Laku Rendah Hati dan Kesombongan Terselubung

Mukti Sutarman Espe


Rendah Hati dalam KBBI


*Sebuah Otokritik*

Rendah hati, lembah manah, tawaduk, humble, merupakan deretan dua frasa dan dua kata yang berinduk pada bahasa berbeda.  Kedua yang tersebut di awal berinduk pada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, sedang dua yang terakhir dari bahasa Arab dan bahasa Inggris. Meski berasal dari induk bahasa berbeda, keempatnya memiliki makna sama, yakni rendah hati alias tidak sombong.

Menurut KBBI, rendah hati berarti menjadikan diri tidak sombong, tidak congkak, tidak angkuh. Menjadikan diri, erat berkait dengan upaya untuk diri sendiri agar selalu bisa bersikap atau berperilaku. Menjadikan diri tidak sombong berarti upaya untuk selalu berperilaku rendah hati, tidak sombong, tidak angkuh, tidak congkak, tidak pongah.

Di tengah kondisi kehidupan permisif kekinian, yang ditandai dengan lesatan kemajuan teknologi komunikasi, laku rendah hati acap dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan berkesan jadul. Orang cenderung menilai laku rendah hati identik dengan kebodohan, katrok, bahkan puritan. Demi dianggap sebagai menusia modern, kini banyak orang menanggalkan laku rendah hati. Bahkan secara terang-terangan, maupun terselubung, suka berdekat-dekat dengan kesombongan.

Dalam tarikan kuat bujuk rayu pergaulan dunia maya yang mengepung segala lini kehidupan, boleh jadi, saya dan kamu, berada pada lingkaran terdalam orang-orang yang bersikap begitu. Suka berdekat mesra dengan kesombongan. Gemar menunjuk-nunjukkan laku sombong secara terselubung. Senang pamer sesuatu lewat unggahan eksklusif di layar gawai.

Demikiankah? Coba periksa dengan seksama jejak digital di ponsel kita masing-masing. Berapa banyak unggahan pose foto sok akrab kita bersama para pesohor atau pejabat publik? Berapa banyak unggahan foto narsis kita dalam gaya genit di tangga sebuah maskapai penerbangan, di destinasi wisata berlatar panorama artifisial atau di hadapan deret menu masakan yang mengudang selera? Lebih banyak mana persentase status kita yang berisi kesoktahuan dan keingintahuan? Nah, lho.

Bila mau jujur, tersadari atau tidak, secara terselubung, unggahan-unggahan seperti itu sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk menunjuk-nunjukkan kesombongan. Unggahan-unggahan begitu pada dasarnya kegiatan untuk mengabarkan siapa diri kita, di mana letak  status sosial kita. Sekalipun kita tahu lagi paham, bahwa semua merupakan realitas semu. Dusta dunia maya.

Apakah mengunggah foto atau membuat status tentang kegiatan yang membahagiakan diri sendiri tidak boleh? Tak ada larangan. Toh laku narsis merupakan pembawaan dasar manusia. Manusiawi adanya. Tulisan ini dibuat dengan semangat untuk mengingatkan-diri saya sendiri. Semacam otokritik yang bertujuan menjaga perilaku agar tidak kebablasan. Perilaku lancung, hoaks, suka memanipulasi data, memungkiri realitas, yang pada gilirannya bukan tidak mungkin akan membuat saya dan kamu, kita, jadi kehilangan jati diri sebagai manusia.

Jadi, tujuan akhirnya lebih pada ajakan untuk mengendalikan diri. Self control. Dengan arif mau memilah dan memilih, mana kegiatan yang pantas dikabarkan dan mana yang  tak. Kegiatan yang punya kemanfaatan besar bagi penguatan harkat dan martabat kemanusiaan, wajib hukumnya disebarluaskan. Sementara yang bersifat spesifik dan personal lebih seyogia bila disimpan saja dalam file pribadi, sebagai tapak peristiwa indah yang pantas dikenang sayang. 

