Falsafah Gusjigang dalam Perspektif Ekonomi

Aditya Galih Erlangga

gusjigang dalam prespektif ekonomi


Seorang bapak paruh baya yang entah siapa namanya, pernah berkata kepada saya dalam njagong ringan di sebuah angkringan warung kopi, bahwa satu-satunya jalan ketika kita menjalankan bisnis hanyalah memainkan harga pasar dan orientasi sepenuhnya pada keuntungan bisnis semata. Ingin sekali rasanya menyanggahnya, namun seketika niat itu saya urungkan. Tak ada guna menciptakan daftar panjang perdebatan. Sia-sia. Saya hanya terdiam sejenak. Pandangan saya lantas tertuju pada secangkir kopi yang nyaris tinggal seruputan terakhir. Seketika ingatan saya melesat pada idealisme seorang kawan dalam sebuah forum diskusi kritis ekonomi. “Kita perlu memaknai kembali makna Gusjigang,” katanya dengan harapan membara di dada, sambil mengepalkan tangan mengakhiri forum diskusi.

Sebagai orang Kudus, tentu saja kita tak akan asing lagi dengan istilah Gusjigang. Gus yang berarti bagus, Ji yang berarti ngaji dan Gang yang berarti dagang. Lalu bagaimana ketiga falsafah yang diajarkan oleh Sunan Kudus tersebut masih terus relevan dalam perkembangan zaman, terutama dalam polarisasi sistem ekonomi tanpa kehilangan etika dan moral demi kesejahteraan bersama tanpa perbedaan kelas dan golongan.

Berbalik pada akar historis, dari Kauman, Kerjasan, Demangan, Langgar Dalem, Sunggingan dan Kajeksan, merupakan wilayah Kudus Kulon yang menjadi potret lanskap sejarah. Keberadaan Kali Gelis dijadikan sebagai jalur transportasi perdagangan pada abad 15. Dari integrasi inilah, bagaimana Sunan Kudus dengan ahlinya memanejemen tata kelola wilayah ini sebagai titik poros sosial, ekonomi dan budaya serta dengan menjadikan masjid sebagai pusat keagamaan. Hal ini menyimpulkan suatu analisis bahwa ketiga falsafah yang diajarkan Sunan Kudus dalam Gusjigang harus dijalankan dalam jajaran keseimbangan. Kegiatan ekonomi tak akan menghasilkan kesejahteraan umat tanpa adanya hubungan vertikal dengan-Nya serta akhlak yang bagus dan bermartabat.

Namun era kontemporer, makna Gusjigang mengalami pergeseran signifikan. Saya pernah sedikit membaca esai dari Hendriyo Widi dan M. Burhanudin, Gusjigang Sunan Kudus Melintasi Zaman, bahwa Peneliti Lembaga Sosial Budaya Sumur Tolak Kudus menyimpulkan bahwa orang berdagang lebih mengedepankan keuntungan ekonomi supaya dapur tetap mengepul. Ironinya, adanya anggapan bahwa bekerja sudah suatu ibadah meski tanpa melakukan ritual peribadahan.

Pergeseran Paradigma Ekonomi

Karl Marx, seorang filsuf dan ekonom besar menyimpulkan dalam Das Kapital bahwa manusia merupakan unit yang teralienasi. Ide alienasi ini merupakan kajian telaah yang terulang dan dikembangkan sejak Hegel dan teori filsafat pasca Hegelian. Pemikir berjenggot tebal tersebut mengatakan bahwa alienasi adalah sebuah kunci yang kemudian berhasil dijelaskan dalam sosio-economics. Sesungguhnya, penyebab pokok persoalan manusia teralienasi karena sistem hubungan dan nilai-nilai kapitalistik. Manusia dibagi dalam berbagai golongan alienasi: dari hasil produksinya sendiri, dirinya sendiri, dan dari sesama manusia. Lantas dari sini, alienasi dengan diri sendiri yang paling mengerikan. Hal ini tampak jelas, membuat manusia menjadi tak manusiawi.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, prinsip utamanya adalah kebutuhan manusia sepenuhnya diserahkan pemilik modal semata (capitalist). Dengan demikian, pemilik modal memiliki azas laissez-faire, mahzab pemikiran ekonomi neoklasik yang memegang pandangan liberal secara ekonomi: memproduksi apa saja yang dikehendakinya tanpa adanya tolok ukur moral dan spiritual. Karena pokok utamanya hanya satu, mencari keuntungan sebesar-besarnya lalu menikmatinya dalam tatanan hidup yang sekulerisme, materialisme, individualisme dan hedonisme. Dampaknya cukup nyata, kesenjangan yang kian meruyak, eskploitasi sumber daya alam yang semakin masif dan tak dapat terhindarkan lagi, kekayaan semu yang hanya dinikmati oleh segilintir orang, tentu saja para pemilik modal itu sendiri; para borjuis yang menindas kaum proletariat. Padahal hakikat kekayaan menurut Ibnu Khaldun pada dasarnya hanyalah produk sosial: uang bukanlah kekayaan tapi hanya alat tukar. Kajian kritis masalah ekonomi ini dilakukannya dalam pendekatan sisiologi.

