Microchip Seorang Ayah
Hari Selasa lalu, 12 November 2019, kita peringati sebagai Hari Ayah. Pada tahun 2006, Hari Ayah Nasional diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu. Mungkin lebih adil ketika kita mempunyai Hari Ayah, karena kita tahu pada tanggal 22 Desember sudah ada Hari Ibu. Kebanyakan dari kita beranggapan sosok ibulah yang lebih memiliki peran penting dalam pendidikan dan perkembangan anak. Ibulah yang mengandung kita selama sembilan bulan tanpa pernah istirahat sedetik pun. Selama itu pula daging dan darah kita terbentuk dan mengalir dari jaringan tubuh ibu.
Suara perut ibu adalah musik orkestra pertama yang kita dengar. Detak jantung ibu adalah pelajaran keteraturan dan ritual pengulangan yang sering kita lupakan; bahwa betapa pentingnya dua hal itu dalam kita menjalani kehidupan. Daging ibu adalah kasur empuk tempat kita bermain dan lelap dalam kandungan. Darah ibu adalah mandi sauna yang tak pernah kita sangsikan kehangatannya.
Setelah kita lahir di dunia yang panas ini, adakah yang lebih hangat dari dekapan ibu? Adakah yang lebih segar dari air susu ibu. Adakah yang lebih lembut dan kenyal dari puting payudara ibu? Rasanya tak ada yang kita ragukan apa pun yang ada pada diri ibu, semua mengalirkan cinta, kasih dan sayang.
Lalu, bagaimana dengan ayah?
Daging ayah manakah yang membentuk urat pada tubuh seorang anak? Darah ayah manakah yang berputar dan menghampiri setiap sudut organ tubuh seorang anak? Tidak ada, bukan? Seorang ayah hanya menitipkan sebuah microchip yang di dalamnya mengandung kromosom X dan kromosom Y. That’s it! Itulah kenapa Hari Ibu ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1959 jauh lebih dulu sekali, sedangkan Hari Ayah baru ditetapkan pada tahun 2006.
Maaf Ayah, tentu bukan itu maksudnya.
Seorang ayah tentu bukan sekedar masalah daging dan darah. "It is not flesh and blood but the heart which makes us fathers and sons," kata Johann Schiller, penyair, filsuf, fisikawan, sejarahwan, dan penulis naskah drama terkenal asal Jerman. Bukan daging dan darah, tetapi hati yang membuat kita menjadi ayah dan anak.
Ketika mendengar kata "heart", orang Indonesia memberikan dua makna sekaligus pada kata tersebut. Secara harfiah kata "heart" berarti jantung, dan makna lainnya berarti hati. Hati (bukan liver) yang terhubung dengan kasih dan sayang. Dan, kali ini kita lakan fokus untuk membicarakan makna yang terakhir. Kita akan mengetuk "hati" seorang ayah pada Hari Ayah.
Baiklah. Sejauh ini kita tak pernah menyangsikan bahwa ayah adalah tulang punggung ekonomi keluarga, ayah adalah pahlawan keluarga, simbol keberanian. Banyak sekali kata-kata bijak yang mengulas perbedaan antara seorang ibu dan ayah. Orang yang kamu cintai sampai kamu menutup mata adalah ibu. Orang yang kamu cintai tanpa ada ekspresi di matanya adalah ayah. Ibu mengenalkan kamu dengan dunia. Ayah mengenalkan dunia dengan kamu. Ibu memberikan kamu hidup. Ayah memberikan kehidupan. Ibu memastikan kamu tidak kelaparan. Ayah memberi tahu kamu tentang artinya lapar.
Semua itu tidak akan pernah ada, semua itu tidak akan pernah sempurna, jika seorang ayah tidak melibatkan "hatinya". Semuanya itu, titik pusatnya adalah "hati". Dunia, kehidupan, dan arti lapar tidak pernah akan sampai pada diri seorang anak jika ayah tidak melapisinya dengan hati, kasih sayang, perhatian, dan keakraban. Jika kita percaya pada kekuatan hati, kasih sayang, perhatian, dan keakraban seorang ayah pada anaknya, kita tidak akan melihat ada anak liar di jalanan, anak membolos pada jam pelajaran, atau anak yang sulit dikendalikan oleh orang tuanya. Kita tidak pernah menemukan anak-anak berpola laku destruktif, sulit diatur dan selalu menyulitkan ibu dan ayahnya.
Sayangnya, entah karena sesuatu apa, tidak semua ayah bisa membentuk hubungan di mana bahan utamanya adalah hati. Kita melihat banyak kasus di mana hubungan antara ayah dan anak hanyalah hubungan daging dan darah. Padahal, sejak awal mula para ayah tidak menitipkan daging dan darah. Ia hanya menitipkan microchip berupa kromosom X dan Y; dan inti dari X dan Y adalah "heart", yang tak lain adalah hati, kasih, dan sayang.
Jadi, pada Hari Ayah kali ini, mari kita mengajak semua ayah untuk kembali pada microchip yang kita tanam pada diri anak-anak kita. Di sana kita menitipkan program, software, aplikasi, atau apa pun istilahnya pada mereka. Tombol program tersebut adalah "heart", bukan uang, bukan gadget mewah, bukan motor baru. Uang, gadget, motor, atau apa-apa yang kita belikan untuk anak-anak kita adalah pelengkap dari microchip "heart" tersebut. Dengan kata lain, corenya adalah "heart, hati, kasih, dan sayang" sementara pelengkapnya adalah fasilitas.
Ayah, jangan dibalik ya. Fasilitas baru kemudian "heart". Yang seharusnya adalah "heart" baru kemudian fasilitas.
Belakangan kita melihat banyak ayah yang meninggalkan microchip-nya tertanam begitu saja pada diri anak-anak, tetapi para ayah ini tidak pernah mengaktifkan dengan baik. Tombol "heart" mulai dikesampingkan dan anak-anak dibiarkan hidup dengan penuh fasilitas, tapi kering perhatian, keakraban, dan kasih sayang. Mereka memiliki aplikasinya, tetapi kehilangan operatornya. Mereka memiliki ayah, tetapi seperti kehilangan ayah.
Mereka bergelantungan di truk-truk, bergentanyangan di traffic light, mabuk-mabukan di lorong-lorong gang dan tepi sawah yang sepi. Mereka pulang hingga dini hari, dan tak ada yang mencarinya. Di sekolah pagi hari, mereka mengantuk. Otaknya tidak siap menerima transfer ilmu. Memorinya tidak bisa menerima matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan kesulitan sekecil apa pun. Di rumah mereka tertekan, di sekolah mereka tertekan. Maka, kebutuhan paling mendesak mereka adalah menemukan kebahagiaan. Dan kebahagian mereka adalah membolos, memalak temannya, mengganggu anak lain, berkata kasar, menendang pintu, vandalisme, dan tindakan merusak lainnya.
Anak-anak tersebut kemudian dicap anak-anak nakal. Tapi siapakah yang menyebabkan mereka nakal? “Kembalilah, Ayah. Aktifkan tombol ‘heart’mu sekarang, dan aku akan pulang sebelum larut malam. Aku ingin bergembira bersamamu,” begitulah kira-kira kerinduan mereka.
Baca juga: Matinya sang Fiksi
Jimat Kalimasadha, redaktur tajug[dot]net, blognya bisa diakses di bit.ly/bu-buku
0 comments