Berbincang di Dapurmu
“Kamu yakin?”
berulang kali dirinya menanyakan itu dan berulang kali pula kujawab dengan
anggukan kepalaku. Tampak kekhawatiran di raut wajahnya.
“Ndak papa, Mas. Aku akan menemanimu ke
sana. Sudah lama hal itu terjadi. Aku tidak bisa terus-terusan begini kan?”
kataku. Tak lupa kusunggingkan senyum agar ia semakin yakin.
Lelaki itu
menghembuskan nafas lega. Ia mulai menjalankan mobilnya pelan-pelan. Kali ini
perjalanan kami tanpa dipandu aplikasi google
map. Aku yang menjadi google map
itu sendiri. Aku sudah memantabkan diriku untuk berdamai. Berdamai dengan
jalan-jalan yang kulalui. Berdamai dengan masa lalu. Berdamai dengan rasa
sakit.
Beberapa hari lalu
Mas Warih membaca buku karya seorang budayawan yang kukenal. Ia pernah bilang
ingin sekali ngobrol dengan beliau. Katanya ada beberapa hal yang ingin
ditanyakan. Mulanya ia ingin berangkat sendiri. Tapi entahlah tiba-tiba aku
ingin ikut.
“Jalan di sana
banyak tikungan, Mas. Pakai google map
kalau ke sana masih sering nyasar. Sebaiknya aku temani kamu saja,” kataku
menawarkan diri.
Dan sekarang aku
memang sedang bersama Mas Warih menuju tujuan yang dimaksud. Kami sudah
berbelok dari jalan utama. Sekarang kami sedang melewati jalan perkampungan dan
sawah-sawah.
“Ternyata memang
jauh dan berbelok-belok ya. Kok kamu bisa ingat?” katanya sambil menguncir
rambut gondrongnya dengan satu tangan. Ah aku jadi teringat Gus Birru, tokoh
dalam novel Suhita. Bedanya Mas Warih tidak berwajah kearab-araban. Jawa totok
malah.
“Kamu lupa ya, Mas?
Aku ini tipe orang dengan ingatan yang kuat, apalagi untuk hal-hal yang
menyakitkan.”
“Jadi jalan-jalan
yang kita lewati ini menyakitkan?”
Kucubit lengannya.
Ia kadang memang menyebalkan jika sudah menggoda seperti itu. Dicubit begitu tidak
merasa kesakitan eh malah tertawa terbahak-bahak.
“Puas? Puas?”
“Hahaha, wis ta, aja mutung. Kamu tahu, bukan
kamu yang menemaniku sebenarnya, tapi aku yang menemanimu. Aku di sini untuk
menemanimu melarung lukamu. Jika kamu nggak kuat, ada bahuku yang bisa kau
jadikan sandaran. Jangan sendirian. Kamu sudah lama menyimpan lukamu sendiri.”
Aku tidak menanggapi
omongan Mas Warih, aku sedang konsentrasi melihat jalan di depan.
“Satu belokan lagi,
Mas. Setelah gapura warna ijo belok kanan. Rumahnya sebelah barat masjid.” Aku
memberi petunjuk pada Mas Warih. Kami parkir menumpang pekarangan tetangga.
Sebelum turun Ia sempat menanyakan sesuatu.
“Kalau dia ada di
dalam gimana?”
“Ya wis. Biasa aja. Malah mau kukasih
selamat atas pernikahannya.”
“Bener ya?”
“Iyaa..bener. Sudah
ayo turun.”
Mas Warih membantuku
membawakan oleh-oleh yang kami bawa dari Kudus dan Solo. Entahlah ada yang
kurang ketika aku berkunjung ke sini dengan tangan kosong.
***
Pekarangan rumah ini
tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali aku berkunjung ke sini. Hanya
kursi bambu yang ada di emper rumah ini tidak ada. Ah kursi itu. Kursi yang pernah
kupakai duduk menunggu seseorang pulang ke rumah ini.
Lelaki paruh baya
itu menyambut kedatangan kami dengan ramah. Kusalami tangannya dengan takzim.
