Mitologi Rumah
Cepat-cepat saya menyeruput sisa wedang jahe di dasar gelas, karena purnama ketika itu terlalu sudah kelewat malam. Pun nyala cahayanya gencar terpancar menempeli tengah-tengah cakrawala seakan-akan pertanda agar saya segera pulang ke pondok. Setelah menyodorkan uang pada Ndondot, ternyata tak ada kembalian.
”Surya satu Mas.” Sebagai penggenapnya, kepada pemilik warung itu saya meminta sebatang kretek filter.
Pekan itu malam jumat, pengajian pesantren diistirahatkan. Saya pun sengaja lamat-lamat kembali ke pondok. Bagi yang memergoki, terlagaklah saya menikmati keindahan siluet langit. Tetapi, yang paling cocok, ya meratapi. Meratapi kesendirian yang tiada nilai dalam malam yang sangat bernilai. Bukan menikmati. Karena, malam itu terjadi hanya sekali, dan malam-malam hari sebelumnya saya sudah terlanjur menjadi ”aji godhong garing”, tiada berharga sama sekali. Tak sekalipun ada segelintir kebaikan yang bisa saya tangani, sekadar sebagai celengan pahala.
Karena sudah saya sulut di warung, malam itu rokok pun telah separo saya hisap, berniat menyetip kemelut dalam hati. Dengan peci mendongak ke atas, rambut kuncung tersembul ke depan, saya seperti sedang dirundung mendung. Lalu, kemudian saya bablas melangkah ke pondok.
Sebagai pelajar yang mengais ilmu di pesantren, dalam keadaan krisis pun nekat ke warung untuk melepas stres dengan minuman hangat. Cuma Rp2000,- (wedang jahe + gorengan satu + sebatang rokok), anggapan saya malam itu. Begitulah semasa muda saya.
”Kang, pinjam uang recehan, kalau sudah ada saya kembalikan.” Kali kadang saya menghutang teman sekamar, begitulah jika sudah kehabisan modal.
Tapi ya begitu, tak pernah mengembalikan. Sesama lainnya juga, jika pinjam-meminjam uang untuk sekadar ngopi, kebanyakan tak pernah kembali. Mungkin ya, atau lupa mungkin. Kira-kira lho ya, saling memaklumilah, hidup di pesantren bisa dibilang solidaritas tinggi.
Dalam hitungan beberapa langkah, saya mendapati sebuah dompet kusam terkapar di samping jalan. Pasti ini rezeki yang tidak diduga-duga, bisa buat mayoran sama teman, sekali-kali batin saya berwah-wah. Hanya saja, setelah saya acak-acak jerohannya, saya kira isinya berlembar-lembar uang, melainkan hanya KTP dan sesobek kertas agak memburam bertuliskan: aku ingin membangun rumah sederhana/ ada matahari di semua jendela/ ada pintunya menghadap ke semua arah/ yang selalu terbuka untuk beribadah...
***
Jumat setelah malam itu, pagi mulai bercumbu dengan secercah kehangatan mentari. Kira-kira saja ya, barangkali pukul enam esok. Kalau pasnya, saya tak sempat menggubris jam dinding pesantren. Saya keburu menembus gang-gang kecil kampung Langgardalem, menyibak berjejer-jejer rumah yang menyembulkan bau sedap masakan pagi ibu-ibu kampung. Saya bermaksud mencari alamat rumah, yang malam itu saya temukan bersama sesobek tulisan yang penuh harapan tersebut. Namun, saya begitu was-was jika rumah yang saya cari tak terjumpai, karena tulisan itu mengesankan wujud sebuah keinginan untuk membangun rumah sederhana. Barangkali pemilik dompet itu belum punya rumah. Mungkin. Beribu-ribu mungkin desak-mendesaki seiris niat saya untuk mengembalikan dompet tersebut.
Tanpa membolak-balik maksud baik, lebih baik saya lanjut menyusuri jalanan yang masih lengang dari asap zaman. Tiba-tiba setelah menerabas perempatan Jalan Menara, seorang polisi menghampiri. Ya, saya mengaku salah, menyeberang jalan tanpa lirik kanan-kiri. Hampir saja tertabrak Herli. Dan, saya menyangka polisi itu akan segera menghardik.
"Bagi duit!” sentak polisi dengan tangan menengadah.
Perasaan saya membentak kaget, ketika saya menengok ujung kepala sampai kakinya yang memakai seragam polisi lengkap, kecuali senjatanya. Yaitu siku tukang kayu, sebagai pistolnya. Ini, orang gila ini, benak saya menggerutu.
