Pembunuhan Ketiga dan Seterusnya
Tim forensik di lapangan telah menyimpulkan. Luka yang diderita Morikawa Subaru ini berasal dari anjing. Daging tenggorok cuil sebesar genggaman tangan akibat taring-taring runcing anjing tersebut. Tampak nganga yang dalam dari leher korban. Dan ini sudah pembunuhan yang ketiga dalam dua bulan bekalangan. Tim Investigasi di kepolisian Azabu masih terus mencari tapi tak mendapat petunjuk lain. Yang jelas anjing ini dilatih seseorang. Itu pasti. Sebab interval pembunuhan ini berseling beberapa minggu dan selalu terjadi di waktu-waktu tertentu. Pula korbannya adalah orang-orang yang memiliki gaya hidup serupa: pengunjung tetap di daerah Roppongi sekaligus penggila pachinko.
***
Dua detektif muda dan seorang penyidik senior ditugaskan untuk mendatangi lokasi pembunuhan di Azabu, tepatnya di sebuah jalan gelap penuh apartemen tinggi. Garis polisi sudah dipasang.
Ayano tadinya bertugas di lapangan lalu lintas. Namun saat mengajukan diri untuk menjadi penyidik pada bagian Investigasi Tindak Kriminal, dirinya diterima. Sudah empat bulan ini dia beralih menjadi detektif. Dan baru kasus ini yang rasanya punya skala besar dibanding kasus-kasus sebelumnya yang dia tangani. Kasus-kasus receh seperti pembunuhan yang dilatari asmara atau penagih utang yang ditemukan dalam tong sampah di pagi hari. Kasus dengan masalah gamblang yang mudah dipecahkan. Kali ini berbeda. Tiga kematian, dengan pola yang tersusun. Dan itu semua dari seekor anjing.
Sedangkan Ginbei baru saja bekerja di bagian Investigasi. Tepatnya dua bulan dirinya telah resmi sebagai detektif. Yang khas dari Ginbei adalah melontarkan pertanyaan dan hanya dapat menjawab semua yang ditanyakan oleh senior-seniornya dengan anggukan dan “ya”. Ginbei tak pernah membantah apa-apa yang diucap Ayano dan penyidik tua yang menjadi pendamping mereka.
Penyidik senior yang menemani Ayano dan Ginbei adalah detektif senior, Pak Kazama Yuujiro. Usianya sudah hampir setengah abad namun mereka yang meremehkan Pak Kazama biasanya akan menarik sendiri ucapannya. Pak Kazama berperan penting pada keberhasilan menangani kasus-kasus besar. Dia juga punya integritas dan selalu tepat waktu bila tugas memanggil. Yang kurang darinya adalah galak dan tidak punya sopan santun. Bahkan seandainya atasannya lebih muda, justru merekalah yang enggan sendiri bila berhadapan dengan Pak Kazama.
Mulanya para polisi menyimpulkan bahwa itu anjing liar. Namun setelah tim forensik mengatakan bahwa letak gigigtan dan posisi taring-taringnya selalu serupa pada pembunuhan pertama hingga ketiga, maka diyakini suatu hipotesa baru bahwa anjing tersebut telah dilatih. Korban pertama tak sampai daging tenggoroknya cuil dan membuat nganga di leher. Tapi tercetak dengan dalam taring-taring anjing di seputaran lehernya. Barulah dari korban kedua hingga kini, daging leher tergigit total dan membuat lubang besar di leher para korban. Dan posisi-posisinya selalu akurat serupa dengan kasus pertama.
Korban pertama ditemukan pada dinihari pukul 01:15. Dikenal sebagai pekerja kantoran di Nakano tapi tinggal di dekat taman Hitotsugi. Namanya Ichijou Mori. Usia 40 tahun dan lajang. Meski tak terlihat begitu mengenaskan seperti korban-korban selanjutnya, Ichijou Mori mengalami luka dalam parah di tenggorokan akibat tekanan gigitan anjing itu. Sehingga kematiannya diperkirakan kehabisan napas akibat tekanan tersebut.
