Terbuat dari Apakah Kebahagiaan Itu?
Mulanya, dunia ini kosong blong. Bahkan Tuhan sendiri tidak menemukan apa-apa di sekitarnya.
Dunia ketika itu sepi dan lengang. Dunia ketika itu mirip sebuah tabung hampa
tanpa isi dan rasa. Lalu Tuhan berimajinasi dan kemudian menciptakan cinta dan
kasih sayang dan kebahagian dengan kreatifitasnya yang agung. Lahirlah mereka:
Kafeina yang cantik seksi, Nikotin yang tampan menawan, Merica pedas yang
menggetarkan dan Gula yang manis menggoda.
Mereka membuat semesta menjadi lebih hidup dan kaya rasa. Mereka membuat semesta menjadi serupa taman kebahagiaan. Mereka hidup rukun teratur dari pagi hingga malam. Hidup berdampingan saling menyayangi seperti kakak dan adik yang baru saja dikasih eskrim oleh ibunya. Kehidupan yang serba lezat, tapi, sayang sekali, terasa rata, monoton, dan tanpa ada surprise. Hidup yang serba indah dan bahagia itu mereka jalani begitu saja. Entah berlangsung berapa puluh tahun hidup seperti. Mungkin mereka sudah tak ingat lagi.
“Ayo teman-teman, tidurlah sekarang. Aku akan menjagamu
agar kalian bisa menikmati mimpi indah,” kata Kafeina. Ia selalu tidur
belakangan karena ingin menikmati insomnia.
Begitulah. Rutinitas itu mereka jalani setiap hari.
Tanpa mereka mengeluh, tanpa mereka membantah dan bertanya. Sepanjang hari,
hidup mereka hanyalah menikmati dan bukan mencari.
Kemudian, pada suatu hari di musim semi yang anggun, Tuhan
menciptakan gairah dan rindu. Nikotin yang pertama kali menyadari. Ada sesuatu
yang aneh menjalar ke otaknya bersama tarikan napas dan keluarnya asap.
Perasaan yang tak biasa ia rasakan. Perasaan yang membuat ia tidak nyaman dan
tidak betah dengan apa yang selama ini ia jalani.
Perasaan itu semacam rasa bosan karena hidup mereka
selama ini dalam kebahagiaan monoton, tak menggairahkan. Tiba-tiba melintas
pikiran aneh, pikiran yang mempertanyakan kemapanan hidup yang mereka jalani
selama ini. Mereka berpikir dan lalu melahirkan penafsiran.
“Sebenarnya terbuat dari apakah kebahagiaan? Terbuat
dari apakah cinta dan kasih sayang?” tanya Nikotin.
“Kau ini bicara apa? Tuhan sudah memberikan kita
kebahagiaan dan kasih sayang. Belumkah itu cukup? Kenapa pertanyaanmu seperti
itu? Kamu selalu tidak mau bersyukur,” bantah Kafeina.
“Terus terang, aku mulai bosan. Aku jenuh!” Nikotin
marah.
“Niko! Kalau Tuhan tahu, kau pasti akan dikutuk. Kau akan diusir
dari Lembah Eden ini.” Kafeina dengan sabar menasihati.
“Bahkan sebelum Tuhan mengusirku, aku akan keluar duluan,” tekadnya. “Aku
yakin di luar sana aku akan menemukan sesuatu selain cinta dan kasih sayang.”
“Apa itu?”
“Entahlah.”
Owalah.
Owalah.
Sejak saat itu Nikotin selalu gelisah oleh pikirannya sendiri. Ia selalu
menengok lewat jendela ke bukit-bukit di seberang jauh sana, bukit-bukit yang
belum punya nama. Sebegitu gairahnya pikiran itu, hingga ia kehilangan
keseimbangan. Cinta dan kasih sayang yang ia miliki selama ini, terasa belumlah
cukup, terasa belumlah lengkap. Cinta dan kasih sayang yang Tuhan alirkan ke
dalam darahnya terasa berat sebelah. Ia harus menemukan keseimbangannya di
jauhan sana, di belantara bukit-bukit berjajar yang nampak menyimpan rahasia
itu.
“Tuhan, ampuni aku,” gumamnya.
Pada sebuah senja, antara batas siang dan malam, bukit-bukit di jauh sana
terlihat megah mempesona. Siraman cahaya emas kemilau dari sisa-sisa matahari
seperti menyanyikan tembang “Yen ing
Tawang Ana Lintang”. Syahdu tapi meremukkan hatinya.
“Kafeina,” kata Nikotin. “Kamu ikut aku apa nggak?”
“Ke mana?”
“Kabur dari Lembah Eden,” jawabnya singkat.
Kafeina terkejut. Jadi, ucapan Niko tidaklah main-main? Ia benar-benar
ingin minggat dari lembah kebahagiaan yang sudah bertahun-tahun dihuninya?
Benarkah ia akan keluar dari zona kemapanan dan mengadu nasib ke bukit yang
entah ada apa di sana, bukit yang entah apa namanya, bukit yang belum pernah ia
jamah, bukit asing yang entah, entah, entah… bukit ketidakpastian?
“Kafeina,” kata Nikotin. “Kamu ikut aku apa nggak?”
Kafeina ragu. Ia takut. Ia di persimpangan yang maha membingungkan. Ia
tak pernah tahu apa yang akan terjadi di tempat baru tak bernama itu. Jika ia
mengikuti Nikotin, ia akan memasuki dan menghuni wilayah ketidakpastian.
“Segala yang ada di bukit itu masih liar dan buas, dan siap menerkammu,”
kata Kafeina.
