Falsafah Gusjigang dalam Perspektif Ekonomi
Seorang
bapak paruh baya yang entah siapa namanya, pernah berkata kepada saya dalam njagong ringan di sebuah angkringan
warung kopi, bahwa satu-satunya jalan ketika kita menjalankan bisnis hanyalah
memainkan harga pasar dan orientasi sepenuhnya pada keuntungan bisnis semata. Ingin
sekali rasanya menyanggahnya, namun seketika niat itu saya urungkan. Tak ada
guna menciptakan daftar panjang perdebatan. Sia-sia. Saya hanya terdiam sejenak.
Pandangan saya lantas tertuju pada secangkir kopi yang nyaris tinggal seruputan
terakhir. Seketika ingatan saya melesat pada idealisme seorang kawan dalam
sebuah forum diskusi kritis ekonomi. “Kita perlu memaknai kembali makna Gusjigang,” katanya dengan harapan
membara di dada, sambil mengepalkan tangan mengakhiri forum diskusi.
Sebagai
orang Kudus, tentu saja kita tak akan asing lagi dengan istilah Gusjigang. Gus yang berarti bagus, Ji yang berarti ngaji dan Gang yang berarti dagang. Lalu bagaimana
ketiga falsafah yang diajarkan oleh Sunan Kudus tersebut masih terus relevan
dalam perkembangan zaman, terutama dalam polarisasi sistem ekonomi tanpa
kehilangan etika dan moral demi kesejahteraan bersama tanpa perbedaan kelas dan
golongan.
Berbalik
pada akar historis, dari Kauman, Kerjasan, Demangan, Langgar Dalem, Sunggingan
dan Kajeksan, merupakan wilayah Kudus Kulon yang menjadi potret lanskap sejarah.
Keberadaan Kali Gelis dijadikan sebagai jalur transportasi perdagangan pada
abad 15. Dari integrasi inilah, bagaimana Sunan Kudus dengan ahlinya
memanejemen tata kelola wilayah ini sebagai titik poros sosial, ekonomi dan
budaya serta dengan menjadikan masjid sebagai pusat keagamaan. Hal ini
menyimpulkan suatu analisis bahwa ketiga falsafah yang diajarkan Sunan Kudus
dalam Gusjigang harus dijalankan
dalam jajaran keseimbangan. Kegiatan ekonomi tak akan menghasilkan
kesejahteraan umat tanpa adanya hubungan vertikal dengan-Nya serta akhlak yang
bagus dan bermartabat.
Namun
era kontemporer, makna Gusjigang mengalami
pergeseran signifikan. Saya pernah sedikit membaca esai dari Hendriyo Widi dan
M. Burhanudin, Gusjigang Sunan Kudus
Melintasi Zaman, bahwa Peneliti Lembaga Sosial Budaya Sumur Tolak Kudus
menyimpulkan bahwa orang berdagang lebih mengedepankan keuntungan ekonomi
supaya dapur tetap mengepul. Ironinya, adanya anggapan bahwa bekerja sudah
suatu ibadah meski tanpa melakukan ritual peribadahan.
Pergeseran Paradigma Ekonomi
Karl
Marx, seorang filsuf dan ekonom besar menyimpulkan dalam Das Kapital bahwa manusia merupakan unit yang teralienasi. Ide alienasi
ini merupakan kajian telaah yang terulang dan dikembangkan sejak Hegel dan teori
filsafat pasca Hegelian. Pemikir berjenggot tebal tersebut mengatakan bahwa alienasi
adalah sebuah kunci yang kemudian berhasil dijelaskan dalam sosio-economics. Sesungguhnya, penyebab
pokok persoalan manusia teralienasi karena sistem hubungan dan nilai-nilai
kapitalistik. Manusia dibagi dalam berbagai golongan alienasi: dari hasil
produksinya sendiri, dirinya sendiri, dan dari sesama manusia. Lantas dari
sini, alienasi dengan diri sendiri yang paling mengerikan. Hal ini tampak
jelas, membuat manusia menjadi tak manusiawi.
Dalam
sistem ekonomi kapitalisme, prinsip utamanya adalah kebutuhan manusia
sepenuhnya diserahkan pemilik modal semata (capitalist).