Ichijou Mori diketahui seorang duda. Istrinya membawa anaknya dan meninggalkannya pada usia perkawinan kesembilan. Itu dikarenakan kegemaran Ichijou yang sering mengunjungi area Roppongi. Bukan saja untuk berjudi melainkan mencari wanita teman minum dan bercinta. Istrinya, dari penuturan para tetangga, adalah perempuan baik-baik. Tidak bekerja dan hanya di rumah mengurus anak. Sampai kesabaran istrinya itu habis dan memutuskan bercerai dan pulang kampung ke Kyushu. Sejak itu Ichijou lebih menghidupi kegemarannya.
Korban kedua Masamoto Koga. 27 tahun, baru saja bekerja jadi pegawai negeri selama dua tahun. Ditemukan mati dengan begitu mengenaskan di belakang perumahan dekat taman kota. Satu jari kelingking hilang. Tetak pada wajah sepanjang tujuh senti dan tentu saja lubang di tenggorokan. Darah berkubang di bagian atas tubuhnya yang berselimut mantel kasmir saat dirinya ditemukan tewas pada pukul 02:15. Saksi yang menelepon 119 mengatakan bahwa pada saat menemukan korban, masih bisa dia mendengar erangan yang terputus-putus dari korban. Ketika saksi membawa orang lain di lokasi kejadian, korban sudah tewas.
Masamoto Koga dikenal sebagai pribadi yang ramah. Namun dia punya kebiasaan jelek yaitu menjalin hubungan gelap dengan istri orang. Kebiasaan itu diketahui rekan-rekan kerjanya. Tapi bukan dari kalangan pegawai pemerintah di kantor. Istri-istri orang, aku salah satu rekan Koga, berasal dari latar belakang yang berbeda dari keseharian Koga. “Sampai hari ini aku heran, bagaimana pergaulan Koga-san bisa seberkembang luas seperti itu. Dia benar-benar sosok yang lain kalau ada di luar jam kerja.”
Istri orang kaya terhormat, istri profesor universitas, istri biasa yang dikecewakan terlebih dahulu. Semua pernah Koga perdaya dengan pesonanya. Memang almarhum memiliki pesona dari wajah hingga warna suara yang khas dan enak didengar. Menurut salah satu kekasih gelapnya, suara Koga mirip seorang aktor masa akhir Showa yang begitu terkenal.
“Anda tentu tahu. Vilanya ada di Kamakura.”
Tapi Ayano dan rekan-rekanya tidak pernah menyukai seni peran. Mereka para polisi sibuk yang hanya bisa menikmati ramen dan gurauan tak senonoh. Tak ada waktu menonton film.
Fakta menarik yang didapat penyidik adalah Masamoto Koga kerap membawa kekasihnya di hotel-hotel melati yang berada di Roppongi. Sampai di sini mereka sudah yakin betul bahwa pembunuhan yang terjadi belakangan sudah direncanakan dan berpola mengingat Roppongi sebagai penekanan atas para korban.
Di pembunuhan ketiga, dugaan itu menguat. Seorang pembunuh tengah berkeliaran di Tokyo dan mereka harus bergerak cepat untuk menangkapnya.
“Jadi anjing terlatih memang bisa diandalkan buat membunuh?” Ginbei memulai.
“Ginbei!”
“Ya, Pak!”
“Hasil forensik membuktikan itu. Dan kenyataan sejelas ini masih mau kausanggah, heh!”
“Ya, Pak.”
“Ginbei, polanya sudah terstuktur rapi. Sekarang apa yang diinginkan si pembunuh. Motif apa yang dia punyai dengan tega melakukan hal seperti ini. Kalau kita menduga permasalahan asmara, itu tak jelas. Atau pembunuh ini mengambil korban secara acak dengan menetapkan suatu ukuran.”
“Ukuran apa maksudmu, Ayano-san?”
“Bahwa yang dihabisi oleh si pembunuh mesti orang-orang mesum. Para pria hidung belang.”