“Iya. Makanya hati-hati. Mungkin aku juga akan menerkammu,” jawab Nikotin
menggoda.
“Oh…,” Kafeina menutup matanya. “Siapkah kau melindungi aku?”
Nikotin menggeleng. “Dalam banyak hal, laki-laki tidak pernah siap.”
Kafeina mencubit pinggang Nikotin. Ia amat serius, tapi Nikotin selalu
main-main.
“Kafeina,” kata Nikotin. “Kamu jadi ikut aku apa enggak? Aku sudah tidak
punya waktu lagi.”
“Entahlah, Niko…” jawabnya pelan.
Tanpa banyak pertimbangan, Nikotin memegang erat tangan Kafeine,
menariknya kuat-kuat hingga Kafeina tak punya kekuatan untuk melepas diri.
Perasaannya seperti dua sendok kopi yang ditaruh dalam cangkir dan dituang air
panas, kemudian diaduk-aduk hingga larut lumer tak berbentuk. Akan kau apakan
aku, kau minum atau kau buang dan hanya tersisa ampasnya?
Dua manusia itu melesat ke udara, terbang bersama angin lembah menuju
bukit tak bernama. Angin yang kadang kering dan kadang basah. Angin yang kadang
asin dan kadang asam. Mereka seperti dua kapas terombang-ambing gelombang awan,
di bawah cahaya rembulan, di bawah cahaya bintang-bintang, demi menyempurnakan
kegelisahan.
Setelah sekian hari dan bulan, setelah sekian lapis angin terlampaui, dan
musim-musim yang tak pernah serupa berganti-ganti, Nikotin dan Kafeina
terdampar di antara dua bukit yang sama bentuknya. Dunia baru yang bakalan
mereka huni itu benar-benar dunia baru yang menantang. Dua bukit kembar yang
masih perawan, liar dan buas. Pada puncaknya ada taman bunga indah yang
mempesona dan menggairahkan.
“Bukit ini serupa diriku, Niko,” ujar Kafeine heran. “Dan kau akan
tinggal dalam diriku selamanya.”
Benarkah Kafeina bisa mengikat Nikotin selamanya? Heem, lahdalah.
“Entahlah. Bukit ketidakpastian ini, terasa menyakinkan aku bahwa kita
akan betah tinggal di sini. Bukit ini membuat diriku lebih hidup. Lingkungan
yang liar dan buas akan membuat lengan dan kakiku bertambah kekar. Tanah yang
segar ini akan membuat dadaku semakin bidang, membuat jantungku berdegup lebih
kencang,” ujarnya.
“Kita akan berkerja keras mengolah ladang di bukit ini. Aku akan menanam
bunga di sini, dan kau menanam sayur dan buah di sana. Kau memelihara ayam dan
kambing untuk lauk makan kita.” Kafeina bahagia.
“Kau masih takut tinggal di sini?” tanya Nikotin.
“He em. Jika kau benar-benar menerkamku.”
Oh, ya?
Kemudian mereka rajin bekerja, mereka berkeringat. Kafeina menanam buah
kopi dengan cinta dan Nikontine menanam tembakau dengan penuh gairah. Mereka sudah
lupa pada jenis kebahagiaan yang dulu mereka nikmati di Lembah Eden. Mereka
menemukan di sini jenis kebahagian yang lain, bersama angin yang kadang kering
dan basah, bersama nasib yang kadang asin dan asam, bersama musim yang sering
tak pasti.
Kopi mulai panen, buahnya merah ranum, mereka olah menjadi hitam dan
pahit. Kopi membuat siang dan malamnya menjadi nikmat, seperti cinta yang
melonggarkan pembuluh darah. Tembakau yang tumbuh dengan daunnya melebar hijau
tua, selalu Niko lilit menyerupai jari Nikotin yang lentik itu, adalah lilitan
yang selalu menggairahkan. Ia beri nama cerutu; selalu menekan aliran darah di tubuh Niko
memasuki lorong-lorong sempit; lalu desir-desir itu ia namai sebagai nafsu.
Itulah yang kemudian hari mereka sebut dengan keseimbangan. Cinta dan kegairahan.
Bukit kembar itu membuat Kafeina serasa hidup dalam rumahnya sendiri.
Menikmati bunga-bunga indah di puncak bukit itu, bagi Niko adalah hidup dalam
diri Kefeina tempat bersatunya cinta dan kegairahan. Kopi dan tembakau adalah
perbedaan yang saling mengisi. Tembakau menekan darah, sedangkan kopi
melebarkan pembuluh darah.
Di bukit itu, mereka hidup bahagia, meski tak seindah di Lembah Eden.
Hidup di bukit baru itu sungguh tak ada kepastian dan kemampanan; tak ada yang
lebih abadi selain perubahan. Tak ada kesetiaan apa pun selain cobaan. Mereka
berpisah lalu kembali lagi. Mereka bertengkar lalu rukun kembali. Mereka benci
lalu merindu lagi. Begitulah hingga sekarang.
Terbuat dari apakah cinta itu?
“Ia terbuat dari ketidakpastian!”
Tiba-tiba datanglah Gula dan Merica. Entah dari mana mereka tahu
keberadaan Kafeina dan Nikotin. Sejak itu, di bukit kembar itu kehidupan tak linier.
Tak pernah sepi dari guncangan. Tak pernah reda dari konflik dan air mata. Selalu
dan selalu saja ada pertanyaan tentang cinta.
Terbuat dari apakah kebahagiaan itu?
“Barangkali ia terbuat dari ketidakpastian juga!”
***
Jimat Kalimasadha, redaktur Tajug[dot]Net
0 comments