Dialah yang Kusebut Tempat Pulang

Nilul Maghfiroh


cerpen karya nailul maghfiroh


“Jika tak ada bahu untukmu bersandar, ada sajadah yang bisa kau gunakan untuk bersujud.”

Beberapa orang yang berpikir pragmatis berkata, “Persetan dengan Tuhan. Apa iya, jika kamu berdoa pada Tuhan dan mengeluarkan semua keluh-kesahmu sudah bisa membuatmu lega? Omong kosong. Meskipun kamu berkata lega, dalam hatimu masih menginginkan kehadiran seseorang, bukan? Karena selain ingin mengungkapkan perasaan, kamu juga membutuhkan seseorang yang bisa memberikan solusi secara langsung atau paling tidak dapat menghibur hatimu. Dan kamu tidak akan mendapatkan hal itu hanya dengan bersujud. Sebab bercerita pada Tuhan, sama halnya berbicara sendirian, kamu tidak akan mendapatkan tanggapan langsung. Padahal, yang hatimu butuhkan adalah sandaran. Sebuah sandaran yang nyata menguatkan dirimu.”

Ya, setidaknya begini yang mereka pikirkan. Dulu, aku juga berpikir seperti itu. Tidak percaya jika hanya dengan bersujud, hati menjadi lega dan perlahan masalah dalam hidup selesai. Karena sebagai gadis yang tumbuh dewasa tanpa orang tua kandung, aku benar-benar merindukan sosok yang mampu menjadi sandaranku. Lalu, saat aku menemukan orang itu dan percaya dialah satu-satunya orang yang bisa kujadikan tempat berpulang, Tuhan menamparku. Dia mengembalikanku pada kesadaran bahwa berharap pada manusia hanya akan membuat diri ini bertemu kecewa. Parahnya kita juga akan terjerembab dalam jurang nestapa ketika orang yang disandari kehilangan karismanya. 

***

“Ana, kamu suka permen sama cokelat, kan? Tadi aku mampir ke minimarket sekalian beli ini buat kamu.” Adrian menyodorkan satu bungkus cokelat dan permen padaku setelah kuterangkan beberapa materi pelajaran ekonomi.

“Rian, harus aku bilang berapa kali sih? Aku udah dibayar sama orang tua kamu buat ngajarin kamu sama adik kamu. Jadi kamu nggak perlu kasih-kasih sesuatu lagi sama aku.”

“Ariana, sampai kapan kamu nolak aku kayak gini?” 

“Sampai kapan pun, Adrian. Tolong, jangan bersikap berlebihan padaku. Anak kelas sebelah juga banyak cantik kalau kamu mau jadiin mereka gebetan. Tapi, jangan aku. Oke.”

“Kenapa, Na?”

Waktu itu aku tidak menjawabnya dan langsung pergi. Ada sedikit sesak dalam dadaku setelah bersikap seperti itu pada Adrian. Sebenarnya aku sudah menyukainya sejak kelas 10, tetapi banyak alasan mengapa aku memilih menghindar darinya. Salah satunya adalah latar belakang keluarga. Klise. 

Memang.

Adrian berasal dari keluarga baik-baik dan terhormat. Sedangkan, aku hanya seorang anak angkat dari keluarga yang sederhana. Aku tidak ingin membuat diriku sendiri terjebak dalam luka jika menuruti perasaanku untuk bersamanya. Mungkin waktu kecil aku bisa percaya pada kisah cinta Cinderella, tetapi tidak untuk sekarang. Itu hanya dongeng, dan aku tidak hidup di dalam dongeng, melainkan dalam dunia nyata yang mana ekspektasi akan membuat seseorang jatuh dalam delusi.

Di usia yang sekarang hampir lulus SMA, aku juga tidak ingin menghabiskan waktuku untuk memikirkan hal yang menye-menye seperti ini. Banyak hal yang aku mimpikan terutama agar aku bisa membahagiakan orang tuaku dan fokus adalah hal wajib yang aku lakukan. Namun, di saat aku telah memantapkan hatiku untuk melakukannya, keadaan rumah yang kian kacau. Ini membuat diriku perlahan-lahan goyah. 