“Bisa saja begitu,” ujar Pak Kazama menimpali pernyataan Ayano. “Para kenalan dekat korban juga sepertinya tak ada yang memiliki masalah dengan para korban. Misal pada almarhum Koga. Semua perempuan yang pernah menjalin hubungan dengannya tak sedikit pun tampak ragu saat memberikan kesaksian. Mereka hanya para eksibisionis kesepian yang menjalin hubungan cinta terlarang dengan almarhum Koga karena keadaan. Dan dari wawancara demi wawancara yang kita lakukan, tak ada di antara mereka yang mencurigakan. Jadi ini murni pembunuhan yang dilakukan secara acak dengan menetapkan suatu faktor. Ya, faktornya adalah pengunjung daerah Roppongi.”
Pak Kazama menyulut sebatang rokok. Pada hisapan pertama, seperempat bagian rokok langsung hangus. Nyala jingga rokok di depan Ayano, baginya tampak seperti lampu merah.
“Target berikutnya sudah pasti orang-orang di Roppongi. Mereka yang kerap menyambangi tempat itu. Masalahnya adalah, menempatkan polisi di sana untuk menyamar bisa saja efektif, namun pembunuh tak akan menyerang langsung ke sana. Asumsi pertama tadi bahwa ini pembunuhan acak. Jadi para pria hidung belang dan pecinta judi ini akan dibunuh pada saat mereka sendirian. Mencegah hal itu terjadi sama sulitnya dengan menemukan jarum ditumpukan jerami.”
“Jadi kita hanya bisa menduga-duga?” tanya Ayano.
“Solusinya adalah menempatkan polisi di titik-titik sebar jalanan yang mengarah ke Roppongi. Namun dengan penyamaran yang tak mencurigakan.”
“Pelaku membawa anjing. Pasti gampang dikenali bukan?” tanya Ginbei.
“Bisa ya bisa tidak,” kata Pak Kazama.
“Apa maksud Kazama-san?”
“Kalau aku pembunuh dengan anjing terlatih, dan sudah mantap menetapkan seorang target. Jika pada pembunuhan selanjutnya aku sudah diincar polisi, maka akan kulatih kepekaanku. Bagaimana cara seorang pembunuh membawa anjing tanpa dicurigai?”
“Dengan mengendarai mobil.”
“Nah, kau sudah menjawabnya,” ujar Pak Kazama. Nyala rokoknya hampir mencapai filter. Gesit sekali dia mengisap rokok, pikir Ayano tiba-tiba.
“Tapi bagaimana itu bisa efektif?”
“Orang yang disasar tidak tahu dia bakal dibunuh. Dari tiga pembunuhan yang kita selidiki ini. Apa saja yang kalian temukan?”
Ginbei dan Ayano memutar otak. Berusaha mencari jawaban.
“Menyerah? Sudah jelas bukan?”
Ayano menggeleng. Begitu pula Ginbei.
“Dasar bodoh kalian berdua! Para korban mabuk, tolol! Itu membuat kesiagaan mereka berkurang!”
“Betul juga ya.”
“Jadi, kalau aku pembunuhnya, aku akan membawa mobil dengan kaca gelap, memasukkan anjingku yang telah terlatih. Bergerak pelan dan mengikuti korban dengan jarak tepat. Bila dirasa sudah saatnya, aku akan mengeluarkan anjingku dan membisikkan kode padanya. Melepas kaitan anjingku untuk menyerbu dari belakang korban yang sudah kuincar.”
“Masuk akal juga.”
Ketiga penyidik itu mengangguk beriringan. Seolah ketiganya yakin bahwa ini metode yang akan dilakukan si pembunuh. Namun itu semua salah belaka.
Tujuh hari setelah kasus ketiga, seorang pria muda ditemukan mati dengan perut berlubang di sebuah kondominium yang letaknya tak jauh dari lokasi kejadian pembunuhan yang terakhir.