Dengan demikian, pemilik modal memiliki azas laissez-faire, mahzab pemikiran
ekonomi neoklasik yang memegang pandangan liberal secara ekonomi: memproduksi
apa saja yang dikehendakinya tanpa adanya tolok ukur moral dan spiritual.
Karena pokok utamanya hanya satu, mencari keuntungan sebesar-besarnya lalu
menikmatinya dalam tatanan hidup yang sekulerisme, materialisme, individualisme
dan hedonisme. Dampaknya cukup nyata, kesenjangan yang kian meruyak,
eskploitasi sumber daya alam yang semakin masif dan tak dapat terhindarkan lagi,
kekayaan semu yang hanya dinikmati oleh segilintir orang, tentu saja para
pemilik modal itu sendiri; para borjuis yang menindas kaum proletariat. Padahal
hakikat kekayaan menurut Ibnu Khaldun pada dasarnya hanyalah produk sosial:
uang bukanlah kekayaan tapi hanya alat tukar. Kajian kritis masalah ekonomi ini
dilakukannya dalam pendekatan sisiologi.
Jika kita sejenak berkaca pada pandangan
ekonomi dunia, di mana kita akan dihadapkan pada ironi yang begitu tragis.
Sistem ekonomi yang dijalankan di dalam beberapa negara yang penduduknya
mayoritas muslim bukanlah sistem ekonomi islami, melainkan justru tanpa sadar
berubah menjadi sekulerisme yang dicampur aduk dengan kapitalisme, feodalisme
dan liberalisme. Kondisi menjadi tambah buruk dan makin bergerak menjauhi realisasi
maqashid syari’ah.
Theo
F. Toemison dalam bukunya Uang dan
Malapetaka Dunia: Hancurnya Neokapitalisme dan Neoliberalisme, bahwa banyak
di antara kita karena kelengahan dan lemah budaya terhadap kemajuan ekonomi dan
teori ekonomi liberal Barat, dengan ketundukan dan tanpa keraguan telah ikut
dan terseret dalam sistem ekonomi pasar bebas yang merupakan konsepsi derivatif
dari liberalisme dan kapitalisme. Seharusnya bukankah manusia wajib memangku
solidaritas dan hidup untuk kesejahteraan bersama. Sebab dalam diri manusia
yang sejati, sudah tertanam prinsip homo
religius yang memuliakan nilai agama dan nilai kemanusiaan. Tugas manusia
sebagai khalifah sebagaimana termaktub dalam Alquran. Bagi umat Nasrani
terdapat ajaran Imago Dei dan umat
Hindu memiliki ajaran Tat Twam Asi.
Memaknai Kembali Gusjigang
Hidup yang penuh kegetiran amuk
materialisme ini, menghalalkan segala cara merupakan kelicikan busuk
satu-satunya untuk kepentingan keserakahan buta. Padahal dalam Gusjigang,
kepiawaian dalam kegiatan ekonomi tak akan menghasilkan kesejahteraan umat
tanpa adanya hubungan vertikal dengan-Nya serta akhlak yang bagus dan
bermartabat. Memaknai
penguasaan peradaban (civilization) yang semakin berkecenderungan
artifisialitas, saya jadi teringat Serat Kalatidha yang ditulis oleh
Ronggowarsito, pujangga besar yang dimiliki tanah Jawa.
Amenangi jaman edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu anglakoni/boya kaduman melik/kaliren wekasanipun/dilalah karsa Allah/begja-begjane kang lali/luwih begja kang eling lawan waspada.
Hanya
manusia yang merasa lupa atau tepatnya nglali
saja yang mengedepankan prinsip homo
economicus. Bahwa dalam hidup, prinsip ekonomi digunakan untuk memperkaya
diri dan memiskinkan orang-orang kecil. Mengedepankan kepentingan perut
sendiri, dan membiarkan begitu saja tetangganya kelaparan dan sengsara. Seperti
mengelus-elus lambung sendiri selepas kekenyangan lalu menodongkan pistol ke
lambung manusia lain yang menahan lapar dan dahaga. Sungguh dalam kondisi
demikian, kita tampaknya harus menepuk dada dengan meninggalkan kontemplasi
yang mendalam, “kita perlu memaknai kembali makna Gusjigang,” seperti kata salah seorang kawan saya dengan harapan
yang membara di dada. Di dada!
Lereng
Kendeng, September - Oktober 2019
Aditya Galih Erlangga, anggota Komunitas Omah Gatra.
0 comments