Nang
“Bisakah kita menuliskan rencana merobohkan Omah Pasir, Kang?”
“Ono opo, Nang? Omah Pasir adalah istana bagi Lik Kosim, bagi anak-anak Desa Bondo.”
“Bisakah kita menuliskan rencana merobohkan Omah Pasir, Kang?” Tatapan mata bocah kecil disertai bulir air mata itu benar-benar tak bisa ditutupi. Wajahnya memandang Kang To sayu.
“Ojo ngelindur tho, Nang!”
“Ndak, Kang. Maju ke propinsi hanya akan memperparah keadaan. Lik Kosim akan semakin menghabiskan tenaga, pikiran, materi, dan waktunya daripada untuk sang Istri.”
“Ono opo, Nang? Mbak Parti ndak pernah komplain akan suaminya yang lebih sering di Omah Pasir.”
“Tidak, Kang. Bisakah kita menuliskan rencana merobohkan Omah Pasir?” Mata Sofyan jauh menerawang di antara deru suara kernet bis, bergelantung di pintu dengan jari menunjuk ke luar, berteriak menyebutkan tujuan ke mana bis melaju. Kang To bangkit dari kursi penumpang.
Digenggam tangan Sofyan di sampingnya.
“Kiri, Pak!” Komandonya pada kernet bis.
“Ayo, Nang. Kita harus cepat. Perlombaan sudah akan tiba waktunya. Kita tak boleh telat.”
Siang belum bertabuh, keringat telah mengguyur pada tubuh. Dua anak manusia itu berlari mengejar detik. Hingga sampailah pada tempat yang dituju.
“Kita beruntung, Nang. Lomba belum dimulai.”
Lelaki kecil di samping Kang To tak menimpali apa pun. Ia lebih memilih mengunci bibir rapat.
“Kau pasti siap. Kau benar-benar siap kan, Nang?” Kang To menekuk lututnya ke lantai. Dipandangi dalam-dalam mata Sofyan, bocah kecil berambut tipis, berbibir tebal dan berkulit legam.
Tampak keraguan pada diri bocah berusia dua belas tahun tersebut, bahwa dalam lomba kali ini, ia akan tampil dengan sengaja bukan mencari kemenangan, bukan piala yang menjadi incaran kali ini.
Sofyan mengembus napas kecilnya. Menunduk lagi, dan menghela napas lagi. Tanpa menjawab tanya Kang To.
“Kau sudah dalami pembekalan Lik Kosim di Omah Pasir, kan?” Kembali Kang To menanyai bocah kecil yang semenjak jam enam pagi tadi bersamanya, berangkat dari desa menuju tempat perlombaan.
Namun lagi, Sofyan tak berani memandang biji bola mata Kang To barang sedetik pun. Tekadnya masih sama, ia enggan menang. Ia tak ingin memenangkan perlombaan.
“Sekali lagi, kamu yang dipilih maju untuk perlombaan tingkat kabupaten ini, Nang. Atas nama komunitas kecil kita, Omah Pasir, atas nama desa kita tentunya.” Kening Kang To kian mengerut dalam perkataan yang serius.
“Di sana, Nang. Desa yang mungkin orang tak akan pernah mencarinya di peta. Desa itu akan melahirkan rasa penasaran khalayak ramai, akan dicari, akan terkenal. Sekali lagi kamu telah mengalahkan anak-anak tingkat sekolah dasar di Desa Bondo, kamu juga telah lolos maju mewakili kecamatan. Semangat, Nang.”
Kendati telapak tangan Kang To mengguncang-guncangkan bahu Sofyan dengan keras, bocah itu tiada geming.
“Kamu adalah anak pilihan, Nang! Kebanggaan Lik Kosim yang tak henti melatihmu, kebangaan teman-temanmu di Omah Pasir. Dan kebanggaan ibumu pasti.” Tatapan Kang To perlahan beralih ke lantai. Menunduk seraya menghela udara dalam-dalam, diikuti mata yang pejam.
“Meski ibumu belum memaknai apa itu arti juara, apa itu arti perjuangan, apa guna kemenangan ini untuk anaknya,” tandas Kang To. “Ya, akan ada satu detik di mana ibumu bangga. Nang, bukan berarti jika beliau tidak mengapresiasi prestasimu dengan ucapan-ucapan penyemangat lantas beliau tak bangga. Kau tahu uang dua ribu ini?” Kang To mengeluarkan dua lembar uang lusuh bergambar pahlawan nasional bernama Pattimura. Dikibaskannya di depan wajah Sofyan, bocah yang baru lulus SD dan tak juga mendaftar di tingkat menengah pertama itu. Uang dua ribu rupiah yang dititipkan Sang Ibu pada Kang To.
“Dua ribu rupiah, Nang. Hanya ini, tapi bukan nominal yang Kang To lihat. Dari uang dua ribu ini, Kang To lihat sebuah restu dan doa yang tak terukur oleh berapa rupiah pun,” lanjut Kang To.
Ya, Sofyan hanya lulus SD tiga bulan lalu. Ia mengurungkan keinginan melanjutkan SMP tersebab tak ingin menjadi beban bagi ibunya yang hanya buruh cuci di warung makan Mak Jum. Ia sadar sang bapak merantau di Pulau Kalimantan dan tiada pulang delapan tahun terakhir. Jangankan uang terkirim, kabar pun tiada terujar. Tersiar dari para perantau yang pulang, bahwa bapaknya menikah dengan wanita Suku Dayak Kalimantan dan telah memiliki anak.