Prang! 

Suara piring terbanting di dapur. Aku melihat ibu sedang marah-marah di depan bapak.

“Dulu aku sudah bilang padamu kan, nggak usah adopsi anak itu. Kehidupan ekonomi kita udah pas-pasan, Pak. Ini  malah ketambahan biayain dia buat ujian akhir SMA. Uang dari mana, Pak? Belum biaya ujian SMP anak kita sendiri sama persiapannya buat masuk ke SMA. Sekarang, daftar sekolah itu mahal. Kita bisa dapat uang dari mana?” Suara ibu terdengar keras. 

“Bu, pelan-pelan. Nanti anak-anak denger suara Ibu. Iya, nanti Bapak akan lebih keras lagi kerjanya supaya dapat uang banyak dan bayar biaya sekolah mereka. Tapi Ibu jangan marah-marah, apalagi sampai melampiaskan amarah Ibu ke anak-anak.”

“Bapak mau kerja lebih keras kayak gimana lagi? Bapak cuma tukang bengkel kecil-kecilan. Penghasilan Bapak cuma ngandalin orang-orang yang lewat dan kebetulan kendaraannya bermasalah. Apa Bapak mau main curang? Ibu nggak mau ya kalau sampai Bapak kayak gitu. Gimana-gimana meskipun kita miskin, Ibu nggak mau kasih makan anak kita pakai uang haram.”

“Astagfirullah, Ibu. Istigfar…. Bapak nggak akan seperti itu. Bapak akan kerja bantu-bantu toko kayu sebelah bengkel Bapak sambil nunggu pelanggan. Kan lumayan, Bu.”

“Yasudah, nanti kalau sudah ada uangnya, biaya ujian Kiki dulu yang dibayar. Biaya ujian Ana nanti saja.”

“Jangan gitu, Bu. Kita harus bagi rata. Ibu nggak kasihan sama Ana kalau nggak bisa ikut ujian? Sayang anak sepintar dia harus gagal sekolah cuma gara-gara nggak bisa ikut ujian.”

“Nggak. Ibu nggak kasihan. Toh, dia bukan anak kita.”

“Bu...”

Mendengar pertengkaran mereka, tanpa sadar air mataku menetes. Hatiku terasa sakit. Meskipun ini bukan kali pertama aku melihat mereka bertengkar, kenyataan jika diriku hanya anak yang menjadi beban membuat diriku semakin terluka. Bukan karena aku tidak terima diperlakukan begini, melainkan aku benci diriku yang tidak bisa melakukan apa pun.

Aku berpikir, jika saja aku tidak dilahirkan di dunia ini, pasti aku tidak akan merepotkan siapa pun. Jika saja, mereka tidak mengangkatku sebagai anak, aku pasti hanya merepotkan ibu pengasuh panti. Jika saja, dulu aku tidak memohon pada bapak untuk disekolahkan sampai SMA, hal ini tidak akan terjadi. Jika saja, jika saja semuanya tidak terjadi. Namun, segalanya sudah terjadi. Apa yang bisa aku lakukan?

Rasanya, jika sedang berada di kondisi saat ini, mati begitu terasa lebih baik. Karena bertahan hidup pun, hanya akan ada celaan, bully-an dan penderitaan. Padahal, selama ini aku sudah berusaha menjadi anak yang baik dengan selalu mencetak prestasi di sekolah, tetapi semua itu tidak cukup. Bahkan, tidak akan cukup mengubah statusku sebagai anak pungut di mata teman-teman yang selalu mem-bully dan tidak akan merubah apa pun dalam kehidupan keluarga angkatku.