Sudah pasti ini pembunuh yang sama. Namun kali ini bukan anjing yang melakukan tugas membunuh, melainkan tuannya sendiri.
“Sialan, dia tidak menggunakan anjingnya lagi!”
Pak Kazama berdecak dan meludah. Sebatang rokok dinyalakan.
Bahkan minggu itu merupakan hari-hari tersibuk yang pernah dialami kepolisian. Pasalnya dua pembunuhan lagi terjadi di apartemen yang berbeda. Dengan luka yang serupa. Lubang di perut. Begitu mengenaskan para korban yang semua laki-laki itu tergeletak dengan mata yang menyimpan rasa terkejut.
Semua korban sudah diidentifikasi. Kali ini tidak berkaitan dengan Roppongi. Hanya saja semua korban ini adalah pria berusia rata-rata 25 tahun dengan gaya hidup yang sama. Mereka semua hikikomori dan NEET. Ada yang dipecat dari sebuah perusahaan setelah tiga bulan bekerja dan trauma menjadi pegawai kantoran, ada pula yang memiliki warisan begitu banyak sehingga memutuskan tidak bekerja sama sekali. Kesamaan pada ketiganya yang mencolok adalah mereka semua otaku.
“Kali ini manusia tak berguna dari jenis otaku yang disasar. Pembunuh ini seorang maniak.”
“Mungkin yang jadi korbannya adalah orang-orang yang dianggap sampah masyarakat. Pada kasus sebelumnya adalah para pria hidung belang. Dan kini otaku,” ujar Ayano.
“Masuk akal. Dan pembunuhan ini dilakukan dengan sangat cermat. Mengingat ketiga korban jarang meninggalkan unitnya. Para tetangga tak sadar mereka telah meregang nyawa. Dan ketiga-tiganya, entah kebetulan atau tidak, hidup sebatang kara.”
“Jalurnya semakin sulit ya?”
“Jangan menyerah tolol! Kita polisi. Bukan saatnya mengeluh.”
“Ya, Pak.”
“Tapi ini benar-benar kejadian luar biasa. Bahkan media luar negeri sampai memberitakan hal ini.”
“Tentu saja. Di mana bisa kautemui rentetan pembunuhan yang terjadi dalam jangka waktu singkat semacam ini, kecuali aksi bom bunuh diri di negeri-negeri Timur Tengah yang tak pernah dipedulikan masyarakat kita sekalipun saking klisenya itu terjadi? Pembunuh ini licin. Setelah menggunakan anjing, kini dia menggunakan dirinya sendiri untuk menghabisi target. Dia sadar metode itu tidak lagi efektif, dan membunuh di luar ruangan setelah pembunuhan ketiganya mungkin lebih berisiko.”
“Walau, dari yang kemarin Kazama-san tuturkan, dia bisa menggunakan sarana kendaraan.”
“Itu juga tak bisa dilakukan pembunuh tersebut. Dia memikirkannya dengan baik. Sialan!”
***
Bulan berikutnya, tidak ada pembunuhan. Kepolisian tetap saja tidak bisa menemukan si pembunuh. Orang-orang protes dan mencibir kerja lambat para polisI. Sementara itu Pak Kazama sendiri tengah uring-uringan. Putri semata wayangnya minggat kemarin lusa. Dan belum pulang sampai hari ini.
“Anak tak tahu diuntung!”
Sepanjang hari dia mengomel di kantor. Saat Ayano bertanya, Pak Kazama menjelaskan panjang lebar. Sudah lama putrinya bolos dari sekolah dan kini minggat entah ke mana.
“Masa-masa SMA, anak mana yang tidak memberontak. Dulu aku juga begitu, mabuk-mabukan dan melanggar semua peraturan sekolah. Tapi kini lihat diriku. Aku jadi polisi malah.”
“Kau tolol, anakku perempuan. Aku khawatir karena dia perempuan.”
Ayano tak bisa membantah fakta tersebut. Jadi dia tak berkata apa-apa lagi.