Jika kita sejenak berkaca pada pandangan ekonomi dunia, di mana kita akan dihadapkan pada ironi yang begitu tragis. Sistem ekonomi yang dijalankan di dalam beberapa negara yang penduduknya mayoritas muslim bukanlah sistem ekonomi islami, melainkan justru tanpa sadar berubah menjadi sekulerisme yang dicampur aduk dengan kapitalisme, feodalisme dan liberalisme. Kondisi menjadi tambah buruk dan makin bergerak menjauhi realisasi maqashid syari’ah.

Theo F. Toemison dalam bukunya Uang dan Malapetaka Dunia: Hancurnya Neokapitalisme dan Neoliberalisme, bahwa banyak di antara kita karena kelengahan dan lemah budaya terhadap kemajuan ekonomi dan teori ekonomi liberal Barat, dengan ketundukan dan tanpa keraguan telah ikut dan terseret dalam sistem ekonomi pasar bebas yang merupakan konsepsi derivatif dari liberalisme dan kapitalisme. Seharusnya bukankah manusia wajib memangku solidaritas dan hidup untuk kesejahteraan bersama. Sebab dalam diri manusia yang sejati, sudah tertanam prinsip homo religius yang memuliakan nilai agama dan nilai kemanusiaan. Tugas manusia sebagai khalifah sebagaimana termaktub dalam Alquran. Bagi umat Nasrani terdapat ajaran Imago Dei dan umat Hindu memiliki ajaran Tat Twam Asi.

Memaknai Kembali Gusjigang

Hidup yang penuh kegetiran amuk materialisme ini, menghalalkan segala cara merupakan kelicikan busuk satu-satunya untuk kepentingan keserakahan buta. Padahal dalam Gusjigang, kepiawaian dalam kegiatan ekonomi tak akan menghasilkan kesejahteraan umat tanpa adanya hubungan vertikal dengan-Nya serta akhlak yang bagus dan bermartabat. Memaknai penguasaan peradaban (civilization) yang semakin berkecenderungan artifisialitas, saya jadi teringat Serat Kalatidha yang ditulis oleh Ronggowarsito, pujangga besar yang dimiliki tanah Jawa.

Amenangi jaman edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu anglakoni/boya kaduman melik/kaliren wekasanipun/dilalah karsa Allah/begja-begjane kang lali/luwih begja kang eling lawan waspada.

Hanya manusia yang merasa lupa atau tepatnya nglali saja yang mengedepankan prinsip homo economicus. Bahwa dalam hidup, prinsip ekonomi digunakan untuk memperkaya diri dan memiskinkan orang-orang kecil. Mengedepankan kepentingan perut sendiri, dan membiarkan begitu saja tetangganya kelaparan dan sengsara. Seperti mengelus-elus lambung sendiri selepas kekenyangan lalu menodongkan pistol ke lambung manusia lain yang menahan lapar dan dahaga. Sungguh dalam kondisi demikian, kita tampaknya harus menepuk dada dengan meninggalkan kontemplasi yang mendalam, “kita perlu memaknai kembali makna Gusjigang,” seperti kata salah seorang kawan saya dengan harapan yang membara di dada. Di dada!


Lereng Kendeng, September - Oktober 2019


Aditya Galih Erlangga, anggota Komunitas Omah Gatra. 

0 comments