik, pasti pria yang melihat ingin segera merengkuhnya. Kenapa dengan Mas Hernowo. Kenapa tidak mau menyentuhnya. Padahal wanita itu sudah menjadi miliknya secara sah.
"Aku hanya ingin menuntut hakku sebagai istri, Mbak." Aku lihat wajah perempuan itu agak memucat.
Aku segera mengambil seprai yang jadi saksi percintaan kami semalam. Aku tutupkan seprai itu ke
tubuh wanita itu. Kutuntun dia kembali ke kamar utama. Mas Hernowo hanya mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di pintu kamar, aku melepas seprai itu dan menyuruh wanita itu untuk memasangnya di ranjang pengantin.
"Mas, pasti bisa melakukannya, ciumlah sisa aroma kita semalam yang tersisa di seprai. Mas pasti bisa melakukannya sekarang," kataku pada Mas Hernowo.
Aku segera menutup pintu kamar dari luar. Aku tidak memberi kesempatan Mas Hernowo untuk berkata apa-apa. Aku segera kembali ke gladak. Aku terus memuji dan berzikir pada Tuhan. Aku sudah tidak mempedulikan perasaanku lagi . Tak boleh lagi ada air mata menetes. Apalah artinya aku sekarang, hanya wanita mandul belaka.
Lamat-lamat aku dengar suara orang yang sedang membang Kinanthi
Dhuh ger putra putraningsun
nadyan
wus kanthi pinusthi
Marang
Hyang Kang Murbeng Titah
graitaning
para putri
saprahastha para putra
tarantananing
pamikir
Marma
ger aywa sireku
pasang
sumeh jroning ati
katitik
tyas lan sembada
marang
apngaling Hyang Widdhi
kang
widagda tuhu wignya
anyolahken
bawa maring.
(diambil dari serat Wulang Putri oleh Sinuhun Paku
Buwana IX ).
Kudus, 6 Agustus 2019
[2] Tiang
pilar pada rumah gebyok adat Kudus, biasanya 4 soko yang menjadi penjangga
ruang jogosatru.
[7] Ruang
di bawah jogosatru dari Rumah adat kudus, biasanya kosong atau untuk menyimpan
barang berharga.
Sri Subekti Astadi, ibu rumah tangga yang suka menulis fiksi dan non fiksi. Tinggal di Kudus. Anggota dari Keluarga Penulis Kudus. Admin di Fiksiana Community, sebuah komunitas fiksi di Kompasiana. Lulusan Fakultas Sastra Undip.
1 comments
Terima kasih udah diberi kesempatan tayang di sini...tapi sueeer ya..klo banyak yg tanya , apa ini kisahku...sama sakali bukan. Real Fiksi.
BalasHapus