Di atas sandal jepit yang sudah dikerubungi debu-debu pagi, sepasang kaki saya terasa panas-dingin bertatap dengan orang gila yang berseragam polisi. Tanpa diceritakan pun, dengan yakin jika bertemu orang gila itu, pasti kalian bersiap diri menjauhi.
Jalan saya berkebat kaki sampai di Jalan Majapahit. Rumah bercap 19 A, itulah tujuan saya. Timur ke barat, selatan ke utara, sepagar pun tak saya temui rumah yang beralamat tersebut. Rumah yang paling ujung adalah nomor 18 A, selanjutnya adalah kosong tanahnya, dan berumput lebat. Saya masih ikhtiar mencoba. Barangkali bertanya pada tetangga, berbuah hasil. Hanya saja, sudah tiga kali bertanya serta memperlihatkan KTP itu, satu jawaban persis saja. ”Maaf Mas, kami tak sekali pernah lihat muka seperti ini, juga tak ada rumah dengan nomor 19 A, paling ujung ya hanya 18 A.”
Dengan akhir keputusasaan, saya kembali ke pondok. Yang terbaik saya sudah punya niat baik untuk memulangkan dompet itu. Soal pahala urusan Zat Yang Maha Memberi, pikir saya yang waktu itu masih agak kecewa. Lalu, dompet seisinya saya simpan, jika hari lain diperlukan.
***
Lain pekan selanjutnya, Kang Adib, senasib sebagai karib saya di pesantren, juga tak niat bersengaja telah menemukan dompet di sebuah jalan ketika dia sedang menarik becak. Karena setelah malam mengaji, paginya dia bekerja sebagai tukang becak di alun-alun kota.
Dan diceritakan ikhwal tersebut, bahwasanya sepulang bekerja, dia langsung menuju alamat yang terpampang di KTP dalam dompet yang ditemukan—untuk memulangkannya kepada si pemilik. Sesudah sampai di alamat itu, seraya menunggangi becak, ditataplah rumah itu dengan penuh duga. Yang dilihat hanya rumah kosong tak berpintu. Sepertinya rumah itu sudah agak lama tak dihuni, rumah tak berpintu dikerubuti banyak rumput ketepeng, begitu keterangan yang saya dapat dari Kang Adib suatu malam usai pengajian rutin.
Usai menengok—sebab dihantui penasaran—saya terkulai kaget, takut, dan entah apa lagi yang dirasa indera saya. Tak bisa ditafsirkan. Setelah menyandingkan, nyata-nyatanya dompet yang ditemu Kang Adib, KTP-nya persis dengan KTP yang wujud dalam dompet yang saya dapati. Lain-lain cuma sebuah kunci rumah, dan leceknya sesobek kertas bertuliskan: rumah tanpa pintu menjelma tugu/ angin membentur sia-sia, hujan memandikannya percuma/ burung-burung menghinggapinya dengan wajah membatu/ orang-orang berdatangan ingin mengibarkan bendera...
Khawatir terjadi hingar-bingar, saya pun tak mengadu kepada Kang Adib tentang misteri dompet dan isinya. Apalagi melapor bahwa KTP dalam kedua dompet itu sama, itu tak mungkin. Nanti malahan seantero pesantren gempar. Saya hanya diam berperasangka. Dinalar aneh sekali. Saat saya mengunjungi alamat itu, tak ada bangunan yang berdiri. Namun, kata Kang Adib, rumahnya sudah tak berpenghuni, pintunya tak ada. Kemudian setelah saya bawa dompet yang didapatnya, saya ingin menyimpannya.
"Iya, sampean bawa saja dompet itu," serahnya setelah saya mintai.
Baru setelah saya renungi, kunci dan tulisan itu saling bertalian: rumah tanpa pintu menjelma tugu. Maka buat apa kunci tersebut jika pintunya tak wujud. Saya makin stres, dan akhirnya mendatangi lagi alamat itu. Nyata-nyata penglihatan saya, tak ada apa pun di tanah itu, apalagi rumah tak berpintu. Apa saya sedang bertakhayul, tidak agaknya.
”Kang, saya cari alamat itu, tidak ada rumahnya kok,” telisik saya.
”Mungkin, sampean salah alamat. Rumahnya itu berbau angker. Semua ruangan sudah tak ada pintunya!”
”?”
Dag-dig-dug-der hati saya.
”Tenang, tenang, tenang. Bukan soal yang perlu diperdebatkan.”