Mas Warih mengikutiku lalu kami dipersilakan duduk. Mas Warih memperkenalkan
diri pada Bapak, lelaki paruh baya yang menyambut kami tadi.
Tak lama setelah
kami berbasa-basi saling menanyakan kabar, muncul lelaki yang lebih muda dari
Bapak. Ia menyalami Mas Warih dan ... menyalamiku, dengan canggung.
“Oh ya, Bapak, ini
ada oleh-oleh dari saya dan Mas Warih. Kretek Sinuwun buat jenengan, ini ada
jenang Kudus juga. Yang dari Solo saya bawa sarung batik.” Kuserahkan oleh-oleh
itu pada bapak.
“Mas Risang, kalau
sarung batik ini buatmu. Motif truntum, lambang kemakmuran. Selamat ya atas
pernikahanmu. Maaf aku tidak bisa datang.” Kuserahkan hadiahku untuknya. Mas Warih
melirikku. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku serius dengan omonganku.
“Maturnuwun ya.” Lelaki bernama Risang
itu tersenyum dengan ekspresi yang susah kuterjemahkan.
“Aduh, hampir
kelupaan. Kemarin aku sempat ke Muria. Ini juga buatmu, Mas. Buat istrimu,
lebih tepatnya. Buah parijoto. Semoga segera diberi momongan ya.” Sekali lagi
ia menerimanya dengan canggung.
“Oh ya. Mau ngunjuk apa ini? Kopi? Teh?” Bapak
memecah kewaguan kami dengan
menawarkan minum.
Aku bangkit dari
duduk, “Biar saya buat minum sendiri, Pak. Kopi semua ya?”
Mereka mengangguk.
Aku langsung menuju dapur.
Dapur ini tidak
banyak berubah. Masih berantakan seperti dulu. Walau berantakan tapi keperluan
dapur bisa dikatakan lengkap. Tidak peduli penghuni rumah ini laki-laki semua.
Ah memang sesungguhnya hal itu tidak berpengaruh. Memasak bukan masalah jenis
kelamin tapi perkara bertahan hidup. Aku sendiri sebenarnya bukan perempuan
yang akrab dengan dapur. Aku memilih ke dapur ini agar tidak terlibat
perbincangan yang njlimet di ruang
tamu.
Kunyalakan kompor
dan ingin misuh seketika. Kenapa Bapak tidak mengganti kompor menyebalkan ini.
Apinya sudah tidak bagus untuk memasak dan suka mengagetkan. Kukecilkan kompor
dan kuletakkan panci berisi air di atasnya. Aku memandang deretan gelas di rak
piring. Di rak itu hanya tersisa empat gelas bersih. Aku menyiapkan tiga gelas
dan menyisakan satu gelas. Aku tidak minum kopi jadi memang aku tidak
menyiapkan gelas untuk diriku sendiri. Tiga gelas kopi sudah siap untuk
kusuguhkan ketika tanganku tidak sengaja menyenggol satu gelas dan membuatku
reflek berteriak karena kulitku terkena panasnya air kopi.
Teriakanku membuat
panik para lelaki di ruang tamu. Mereka menyusul ke dapur untuk memastikan
keadaanku. Aku bilang tidak apa-apa dan meminta mereka melanjutkan obrolan
saja. Mas Warih membantuku membawa dua gelas kopi ke depan.
“Sudah tak bersihin aja. Nggak usah bikin kopi
lagi. Lagian sejak kapan kamu mau bikin kopi?” Belum sempat aku membalas
perkataan lelaki itu, ia sudah memberiku gelas lain, “Bikin teh saja. ini gelas
kesayanganmu.”
Aku tidak menerima gelas pemberiannya. Kubiarkan ia menaruhnya
di meja. Ia menjarang air lagi.
Aku memang bukan
gadis kopi. Aku tidak suka dan tidak bisa minum kopi, apalagi pusing dengan
filosofinya. Aku sempat iri dengan perempuan yang ia pilih. Seorang gadis kopi.