Terkadang, aku berpikir, mengapa Tuhan begitu tidak adil padaku. Teman-temanku yang sering berbuat ulah, mereka memiliki orang tua yang sangat baik. Sedangkan, aku yang sudah berusaha menjadi anak yang sangat baik mengapa tidak mendapatkan orang tua seperti mereka? Jika aku memilih mati, apakah Tuhan akan mengampuniku? 

***

Sret. 

Darah sedikit keluar dari lengan yang kugores dengan silet. Aku sama sekali tidak merasakan sakit di lenganku. Begitu juga sakit di hatiku, tidak sedikit pun berkurang. 

Sret. 

Aku menggoresnya lagi, berharap aku merasakan sakit di lenganku, hingga sakit di hatiku ikut berkurang. Namun tetap saja, lenganku tidak sakit. Sebaliknya, hatiku merasa lebih sakit. Aku menggoresnya lagi dan lagi, sampai seseorang menarik paksa silet yang kupegang erat. 

“Ariana! kamu gila ya?! Ngapain kamu melukai dirimu sendiri kayak gitu? Apa kamu mau mati?” Adrian membentakku. 

Sungguh, kala itu suaranya tidak lebih tinggi saat dia melakukan Orasi. Namun, entah kenapa hatiku bertambah sakit dan aku semakin ingin menangis. 

“Kalau aku memang ingin mati, apa pedulimu, Adrian? Apa pentingnya hidupku bagimu? Aku bukan siapa-siapamu. Jadi, tolong pergi dari sini. Aku bilang pergi Adrian. Aku tidak ingin kamu ada di sini. Pergi...!” 

Aku menangis tersedu-sedu. Namun, Adrian tidak juga pergi. Dia justru berjongkok di depanku dan membalut tanganku dengan sapu tangannya. Adrian kemudian membopongku dan membawaku ke klinik terdekat. 

***

“Adrian, kenapa kamu menyelamatkanku? Lebih baik kamu pergi sekarang.”

“Na, bagaimana aku bisa pergi jika keadaanmu seperti ini? Lagi pula, seberat apa masalah yang kamu hadapi sampai kamu ingin mati, sih? Kamu nggak pernah lihat orang di rumah sakit, ya? Banyak dari mereka yang ingin hidup lebih lama. Kamu yang diberikan hidup sehat malah ingin mati?”

“Aku tahu, tidak akan ada orang yang mengerti perasaanku termasuk kamu, Adrian. Terlebih anak yang dibesarkan dalam keluarga harmonis tidak akan tahu penderitaan anak angkat sepertiku. Jadi, pergilah Adrian. Aku tidak butuh perhatian atas dasar kasihan darimu.”

“Na! Cukup! Siapa yang kasihan padamu. Aku masih di sini karena aku sayang padamu, Na. Aku tidak ingin kamu bunuh diri. Mungkin benar, aku tidak tahu apa yang kamu rasakan. Tapi, cobalah berbagi padaku agar aku tahu bagaimana perasaanmu. Agar aku tahu bagaimana harus membantumu. Jika kamu terus menghindariku dan menyuruhku pergi, bagaimana bisa aku mengerti keadaanmu? Bicaralah, Na. Ceritakan semua keluh-kesahmu padaku.”

Air mataku menetes lagi. 

“Adrian, tinggal di panti asuhan membuatku tidak memiliki tempat untuk bercerita. Setelah mendapatkan keluarga angkat pun, aku tidak bisa menceritakan perasaanku pada orang tua angkatku. Mereka memiliki masalah mereka sendiri dan aku tidak mau menambah beban mereka dengan menceritakan keluh-kesahku. Aku juga tidak memiliki banyak teman apalagi sahabat. Aku tidak biasa menceritakan masalahku pada orang lain. Lalu, bagaimana bisa aku menceritakan masalahku padamu? Jika aku menceritakan masalahku, kamu pasti akan memikirkan tentang diriku padahal kamu pasti memiliki masalahmu sendiri. Bagaimana aku bisa seegois itu, Adrian. Di saat aku sendiri bukan siapa-siapamu.”