Sore harinya Pak Kazama ditelepon istrinya bahwa putrinya sudah pulang. Pak Kazama memperingatkan istrinya supaya anaknya tidak kabur lagi. Sepulangnya dari kerja nanti, dia akan menasihati putrinya sampai kapok.
Tapi sebelum itu, Pak Kazama tak bisa menolak ajakan Ginbei untuk minum-minum. Sudah lama sekali dirinya merasa suntuk menghadapi kasus yang kini diberi nama Pembunuh Tokyo. Kasus ini tak mendapat titik terang apa-apa. Dan pembunuhnya masih berkeliaran. Meski begitu tak salah bukan dirinya rehat sejenak?
Ginbei mentraktir Pak Kazama dan Ayano untuk merayakan pernikahannya yang sebentar lagi akan diadakan.
“Kau bisa juga menjalin hubungan cinta dengan wanita, hei Ginbei!”
Ginbei hanya mengangguk dan seperti biasa mengiyakan.
Mereka masuk ke sebuah kedai ramen yang tampilannya seperti rumah makan zaman Showa. Setelah memesan ramen, Pak Kazama menenggak shochu sampai mabuk. Dia terus-menerus menepuk pundak Ginbei yang melayani dirinya dan Ayano dengan menuang shochu dan menerima segala olok-olok dan sesekali pujian dari mulut Pak Kazama yang sudah mabuk. Sampai dini hari ketiganya tampak riang dan akrab. Alkohol makin membuat segalanya samar dan tubuh mereka goyah. Walau salah satu dari mereka masih bisa sadar.
Ketika Pak Kazama beranjak hendak pulang, Ayano menawarkan bantuan untuk memesan taksi atau sekalian mengantarnya ke stasiun. Namun Pak Kazama menolak.
“Tenang saja, aku bisa berjalan sendiri ke stasiun.”
“Tapi kau mabuk, Kazama-san.”
“Lanjutkan saja minum-minummu. Aku mau pulang.”
Pak Kazama melambai dan meninggalkan kedai ramen.
Lama dia berjalan semakin sunyi keadaan yang melingkupinya. Dengan langkah gontai, Pak Kazama menyusuri jalan kecil di belakang gedung-gedung yang sepertinya pertokoan di pagi hingga sore hari. Dia tak hafal betul karena otaknya tak bisa fokus akibat alkohol. Beberapa lama Pak Kazama makin tenggelam dalam kegelapan jalanan yang sunyi. Seseorang juga berjalan di belakangnya. Terdengar langkah kaki makin dekat.
Mungkin Ayano, pikir Pak Kazama.
Pak Kazama tak sempat menoleh. Bagian kanan perutnya terasa disodok benda tajam dan itu menyakitkan. Seseorang dengan tubuh begitu besar berdiri di hadapannya memamerkan seringai tajam yang memperlihatkan gigi-gigi putih. Keliman mantel Pak Kazama berdenyar-denyar kena angin musim gugur yang dingin.
“Bangsat!” pekiknya lemah.
Pak Kazama tak sempat membela diri. Tusukan ketiga, keempat, kelima, keenam, beruntun menghujam perutnya. Lalu dia tumbang dengan segala hal tampak lamur. Meski begitu, dirinya yakin bahwa di depannya berdiri orang yang selama ini dia cari. Seseorang yang tak bisa lagi dijangkaunya. Malam hari menghapus keberadaan orang tersebut begitu cepat. Ambulans tiba sepuluh menit kemudian. Namun tak bisa berbuat lebih pada tubuh yang terbaring dengan genangan darahnya sendiri.
***
Bagus Dwi Hananto, tinggal
di desa Mlati Lor, Kudus. Menulis novel dan cerpen. Novelnya Si Konsultan Cinta & Anjing yang Bahagia
(Rua Aksara, 2019). Cerpen-cerpennya muncul di Koran Tempo, Media Indonesia,
dan Jawa Pos. Saat ini bergiat di komunitas Suka
Film Wong Kar-wai.
0 comments