Jangan (Hanya) Jadi Penyair

Mukti Sutarman Espe


penyair indonesia
Sumber: pixabay.com/id/illustrations/penyair-sastra-api-es-imajinasi-498865


*Solilokui*

“Hari gini masih nulis puisi?”

Sengaja tulisan ini dibuka dengan pertanyaan retorik dari teman saya, seorang profesor  seni sastra dan budaya, pengajar pada sebuah perguruan tinggi ternama di Jawa Timur. Sejujurnya, kapan  mendengar pertanyaan itu saya sangat, sangat, tersinggung bahkan marah besar. Betapa tidak, seorang profesor sastra melecehkan puisi! ****cuk, andai saja saya arek Surabaya boleh jadi akan menyemburkan “kata mutiara” tersebut.

Kenapa saya marah besar? Pasalnya, saya termasuk salah satu dari sekian ribu (?) orang gila yang menyukai puisi. Tidak hanya sebatas suka, bagi sang pangeran yang bernama puisi itu, saya bahkan telah mendarmabaktikan sebagian hidup kepadanya. Pangeran puisi, yang oleh anak sekolahan disebut  punya ciri-ciri, antara lain: terdiri dari baris dan bait. 

Sedari awal mula mengenal, lalu intens bergaul intim berlanjut hingga sampai tataran disebut penyair--dengan “p” kecil, saya beranggapan dalam hidup ini puisi adalah segala-galanya. Bila saja ada orang yang  tidak suka pada puisi apalagi melecehkannya, tanpa pikir panjang saya letakkan  dia sebagai orang yang bukan golongan sanak-kadang.

Pendek kata, saya berkeinginan semua  orang harus seperti saya. Meletakkan puisi sebagai kebutuhan utama. Sebagai yang number one. Ibarat lagu, ia harus dijadikan lagu hit abadi. Tansah ditenggerkan  di tangga pertama, tak boleh tangga kedua. Apalagi tangga jauh di bawahnya. Hal itt agar punya kesusaian dengan jargon hidup saya, puisi adalah detak jantung dan alir darah, puisi adalah tubuh dan jiwa, puisi adalah cahaya terang bagi kegelapan, puisi is my live. Ambyaarr!

Berpuluh-puluh tahun anggapan saya tentang puisi itu bergeming, tidak pernah berubah sedikit pun. Hingga suatu malam, usai bertafakur, selepas sujud mencari rahasia kemuliaan “sepertiga malam”, saya seperti mendapat semacam bisik dari rahim kesunyiaan. Saya seperti mendapat semacam pencerahan dari lubuk perenungan. Bisik pencerahan perihal bagaimana seharusnya memandang, menata, melakoni hidup dan kehidupan. Salah satunya adalah cara pandang atas keberadaan puisi dalam kehidupan saya.

Selama ini anggapan saya terhadap puisi ternyata salah dan berlebihan. Lebay, kata anak muda masa kini. Maka agar tidak menjadi racun bagi diri saya, apresian dan atau siapa pun, anggapan itu mesti segera direvisi dan dibenarkan. Adalah kebenaran yang sebenar-benarnya bahwa dalam hidup ini puisi bukan segala-galanyanya. Pasalnya, hidup ternyata juga membutuhkan pangan, sandang, papan, dan pasangan (yang terakhir boleh di-delete). Itulah kebutuhan dasar hidup manusia. Setiap manusia normal terniscayakan membutuhkannya. Jika puisi dikomparasikan dengan kebutuhan dasar itu sungguh tidak sebanding. 

Mengapa begitu? Ya, karena tanpa puisi manusia tetap bisa survive. Sementara tanpa pangan? Tanpa puisi manusia bisa tetap hidup normal. Sedang tanpa papan, sandang, dan pasangan, hidup dan kehidupan manusia relatif berasa kurang sempurna. Jadi, dalam kehidupan saya, sudah saatnya keberadaan puisi saya letakkan di tempat biasa. Sejajar dengan kebutuhan sekunder lainnya. Sudah waktunya saya menganggap puisi merupakan sesuatu yang penting sekaligus tidak penting. Penting dalam arti ketika membutuhkan, tidak manakala tak menginginkan.

Bukan berarti saya punya niat berhenti menulis puisi. Tidak. Sejauh masih mampu, saya akan tetap menjadi penyair. Saya akan terus menulis puisi. Sekalipun dalam takaran sewajarnya,saya akan tetap mencintai puisi. Dalam keseharian saya, keberadaan puisi akan saya anggap seperti keberadaan buah pisang di meja makan. Ada dan tiadanya tak sangat mengurangi terbitnya selera pada menu masakan yang terhidang. Dalam kapasitasnya sebagai pencuci mulut, buah pisang bisa dibilang penting sekaligus tak penting.

Begitulah, selama bergaul dengan puisi kini saya perlu membuat banyak catatan kaki. Saya tidak mau hanya menjadi penyair. Selain penyair, saya harus menyandang profesi lain. Nyambi. Menjadi aparat sipil negara, pengusaha, pedagang, youtuber, buzzer atau apalah. Terpenting profesi itu dapat dijadikan sumber mata pencaharian, penunjang tegaknya periuk di dapur. Kini, terhadap  puisi saya mesti melakukan perhitungan ekonomis. Mengingat puisi sama sekali tidak bisa dibuat gantungan hidup. Dari dulu, apalagi sekarang, puisi tidak pernah bisa mendatangkan uang banyak.

Tidak percaya? Coba tengok kehidupan para pesohor, penyair-penyair papan atas negeri ini. Rata-rata penyair yang hidupnya sejahtera adalah mereka yang punya profesi mapan. Seperti dosen, dokter, politisi, guru, juru dakwah, wartawan, pedagang, dan lain-lain. Sementara  penyair yang hanya menyair, secara kasat mata, hidup mereka banyak yang berada di level “memprihatinkan”. Setidaknya bila  dibandingkan  dengan kehidupan anggota dewan atau bandar beras.

Dalam konteks itu saya tidak bicara tentang kepuasan batin. Sebab saya tidak mau jadi keledai yang dua kali terantuk pada batu sama. Saya tidak sudi dirundung (lagi) sinisme menyakitkan seperti yang  pernah saya dengar dari mulut seorang narasumber, penilik kebudayaan sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Kalau tak salah ingat, 8 tahun lampau, dalam sebuah diskusi sastra, penilik kebudayaan berijazah S2 itu dengan lantang berucap,  “Makan tuh kepuasan batin!” Celaka dua belas bukan?

Terakhir, lewat tulisan ini, kepada pembaca, terkhusus yang bermimpi menjadi penyair, saya  ingin sampaikan ajakan mulia, mari menjadi penyair yang tidak hanya menyair. Mari menjadi penyair plus. Selain menyair juga bekerja di kampus, di rumah sakit, di dunia maya, di sekolah, di pabrik, di pasar, etc. Satu hal, jangan pernah sekalipun berniat menjadikan puisi sebagai satu-satunya gantungan hidup. Karena, lihatlah realitas itu, puisi banyak ditulis tetapi sedikit dibaca. Buku puisi banyak diterbitkan, tetapi  sedikit (sekali) dibeli. Nah, dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin puisi bisa menjamin hidup penggubahnya menjadi  sentosa raga-jiwa? Miris nian! 



Baca esai Mukti Sutarman Espe lainnya:



Mukti Sutarman Espe, penyair, mukim di Kudus.

0 comments