Adrian memegang tanganku. “Kita bukan orang asing, Ariana. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Berlakulah egois karena itulah sifat manusia. Berceritalah padaku, minta bantuanku, bergantunglah padaku, bersandarlah padaku jika kamu tidak lagi bisa memikul semuanya sendiri. Aku akan selalu ada untukmu, Na.”

“Bolehkah aku melakukan itu, Adrian? Bolehkah aku melakukannya? Apa kamu tidak akan meninggalkanku?”

“Tentu saja, Ariana.”

***

Malam itu, aku menceritakan semua keluh-kesah yang aku pendam selama ini pada Adrian. Dia dengan sabar mendengarkanku. Dia juga memberikan beberapa solusi padaku. Waktu itu, untuk pertama kalinya sepanjang 17 tahun hidupku, ada orang yang mendengar suaraku, isi hatiku, perasaanku tanpa menghakiminya. Sejak malam itu juga, aku tidak lagi menghindari Adrian.

Aku mengikuti sarannya untuk berlaku egois dan memikirkan sedikit kebahagiaan tanpa mengabaikan tujuan utamaku. Hari-hariku setelahnya memang terasa lebih berat karena aku harus belajar menyiapkan ujian sembari bekerja part time di rumah makan budenya Adrian agar bisa melunasi biaya ujian. Meskipun begitu melelahkan, aku masih bisa merasakan sedikit kesenangan dengan kehadiran Adrian yang mendukungku. Bahkan, ketika aku merasa di titik terendah saat belajar giatku tidak berbuah apa-apa, Adrian menjadi orang pertama yang menenangkan diriku. Dirinya sudah menjadi sandaran untukku, tempat di mana aku akan pulang dan menceritakan semua keluh-kesahku.

“Sudahlah, ini kan cuma nilai. Kenapa kamu harus sesedih itu, sih?”

“Huh, Adrian. Gimana aku nggak sedih? Aku sudah belajar giat di sela-sela kesibukan kerjaku. Terus pas lihat hasilnya nggak memuaskan, apa aku nggak boleh sedih? Padahal aku sudah berusaha keras biar bisa ikut ujian. Kalau nilaiku turun terus rasanya jadi sia-sia.”

“Segitu pentingnya ya nilai buat kamu? Padahal itu cuma indeks belajar, kan? Nilai itu nggak menunjukkan keseluruhan kemampuan yang kamu miliki.”

“Rian, jika bukan nilai belajar, apa lagi yang bisa kubanggakan pada orang tuaku? Aku tahu, entah kapan aku bisa benar-benar membanggakan mereka. Tapi, setidaknya dengan nilai itu, aku bisa melihat sedikit kebahagiaan terpancar dari mata mereka.”

“Yasudah, yang semangat. Selesai kerja di tempat bude, aku bakalan nemenin kamu belajar.”

“Eh, nggak perlu, Adrian. Jam kerjaku kan selesainya malam banget. Aku nggak mau merepotkanmu lagi.”

“Hei, apanya yang merepotkan, sih? Pas belajar kamu bisa sekaligus ngajarin aku juga, kan? Kamu untung, aku juga untung. Ini namanya simbiosis mutualisme. Udah, pokoknya mulai nanti malam kita belajar bareng. Sekarang, aku mau pesen nasi goreng spesial. Cepat gih bikinin.”

“Heh? Bikinin? Aku kan pelayan bukan koki.”

“Ya, sekarang kan lagi sepi, bolehlah izin sebentar sama kokinya. Buat aku, please...”

“Ya... ya... Tunggu sebentar kalau gitu.”

“Siiip.” Adrian tersenyum.

Aku masih ingat jelas dengan senyumannya itu. Begitu tulus, meyakinkan dan selalu membuat hatiku berdebar.