***
Seperti yang telah terjadi, pekan selanjutnya pun ikut terjadi. Di warung Ndondot tempatnya. Sambil dihangati segelas kopi, Kang Toheng mulai merogoh cerita dari saku celananya.
”Tadi pagi, saya dapat dompet, Kang,” katanya menunjukkan satu dompet, ”Tadi saya langsung buka dompetnya, isinya sebuah KTP dan barang sepele, tak ada uangnya.”
Dia mengambil tempe bacem khas bikinan warung Ndondot, lalu dia lahap sekali telan. Setelah mengunyah tempe dan didorong oleh seteguk kopi, dia meneruskan, ”Saya langsung kembalikan ke alamat yang ada di KTP-nya, kok malahan rumahnya tidak ada yang menempati, banyak sawang-sawangnya. Hampir saja saya ketakutan. bendera-bendera setengah tiang banyak di sana. Menyeramkan, Kang. Ini dompetnya, coba sampean lihat.”
Saya membukanya. Sesobek kertas dengan tulisan yang berumur belasan tahun saya temukan: rumah tanpa penghuni akan menjelma sarang laba-laba/ orang-orang menjauhinya, mereka ketakutan/ bendera-bendera setengah tiang berkibaran di sekitarnya/ cuaca melahirkan bayi-bayi tanpa penglihatan...
Pun saya memindai isi dompetnya. Seperti ada kaitan dengan kedua dompet yang saya simpan. Tulisan tersebut juga sama dengan keadaan yang diceritakan Kang Toheng. Lagi-lagi saya belum menengok KTP-nya.
”Kang KTP-nya mana?” tanya saya sekali-kali sambil mencicipi kopi yang sudah agak dingin.
”O, ini di saku saya, Kang,” jawabnya seraya menelan sate telur-puyuh.
Wujud KTP-nya sama. Tubuh saya mulai dingin seperti kopi yang barusan hampir dingin. Ini tidak masyuk, juga tak masuk akal. Paginya pun saya ke TKP. Kosong hasilnya, kosong tanahnya. Seperti waktu saya kali pertama menjumpai. Saya teramat khawatir dengan kemustahilan ini.
***
Malamnya, sekonyong-konyong entah dari mana Kang Mansur pergi. Kembali ke pondok telah menguntai sepotong kata dari tulisan yang ditentengnya: rumah tanpa jendela akan menjelma goa/ udara membusuk, semua arah semata batu/ orang-orang berdatangan membawa bunga/ setiap suara bergema sia-sia, hidup membeku...
”Rumah tanpa jendela menjelma goa?” Perasaan saya gonjang-ganjing.
Sepenggal kata itu seperti ada sangkut pautnya dengan ”rumah tanpa pintu menjelma tugu” yang saya apik menyimpannya.
Lalu, kemudian tanpa mengeja, dia mengumumkan kepada saya bahwa dia menemukan sebuah dompet yang isinya tulisan yang diucapkan itu.
”Ini, ada sebuah KTP juga. Sayangnya tadi sudah saya kembalikan, namun malah rumahnya mengesankan kuburan. Banyak bunga bertaburan, tapi tak ada makam. Udaranya juga beda, ada bau aneh menyeruak,” jelasnya biasa-biasa saja. ”Saya merinding dengan sangat amat,” tandasnya.
Tersebut sama KTP-nya. Saya jadi linglung. Terkumpul empat KTP dengan nama, foto, alamat yang sama. Tanda tangannya juga tak beda segoresan pun. Ai, kepalang bingung, tekad saya semakin terangkat. Berani tak berani, ada tak ada, saya bersikeras menengok rumah dengan alamat tersebut. Sampai juga rasa capek saya, sedangkan rumah yang saya cari juga tak ada. Hanya wujud kosong tanah seperti semula.
***
Siang bolong hari selanjutnya, saya mendapat jatah masak dengan Kang Albab. Dia kebagian membuat sambal, sedangkan saya menggoreng tempe, tahu dan membuat sayur bening. Sambal bikinannya khasnya bisa dikenali dengan terasi Madura yang dibawanya setiap kembali ke pondok.
”Kang,” panggilnya.
”Iya, ada apa?”
”Tadi sebelum subuh, sepulang saya dari pasar.” Memang Kang Albab kalau memasak dengan saya, pasti diselingi dengan menyambi suatu pembicaraan, ”Di jalan saya menemukan sebuah dompet.” Dia berhenti sembari menumbuk cabainya, ”Isinya aneh,” lanjutnya.
”Apa?”
