Matinya sang Fiksi
Quote atau kutipan kalimat dari seorang tokoh yang kadang membingungkan kita itu, suatu saat pernah mengganggu pikiran kita. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cara berpikir dan cara menggunakan otak kita untuk mengembangkan kualitas diri kita. Saya hanya ingin menyegarkan kutipan-kutipan dari tokoh-tokoh terkenal yang saya kagumi dan menjadi kontroversial.
Contohnya ini. Albert Einstein pernah berkata, “I’m enough of an artist to draw freely on my imagination, which I think is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world.” Buatlah lukisan bebas di atas kanvas imajinasimu, sebab imajinasi itu lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan bersifat terbatas sedangkan imajinasi melingkupi dunia, seluas langit dan bumi.
Kalimat bijak ini sudah ada sejak dulu, tapi kita sering tidak memahami, karena selama ini betapa tidak mudah kita membuktikan kebenarnnya. Lalu, kita melupakan kalimat itu, lupa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari; dan meninggalkan di rak laman dunia maya. Dalam keseharian, kita lebih sering berusaha untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak dan lebih jarang berusaha memperluas imajinasi. Bahkan jika kita ditanya, apa tujuanmu membaca buku? Jawaban sebagian besar dari kita adalah: untuk menambah pengetahuan.
Menambah pengetahuan dan bukan memperluas imajinasi.
Mungkinkah kita sudah tercengkeram oleh pemikiran bahwa pengetahuan adalah segalanya? Bisa jadi. Kita mulai terburu-buru bergerak meninggalkan wilayah imajinasi, mulai jarang melukis di atas kanvas imajinasi, mulai malas merangsang kemampuan imajimasi. Kita mulai defisit energi untuk mengaktifkan imajinasi.
Imajinasi adalah kemampuan untuk membentuk citra mental dari sesuatu yang tidak dirasakan melalui panca indera. Ini adalah kemampuan pikiran untuk membangun adegan mental, objek atau peristiwa yang belum ada, atau tidak hadir, atau telah terjadi di masa lalu.
Dengan kata lain, berimajinasi adalah aktivitas mental untuk membayangkan, mengkhayalkan, atau menggambar di pikiran kita sesuatu yang belum ada, sesuatu yang tidak hadir saat ini, atau sesuatu yang telah terjadi dan yang kelak akan terjadi. Kita bisa membayangkan di masa depan nanti ada sepeda yang bisa terbang melayang di atas jalan raya untuk menghindari kemacetan. Kita juga membayangkan di masa depan nanti ada seorang ayah bisa mengajak anggota keluarganya piknik ke bulan dengan mengendari mobil pribadinya. Kita membayangkan manusia bisa hidup dengan satu butir kapsul untuk mencukupi kebutuhan energi selama satu minggu.
Pertama-tama kita berimajinasi, lalu kita mencari cara mewujudkan imajinasi tersebut melalui ilmu pengetahuan. Jika kita tidak memiliki imajinasi, kita tidak pernah melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rocky Gerung, pengamat politik, tokoh filsafat Indonesia, dan pembicara terkenal itu pernah menyampaikan diskursus yang sangat berani di dalam forum Indonesia Lawyers Club (ILC) yang disiarkan oleh TV One. Ia mendapat tanggapan pro dan kontra karena di dalam diskusi tersebut terlontar ungkapan bahwa kitab suci (ternyata) itu fiksi. Wah, kita tidak membahas yang ini, ya.
Tapi ada kalimat Rocky Gerung yang juga menarik. Ia mengatakan bahwa fiksi itu bukan fiktif. Fiksi itu energi untuk mengaktifkan imajinasi. Quote yang bagus.
Fiksi itu energi untuk mengaktifkan imajinasi.
Jika kita membaca sebuah novel, menikmati puisi, menonton teater, atau karya-karya fiksi lainnya, bukan berarti kita menikmati karya-karya yang bersifat fiktif (fictive atau fictitious). Karya-karya fiksi bersifat fiksional, tidak bersifat fiktif. Fiktif memiliki arti bohong, tidak berdasarkan fakta. Jika ada orang mengatakan sebuah kalimat: data Anda fiktif, itu berarti data Anda bohong atau tidak berdasarkan fakta. Selama ini, barangkali, di antara kita masih memahami bahwa membaca karya fiksi sama saja dengan membaca karya yang fiktif, atau membaca karya yang penuh dengan kebohongan. That’s wrong!
Oleh sebab itu, pemahaman ini perlu digeser sedikit. Lawan makna fiksi bukanlah fakta. Lawan fiksi adalah realitas.
Rumit ya kalau bicara makna kata? Karena makna seringkali dipengaruhi oleh penafsiran. Kiranya, ada benarnya kalimat Pramoedya Ananta Toer, “Hidup itu sederhana, yang hebat hanyalah tafsiran-tafsirannya.” Jadi, mari kita sederhanakan saja. Saya setuju pada Albert Einstein bahwa imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan. Saya juga setuju pada Rocky Gerung bahwa fiksi adalah energi untuk mengkatifkan imajinasi. Kalau kita memahami dan mengamalkan kata-kata bijak seperti yang diucapkan Albert Einstein dan Rocky Gerung, kita berharap otot-otot imajinasi kita bisa bertambah lebih kuat. Mereka mengingatkan kita bahwa imajinasi perlu dipupuk agar semakin subur dan segar.
Ya, kita harus memupuk dan menyegarkan kembali hutan dan lautan imajinasi. Anak-anak kita punya imajinasi. Generasi muda kita punya imajinasi. Kita harus mulai mendorong mereka, anak-anak generasi muda melalui literasi. Pada sepuluh ribu jam pertama setelah anak-anak lahir di dunia, kanvas imajinasi mereka terhampar dan siap dituangkan lukisan fiksi, dongeng-dongeng imajinatif yang menguatkan memori otak mereka. Ketika mereka ini menjadi dewasa kelak, mereka akan menjadi pemimpin yang memberi harapan besar pada kebaikan masa depan dunia.
Mereka serupa Wright Bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright) yang membayangkan bagaimana manusia bisa terbang seperti burung, lalu lahirlah pesawat terbang. Thomas Alva Edison yang membayangkan malam bisa terang seperti siang, dan lahirlah lampu pijar. Bill Gates atau Steve Jobs yang menggunakan imajinasi mereka, membayangkan bagaimana komputer pribadi dapat mengubah dunia, mengubah cara kita bekerja, dan dapat mendidik anak-anak kita sekaligus menghibur diri kita sendiri. Mereka semua mengawalinya dengan imajinasi, ilmu pengetahuan dan teknologi lahir setelahnya.
Memang sih, imajinasi saja tidaklah cukup. Imajinasi harus berkolaborasi dan bersinergi dengan kreativitas, visi dan misi, cita-cita, empati, ide-ide, dan cara berpikir. Yang terakhir ini telah melahirkan Metodologi Berpikir Enam Topi Edward de Bono. Metode ini telah efektif dan populer dalam mendorong orang di tempat kerja untuk mengaktifkan imajinasi mereka. Topi Merah mewakili intuisi, perasaan dan firasat dan Topi Hijau mewakili ide-ide dan kemungkinan-kemungkinan kreatif.
Jadi, ketika imajinasi telah dianggap lebih rendah daripada penalaran logis, saat itulah kita akan menyaksikan kematian ide-ide besar potensial. Matinya sang Fiksi.
Jimat Kalimasadha, redaktur tajug[dot]net, blognya bisa diakses di bit.ly/bu-buku
0 comments