Lelaki Peminta Kapal yang Mengkritik Birokrasi
Judul: Dongeng Pulau Tak Dikenal
Penulis: Jose Saramago
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Circa
Terbit: Cetakan Pertama, April 2019
Tebal: 51 hlm
ISBN: 978-623-9008-74-1
"Seorang lelaki datang mengetuk pintu raja dan berkata, Beri hamba kapal." Begitulah cerita ini dimulai oleh Jose Saramago, penulis asal Portugal. Noveletnya Dongeng Pulau Tak Dikenal menyapa pembaca Indonesia lewat terjemahan Ronny Agustinus.
Buku yang lebarnya dua kali lipat buku "Yasin dan Tahlil" ini bisa kita baca sekali duduk. Cerita bisa kita nikmati seperti mendengar orang tua mendongeng sebelum tidur.
Alkisah, ada kerajaan yang memiliki banyak pintu. Pintu hadiah adalah pintu kesenangan raja, karena di sana ia menerima hadiah. Lelaki peminta kapal mengetuk pintu petisi dan mendobrak pakem alur birokrasi di kerajaan tersebut.
Kritik kepada alur birokrasi pemerintah terasa di awal cerita. Bagaimana sebuah pesan berpindah tangan dari raja ke menteri pertama, kedua dan seterusnya hingga ke babu wanita. Petisi yang disampaikan melewati berbagai alur yang belibet untuk dituntaskan. Berlarut-larutnya persoalan di pintu petisi ini mengingatkan saya pada aksi kamisan di depan istana kepresidenan.
Selama tiga hari lelaki itu menunggu karena ia ingin menyampaikan permintaannya langsung ke raja. Bagian kisah ini seperti kebalikan dari gaya politik blusukan yang dipopulerkan oleh Presiden Jokowi. Kisah ini menunjukkan betapa tidak merakyatnya seorang pemimpin.
Kelak raja mau menemuinya karena muncul keributan, lelaki peminta kapal menghambat rakyat lainnya yang ingin mengutarakan permintaannya. Setelah tiga hari raja menemuinya dan terjadilah dialog yang alot antara raja dan lelaki itu.
"..., Dan kau itu siapa sampai aku harus memberimu kapal, Dan Anda itu siapa sampai menolak saya, Aku raja di kerajaan ini, dan semua kapal di kerajaan ini jadi milikku, Lebih tepat Anda yang jadi milik mereka ketimbang mereka milik Anda, ..." (hlm 19)
Konflik muncul manakala raja mengkritisi permintaan lelaki itu. Tak mau asal mengabulkan permintaan, raja enggan memenuhi permintaan kapal lelaki itu.
"Beri dia kapal, beri dia kapal," protes masyarakat, membantu lelaki itu meski karena hasrat menyingkirkan dia ketimbang karena rasa senasib sepenanggungan (hlm 19).
Orang-orang yang tinggal di sekitar dan yang mengantri di pintu tersebut akhirnya berhasil menyudutkan raja. Raja memberinya kapal.
Dialog dalam novelet ini dipaparkan dengan cara yang asing bagi saya, dipisahkan tanda koma dan huruf kapital tanda dialog antar tokoh cerita. Dan tanpa penggunaan tanda petik. Akibatnya, paragraf ditulis panjang-panjang. Meski terkesan agak rumit, saya kira tak mengganggu kelancaran kita memahami ceritanya.
Sebagai metafora, kisah ini terasa punya ragam keterkaitan, mulai kerja birokrasi pemerintah, takdir, kepemilikan, pencarian jati diri, hingga tak luput menyoal cinta.
"Suka bisa jadi adalah bentuk terbaik dari kepemilikan, dan kepemilikan adalah bentuk terburuk dari rasa suka." (hlm 30)
"..,tapi aku ingin menemukan pulau tak di kenal, aku ingin mencari tahu siapakah aku ketika tiba di pulau itu,.." (hlm 35)
"Si lelaki tak punya bayangan bahwa meskipun ia belum mulai merekrut awak kapal, ia sudah dibuntuti oleh seorang yang akan bertugas mengepel geladak dan tugas-tugas kebersihan lainnya, memang, seperti inilah nasib biasanya memperlakukan kita, ia sudah ada di belakang kita, sudah mengulurkan tangan untuk menjamah bahu kita sementara kita masih menggumam sendirian, Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang bisa diperbuat, toh sama saja." (hlm 23)
0 comments