”Sebuah tulisan,” katanya sambil merogoh saku bajunya, ”Ini lho,”
Walaupun penasaran—apakah sama atau beda dengan dompet yang KTP-nya sama—namun setelah saya memelototinya ternyata ini beda dari yang sudah-sudah. Karena ada tulisan tebal di atasnya, barangkali judul. Pun saya turut membacai tulisan tersebut yang dimulai dengan tulisan ”Mitologi Rumah”: rumah tanpa lampu akan menjelma tungku/ orang-orang menyalakan obor di semua penjuru/ asap mengelabuhi mata, udara terluka/ Tuhan disingkirkan di ruang gulita...
KTP pun persis dengan yang sudah terkumpul. Meski aneh, saya sudah tidak kaget lagi. Dan seperti menyambil-lalukan, saya tak bersegera mendatangi alamat tersebut. Karena saya punya rencanya nantinya.
”Ini,” sambil membagi satu-satu, ”Dompet yang sampean-sampean temukan kemarin-kemarin.”
***
Sesuai kesepakatan atas usulan saya, malam ini saya dengan Kang Adib, Kang Mansur, Kang Albab, Kang Toheng setuju dengan bersama mendatangi rumah yang dimaksudkan. Karena saya tak pernah menemukan semeter pun bangunan, dan juga apa yang disaksikan keempat teman saya pun sangat berbeda-beda.
Tak ada pengajian malam itu, karena malam Jumat. Sesuai dengan rencana, setelah dapat izin keluar, saya dan kawan-kawan keluar membuktikan secara bersamaan.
”Lho, kemarin ketika saya datang, ada rumahnya kok, besar sekali.”
”Ah, mungkin ini salah tempat.”
”Kok, rumahnya berubah jadi kosong?”
”Saya juga tak tahu, sudah lima kali saya datang ke sini, tetap kosong wujud tanahnya.”
Saya dan kawan-kawan pun tanya-menanyai. Bukan sembarang aneh. Lalu karena dibuntuti ketakutan, saya pun membuang dompet-dompet seisinya tersebut ke dalam tanah kosong di situ. Kemudian meninggalkan keanehan-keanehan yang lahir di tanah tersebut. Biarlah merasuk dalam bau, warna, serta bentuk tanah kosong tersebut.
Sesampai di pondok saya baru sadar kertas-kertas kusam itu masih dalam kantong saya, ”Bagaimana ini, Kang?”
”Santai saja, nanti kita jadikan satu saja,” kata Kang Abid. ”Tadi, sampean bilang tulisan-tulisan itu bersangkutan.”
***
Masih berseragam, saya dan keempat kawan saling mengerubungi, bersila menyatukan tulisan.
”Wah, ini kalau digabungkan seperti puisi milik penyair ternama ya,” kata Kang Albab setelah kami berempat usai menyatukan dan membacanya.
”Lho, kalian ini bagaimana?” Diiringi keplokan tangannya, tiba-tiba suara Kang Kunarso menjebluk, ”Itukan memang puisi sungguhan milik penyair sungguhan.” Memang Kang Kunarso termasuk penggemar sastra, sangat mungkin beliau paham dengan puisi-puisi karya sastrawan sungguhan.
”Judul puisi itu ’Mitologi Rumah’ gubahan Maria Magdalena Bhoernomo yang dimuat dalam antologi puisi ’Menara 2’,” kata Kang Kunarso sembari membuka almari beliau melanjutkan, ”Ini, saya punya bukunya, halaman 40 ya.”
Seteleh saya menyatukan sobekan tulisan-tulisan itu tiba keempat sahabat saya tercenung kaget.
”Sama kan dengan yang kalian punyai?”
Waktu itu, seketika saya terkelu melongo. Dan keempat kawan saya tiba-tiba pingsan, barangkali dikira sudah kemasukan makhluk gaib. Seisi pesantren pun kebingungan, terlebih Kang Kunarso yang menyana mereka kesurupan.
***
Kudus, Alif 1947
*Cerpen tersebut dialihwahanakan dari puisi dengan judul yang sama, yakni "Mitologi Rumah", karya Maria Magdalena Bhoernomo, yang termaktub dalam antologi puisi ”Menara 2”.
NawaDasa Satsata, lahir di Kudus, 15 Maret
1994. Fokus dalam bidang sastra dan film. Saat ini ia bergiat di Komunitas
Skripseni. Juara 3 penulisan cerpen berjudul ”Gembong Skenario Gila” di
Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Pemerintah Kabupaten Kudus (2012).
0 comments