Tapi segera aku sadar aku tidak boleh berlarut-larut membandingkan diriku
sendiri dengan perempuan lain. Aku memang bukan gadis kopi, tapi aku gadis
pengoplos teh. Tidak semua orang bisa mengoplos teh dengan enak.
“Kamu ingin
menyuruhku membuat teh dengan merk teh di lemari itu? Aku tidak akan
membuatnya. Itu bukan jenis teh yang enak untuk dioplos.” Aku menolak
permintaanya.
Ia tidak
mempedulikan omonganku. Tetap saja ia membuat dua gelas teh. Satu gelas ia beri
gula, dan gelas lain ia biarkan tawar. Ah masih ingat ternyata. Tapi tetap saja
aku tidak minat meminumnya. Bau teh ini tidak enak. Persis bau pengkhianatan.
“Aku lapar. Kamu
punya apa yang bisa aku masak?”
“Aku masih punya
sayur gori. Tapi itu sudah nget-ngetan.
Sepertinya tidak patut untuk disajikan.”
“Tak apa. Malah
lebih enak. Ada jenis sayur yang lebih enak ketika sudah dihangatkan daripada
ketika baru matang. Lebih terasa bumbunya. Lebih meresap. Ia seperti seseorang
yang sudah melewati kematangan. Lebih menep.”
“Mimpi apa aku
semalam. Berbincang di dapur ini, dengan seseorang yang bukan istriku.”
“Aku tidak
menyuruhmu ke sini,” kataku ketus.
“Jadi kau mengusirku dari
dapurku sendiri?”
“Ini dapur Bapak. Bukan
dapurmu.”
Kata-kataku berhasil
membuatnya keluar dari dapur ini. Syukurlah ia tidak sempat melihat air mataku
jatuh. Aku menyamarkan dengan mencuci muka di wastafel. Aku benci jika aku
menjadi bodoh seperti ini. Buat apa menangisi seseorang yang sudah bukan
milikku? Ingat, di luar ada seorang laki-laki yang bersedia menerimaku.
Menerimaku, meski seluruh puisi dan prosaku bukan tentang dirinya.
Aku merasa segala
yang ada di dapur ini menjadi mata dan telinga juga mulut yang siap membeberkan
apa yang terjadi. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap menanak nasi, tetap mengiris
tempe, menguleg bumbu, mencampur bumbu itu dengan tepung dan tempe yang kuiris,
lalu menggorengnya. Tidak cukup dengan itu, aku membuat sambal lengkap dengan
minyak jlantah sisa menggoreng tempe. Bau sambal ini sungguh ingin membuatku
bersin. Bau pedas, bau kemarahan.
Nasi belum matang
ketika tempe dan sambal yang kubuat sudah jadi. Aku masih mencari bahan lain
yang bisa aku masak. Pandangan mataku berhenti pada sebuah terong di dalam
besek. Hanya satu. Terong itu sudah kisut
atau tidak segar lagi. Segera kuambil terong itu, kucuci dan kuiris untuk kujadikan
terong penyet.
Terong kisut itu berada di besek dan
terabaikan. Aku membayangkan sungguh tidak enaknya menjadi terong kisut itu. Tergeletak, tidak dianggap,
menunggu dibuang. Sungguh tidak punya harga diri. Jadi daripada teronggok
menyedihkan begitu lebih baik dimasak. Mungkin ia akan sakit ketika dikupas,
mungkin akan panas ketika digoreng, mungkin juga merasa sakit lagi dan pedes
ketika dipenyet. Masih ketambahan bau karena dicampur trasi. Tapi itu lebih
baik. Setidaknya ia berguna, membuat orang lain senang dan kenyang setelah
memakannya. Lebih baik begitu daripada terabaikan.
Aku mencuci tangan dan memberi tahu Bapak dan lainnya
kalau masakan sudah matang. Mas Warih membantuku membawa tempe dan terong. Aku
membawa nasi sedang Risang membawa sayur gori yang sudah kuhangatkan lagi. Ia
menjejeriku dan membisikkan sesuatu padaku.
“Calon suamimu. Ia laki-laki yang baik.”
“Bukan baik. Tapi sangat baik.” Aku mengoreksi
kalimatnya.