Di situlah tantangan besarnya, titik ujinya. Sebab pelbagai godaan, internal maupun eksternal, diniscayakan akan datang menjelang. Godaan internal berupa dorongan hati untuk selalu esksis dan update. Godaan eksternal berupa gelagak syahwat untuk memenangi lomba pamer keberhasilan dengan sesama member grup, etcetera. Pokoknya, segala macam tabiat yang tak jauh-jauh  dari laku sombong.

Bila mampu menaklukkan godaan-godaan itu, sila mendabik dada. Saya dan kamu, mungkin, termasuk golongan orang-orang yang mampu mengendalikan diri. Orang-orang yang tidak suka memanfaatkan gawai sebagai ajang pamer ria. Pemer harta, pamer kebahagiaan, pamer kebanggaan, pamer kebohongan, dan pamer kesombongan. Saya dan kamu, boleh jadi, termasuk bagian kaum yang sadar diri. Para fakir yang ingin bertekun ngaji ilmu dan ngelmu kaweruh rendah hati.Wuih!

Tentang laku rendah hati, Presiden Jokowi pernah mengatakan, kurang lebih begini, rendah hati kebanyakan dimiliki rang-orang yang tidak kaya, yang berasal dari keluarga biasa. Orang-orang biasa tidak bisa menyombongkan diri karena tidak punya modal dasar. Hanya orang-orang kaya atau mereka yang terlahir dari keluarga tajir serta orang yang pintar dan sok pintar saja yang bisa dan biasa bersombong diri. Sebab mereka punya modal, kekayaan, pangkat, ilmu, kekuasaan, dan sebagainya.

Dan saya (Jokowi) berasal dari keluarga biasa, bukan dari keluarga kongklomerat, bukan anak orang berpangkat, bukan orang berilmu tinggi. Mungkin itulah yang menyebabkan ada   yang tidak suka saya jadi presiden. Bagi saya jabatan merupakan amanah, panggilan suci untuk mengabdi pada bangsa dan negera. Karena jabatan adalah amanah maka tidak baik bila digunakan untuk merendahkan orang lain.

Pernyataan sangat rendah hati dari orang nomor satu negeri ini, yang menyadari benar siapa sejatinya dirinya. Dari mana asal muasalnya. Dan bagi yang selalu ingat bahwa sang presiden berasal dari Solo, Jawa, maka dengan serta merta tetntu akan memakluminya. Karena, apa pun, Jawa sejati tidak bisa dilepaskan dari budaya tepa salira, unggah-ungguh, lembah manah, dan andhap asor. 

Jauh waktu berabad-abad silam, prihal laku rendah hati sebenarnya sudah menjadi muatan ajaran salah seorang wali songo, Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus. Wali yang layak dibilang pandu utama toleransi beragama di wilayah Kudus dan sekitarnya itu telah menanamkan berbagai nilai kebajikan lewat ajaran-ajarannya. Salah satunya adalah petuah ini:

”Yen siro banter ojo nglancangi, yen siro landep ojo natoni, yen siro mandii ojo mateni”

Siratan inti ajaran tersebut mengingatkan, sekalipun punya kelebihan sebaiknya orang bersikap rendah hati. Demi menjaga harmonisasi hubungan antarinsan, sebaiknya orang bersikap proporsional, sakmadya, tidak berlebihan. Jikalau kencang jangan melampaui, jikalau tajam jangan melukai, jikalau sakti jangan membunuh. Sebaiknya orang selalu bertindak secara terukur dan hati-hati. Dengan demikian akibat yang ditimbulkan tidak menyinggung, merendahkan, melukai, dan atau bahkan membunuh (harapan) hidup liyan, orang lain, sesama hamba ciptaanNya. Yes! 

Salam Tajug.



Baca esai Mukti Sutarman Espe lainnya:

Mukti Sutarman Espe, penyair, mukim di Kudus

0 comments