***

Masa itu adalah hari-hari yang membahagiakan bagiku. Apalagi setelah semua kerja keras ini, akhirnya aku bisa membiayai ujianku dan hasil ujian Sekolahku juga cukup memuaskan hingga aku bisa lolos beasiswa ke perguruan tinggi dengan bantuan guruku. Aku merasa benar-benar bahagia saat itu, sampai aku ingin mengungkapkan perasaanku pada Adrian, agar dia tahu selama ini aku juga menyukainya. Namun, aku lupa akan satu hal. Ketika manusia terlampau merasa bahagia, akan ada sesuatu yang buruk menimpanya. Karena dalam suatu kebahagiaan, ada harga yang selalu harus dibayarkan.

“Adrian.”

“Ariana.” 

Kami saling memanggil hampir bersamaan. 

Kami berdua salah tingkah untuk beberapa menit. Akhirnya kuberanikan untuk berbicara lagi terlebih dulu

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu,” kataku dengan wajah yang sedikit merona.

“Tidak, biar aku dulu yang berbicara, Ariana.” 

Detik itu, hatiku sudah resah. Salah tingkah Adrian, bukan salah tingkah seperti yang aku rasakan. Aku tahu, ada sesuatu yang tidak beres dengannya.

“Ya, baiklah. Silakan kamu dulu.”

Adrian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah undangan yang masih baru dan terbungkus rapi. Aku menerimanya dengan ragu, menerka-nerka undangan siapa itu. Dan saat melihat nama Adrian tertera di atas sampulnya, aku berharap aku salah membaca nama, tetapi perkataan Adrian setelahnya menjelaskan semuanya.

“Ini, datanglah jika ada waktu senggang.”

“Adrian? Kau akan menikah dengan gadis ini? Lalu, apa maksud selama ini? Kamu mendekatiku, dan baik denganku? Adrian?” 

“Maaf, maafkan aku, Ariana. Perjodohanku sudah diatur sejak lama. Pernikahan ini juga. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mempermainkanmu.”

Tanpa diminta, air mataku menetes. Namun, mendengar alasan Adrian membuatku ingin tertawa. Tertawa dalam kesedihan. Entah apa yang aku tertawakan saat ini, mungkin aku menertawakan diriku sendiri yang terlalu banyak berharap selama ini.

“Bodohnya aku, mengira kau menyukaiku, Adrian. Bodohnya aku karena percaya kata-katamu. Bodohnya aku berharap lebih padamu. Bodoh sekali. Benar-benar bodoh ketika aku mengira kau adalah orang yang bisa kujadikan sandaran setelah keluarga dan sahabat tidak bisa kujadikan sebagai tempat berpulang. Selamat, kau telah menyadarkanku bahwa berharap pada manusia merupakan hal yang sia-sia. Selamat juga atas pernikahanmu. Aku akan datang sesuai permintaanmu, Adrian. Terima kasih atas bantuanmu selama ini.”

Aku pergi meninggalkan Adrian tanpa menunggu jawaban darinya. Aku berlari dan terus berlari. 

Kudengar sayup suara azan dan aku tersadar bahwa satu-satunya yang kumiliki dan tidak akan pergi adalah Tuhan, Dialah yang sedari awal seharusnya kujadikan tempat untuk berpulang. Aku bangkit dan menyeret langkah mencari suara azan itu bersumber. Aku ingin pulang, ke rumah Allah, Tuhan semesta alam. Aku ingin mengadu, menangis dan bertaubat. Dialah satu-satunya, Yang Maha Satu, tempat berpulang kapan pun, di mana pun, dalam keadaan apa pun. Dialah yang akan menerimaku dan tidak akan meninggalkanku.


Semarang, 30 Mei 2019


NailulMaghfiroh, mahasiswi Ekonomi Islam yang menyukai dunia sastra. Pernah ikut bergiat di Komunitas Omah Gatra Undaan. Hobi utama menggambar, tapi suka nulis di platfrom wattpad hingga sekarang.

0 comments