“Oh iya. Sangat baik. Semoga kau bahagia.”
“Terima kasih. Aku memang tidak sedang berlomba denganmu.
Kamu memang bahagia duluan. Tapi ini bukan dalam rangka menyusulmu.”
Kutinggalkan ia. Aku bergabung dan Bapak dan Mas Warih
untuk makan bersama. Aku melakukan sesuatu yang lama tak kulakukan:
mengambilkan nasi untuk Bapak.
“Kamu masih ingat porsi nasiku ya, Ndhuk,” kata Bapak dengan sumringah.
Kubiarkan para lelaki itu mengambil jatah makannya
masing-masing. Memasak sudah membuatku kenyang bahkan sebelum makan.
“Mas Warih, kamu nggak ingin memuji masakan calon
istrimu?” goda bapak.
Aku melirik Mas Warih. Aku lupa mem-briefing-nya. Harusnya aku bilang padanya untuk fokus mengobrolkan
bahan tulisan yang ia cari, bukan membicarakan drama hidupku yang
berjilid-jilid itu. Pasti ia sudah berhasil dijebak Bapak untuk bercerita.
“Waduh, Pak. Terongnya mungkin gurih. Tapi sambelnya
pedesnya ra mekakat. Curiga dia mau
membunuhku pelan-pelan ini.” Mas Warih bicara sambil ber-huhah karena
kepedasan.
Aku melihat Risang pun begitu. Hanya ia makan dalam diam.
Selesai makan, aku membereskan semuanya. Mencuci piring
dan kuletakkan di masing-masing tempatnya. Aku tidak tahu apakah aku akan
berkunjung ke dapur ini lagi. Kuucapkan terima kasih pada semua penghuni dapur
karena mengizinkanku melarung kenangan di sini.
Aku dan Mas Warih mohon diri. Kusalami Bapak. Sekali lagi
dengan takzim.
“Bahagia ya, Ndhuk.
Aku selalu mendukung orang-orang yang hatinya masih murni. Doaku selalu
untukmu,” katanya sambil menepuk pundakku.
“Pangestunipun,
Pak,” ucapku meminta restu.
Kutinggalkan Bapak dan lelaki di sebelahnya. Hari semakin
larut ketika Mas Warih menjalankan mobilnya. Pergi meninggalkan Yogya.
***
“Tadi ngomong apa sih sama Bapak dan Risang? Kok mereka
sudah menyebut kalau kamu calon suamiku, Mas? Aku kan sudah pernah bilang, ini
bukan Kudus atau Solo. Ini di Yogya. Yogya bukan tempat yang cocok untuk
menyimpan rahasia. Semua bisa menjadi telinga, mata dan mulut. Cukuplah Yogya
itu menjadi tempat untuk menyimpan kenangan, jangan rahasia,” omelku pada Mas Warih.
“Loh, memang aku calon suamimu toh? Biarlah mereka tahu.
Untuk apa ada rahasia?”
“Tapi, Mas ....”
“Sudah, Dhik. Kita sudah berjanji untuk saling menjaga
kan? Kamu menerimaku meski prosa-prosaku bukan tentang dirimu, begitu juga
diriku, aku menerimamu meski puisi-puisimu bukan tentang aku.”
Kuraih lengannya.
Kusandarkan kepalaku di bahunya. Aku tak peduli ia ngomel-ngomel karena sedang
menyetir. Aku sudah bosan ditinggalkan. Aku tidak ingin kehilangan dirinya.
Lelaki kretekku.
***
Mendungan, 10 September 2019
Untuk
Mala, Ayu, Islakh dan teman-teman dari Kota Kretek.
Impian Nopitasari. Menulis
fiksi berbahasa Indonesia dan Jawa. Pehobi sepeda dan pecandu kereta. Tinggal
di Solo dengan segala kenangannya. Bisa dihubungi via instagram dan twitter
@dreamy091_
2 comments
salam kenal Mbak Impan Nopitasari, keren cerpennya..
BalasHapusWah salam kenal, Mbak Dinda. Terima kasih ya ��
BalasHapus