Jiwa dan Lahirlah Peluang-Peluang

Jimat Kalimasadha





Laki-laki lebih menghargai perempuan karena tubuhnya. Padahal perempuan menginginkan laki-laki agar lebih menghargai jiwanya. 

Dua kepentingan di atas akan menjadi ketegangan selamanya. Tapi begitulah Tuhan menciptakan dramaturgi paling seru justru pada kehidupan laki-laki dan perempuan. Dan itu terjadi semenjak Adam dan Hawa turun dan tinggal di bumi.

Banyak laki-laki yang tidak menyadari hal ini dan banyak perempuan merasa yang menjadi korban. Laki-laki tetaplah mendominasi dan menjadi driver ke mana dunia ini akan dibawa, termasuk perempuan di dalamnya. Perempuan menjadi subordinat, menjadi ‘penumpang bumi kelas dua’. Di atas perempuan, laki-laki kadang bersikap menang sendiri dan kejam; hingga lahirlah idiom … ‘wanita dijajah pria sejak dulu...’.

Perbedaan keinginan atau kebutuhan antara laki-laki dan perempuan tersebut tidak saja menyebabkan perempuan merasa menjadi korban dari kekuasaan laki-laki, tetapi laki-laki merasa tidak mudah memenuhi keinginan perempuan. Perempuan ingin dihargai jiwanya, ingin didengarkan keluhannya, ingin dibantu pekerjaannya. Itulah keinginan pertama kali yang diharap-harapkan. Sementara itu, laki-laki lebih sibuk dan fokus pada penampilan dan tubuh perempuan.

Untunglah, perempuan bukanlah mahkluk yang cepat putus asa. Ia senantiasa menciptakan ruang-ruang kreatif agar eksistensinya tetap dianggap oleh laki-laki. Ia berjuang untuk mendapatkan pengakuan laki-laki dan bersaing dengan sesama perempuan untuk memperoleh apresiasi dan pengaruh laki-laki.

Tetapi, perjuangan tersebut lama-kelamaan sering menimbulkan kelelahan dan kegalauan di dalam jiwa perempuan. Kelelahan dan kegalauan jiwa mengendap lalu berakumulasi dan menyebabkan ruang jiwa mereka menjadi penuh. Kegalauan yang menumpuk dan mengendap, apalah itu, tentu saja menimbulkan hal-hal yang tidak baik. Segala sesuatu tidak boleh dipendam terlalu lama. Harus ada channel yang bisa mengurangi letupan-letupan emosi ini. Harus ada saluran yang bisa mengekspresikan kegalauan.

Perempuan-perempuan itu mencari channel yang bisa menguras endapan-endapan jiwanya. Yang sudah sangat parah, pergilah mereka ke hipnoterapis, psikolog, atau datang ke penasihat spiritual. Sebagian yang lain mengunjungi tempat-tempat rekreasi, restauran, atau pusat-pusat perbelanjaan. Mereka berbondong-bondong ke sana sambil berfoto ria dan membuat story baru di akun whatsapp, instagram, atau facebook. Mereka menyangka mengunjungi tempat-tempat tersebut akan dia temukan obat kegalauan.

Ternyata tidak. Setelah itu mereka pulang ke rumah, dan endapan jiwa mereka tak berkurang. Jiwa mereka tetap saja penuh dan perasaan perempuan ini tetap saja galau. Owalah.

Kegalauan menciptakan peluang-peluang baru, menciptakan profesi dan bisnis yang beromzet besar, bahkan miliaran. Adakah di antara perempuan galau dan laki-laki egois bisa menangkap peluang-peluang ini? Adakah di antara kalian yang kreatif inovatif itu mampu membuat bisnis yang bisa menjadikan jiwa-jiwa ‘penuh’ sebagai customer setia? Bisnis ini kita sebut sebagai berbasis kegalauan.

Tidak cukup sampai di situ. Perempuan-perempuan yang galau ini pulang, tiduran di kasur, menonton TV, memutar musik, belanja online, atau membaca novel. Dan jadilah dunia penuh dengan peluang. Peluang bisnis hiburan, peluang bisnis kuliner, peluang menulis novel. Begitulah. Dan masih banyak lagi peluang-peluang yang lahir dari kegalauan tersebut.

Sayangnya, masalah perempuan tidaklah sederhana. Jiwa yang tidak dihargai adalah jiwa sakit. Rasa sakit itu seperti satu tetes air yang jatuh di tengah kolam yang tenang. Satu tetes itu membentuk gelombang-gelombang, bervibrasi negatif ke seluruh permukaan kolam.

Sakit perasaan juga serupa. Gelombang negatif itu menjalar ke mana-mana, ke seluruh jiwa dan tubuh dan ke lingkungan sekitar. Shopping, jalan-jalan, makan kulineran itu sebenarnya bukanlah obat yang menyembuhkan. Obat sesungguhnya tidaklah mahal dan jauh, karena obat jiwa adalah penghargaan yang ikhlas kepada jiwa.

Semenjak zaman Mitologi Yunani hingga zaman milenial hubungan antara laki-laki dan perempuan, tubuh dan jiwa, perasaan dan ego tak selalu sederhana. Seperti halnya cinta, selamanya, selalu menyisakan tanda tanya.


Jimat Kalimasadha, redaktur tajug[dot]net.

0 comments