“Uang ini ibumu yang menitipkan, waktu aku berpamitan mengajakmu berangkat tadi pagi. Ini tanda kebanggaan ibumu. Katakan sesuatu, Nang. Opo arep jaluk jajan?” Lagi, Kang To memastikan bahwa Sofyan tidak sedang dalam keadaan lapar. Sikap diam Sofyan semakin memunculkan tanya di benak Kang To. Bagaimana tidak? Bukankah ajang bergengsi ini impian Sofyan sejak lama?
Perlombaan puisi tingkat kabupaten ini terselenggara dengan penjaringan para pemenang dari tingkat kecamatan di Kabupaten Jepara. Setidaknya para wakil dari kecamatan berkesempatan maju untuk mewakili Kabupaten Jepara di tingkat propinsi Jawa Tengah nantinya. Sofyanlah harapan Kecamatan Bangsri saat ini. Uang pembinaan dari Pak Camat senilai dua ratus ribu rupiah masih tersimpan rapi dalam amplop. Dalam pikir Sofyan, uang itu hendak ia belikan buku bacaan untuk menambah penghuni rak buku di Omah Pasir usai dari perlombaan nanti. Buku yang tak akan habis melintas masa, buku yang bisa dibaca anak-anak yang singgah di Pantai Bondo usai menjeda lelah, buku yang yang menjadi jendela anak-anak pedalaman membuka cakrawala dunia.
Bagi Sofyan, tujuan kali ini bukanlah kemenangan. Ia masih diam dalam tatapan bak kejora tersangkut pada batang mayang. Terlebih setelah malam itu. Ya, malam yang tak pernah bisa terlupa, bahkan bila sebuah kata bernama amnesia menderanya, kejadian malam itu benar-benar bukan untuk dilupa.
***
Bayangan Lik Kosim masih berada di pelupuk mata Sofyan kendati keberadaannya berkilo jauhnya di desa. Menapaki kisah Lik Kosim dalam melatih puisi, Sofyan hanya menemukan satu kata, "gila". Ya, mungkin itu kata yang pantas. Lik Kosim sangat menggilai puisi. Bagaimana tidak? Di Omah Pasir pesisir Desa Bondo, Lik Kosim tiga hari dalam sepekan melatih bocah pesisir berdeklamasi, dengan keadaan ketiak kiri tersangga kayu alat bantu jalan. Kecelakaan kerja di industri kayu rumahkan milik Pak Tejo Membuat salah satu kakinya yang terkena gergaji mesin harus diamputasi.
Adapun Lik Parti, istri setia yang belum pernah mengandung di usia pernikahan beranjak delapan tahun itu pun kadang terselip sisa-sisa sabar yang hampir tergerus. Seperti hendak terbawa aliran sungai, tertinggal adalah lelah.
Rumah kayu yang berbentuk panggung beratap blarak itu, lima tahun lalu didirikan oleh Lik Kosim. Terletak di sebuah desa di Kecamatan Bangsri, Jepara. Desa tersebut terletak kurang lebih tujuh belas kilometer dari pusat kota. Desa di pedalaman Kabupaten Jepara yang memiliki garis pantai sekitar dua kilometer panjangnya. Memiliki deretan pantai eksotis dengan pasir putih yang menyelimutinya.
Satu titik di garis pantai itu, Omah Pasir mengukuhkan eksistensi, walau hanya berwujud kepuasan dari pecinta sastra di desa tersebut saja, atau tepatnya katakanlah yang memiliki minat lebih pada bacaan. Tak banyak, bahkan perlu dorongan yang ekstra Lik Kosim pada anak-anak untuk mencintai bacaan, atau bergumul dengan dongeng yang dikumandangkan seminggu tiga kali selepas Isya’.
Lampu dari kaleng susu yang tertaut sumbu dengan minyak gas menjadi penerangan ketika malam tiba. Dalam waktu dekat, Lik Kosim berencana memasang sambungan listrik yang terhubung dari rumahnya agar ketika malam, pandangan anak-anak pada bacaan tak kabur.
“Jangan Omah Pasir terus yang diragati? Bojomu opo mangan soko watu?” Ucapan sinis dari sang istri kadang menyemat luka.
Tapi Lik Kosim adalah pria yang tak pernah menumbuhkan api. Diamnya dengan senyuman, sebuah senjata andalan yang membuat istrinya bosan tiap hari harus mengoceh tanpa tanggapan dari suami.
Di Bondo. Garis pantai yang belum terjamah polutan, di sekitarnya banyak tumbuh pohon peneduh yang didominasi jenis pandan. Dan bila tiba musim barat, ombak di pantai ini terbilang sangat besar, anak-anak desa pun banyak yang diwanti-wanti orang tuanya untuk tidak main di dekat bibir pantai. Terkecuali Omah Pasir yang tak pernah alpha dengan kegiatan pelatihan puisi serta menulis dan mendongeng yang diprakarsai sepasang adik kakak bernama Lik Kosim dan Kang To. Begitu anak-anak desa Bondo memanggil mereka.
Tepat sepekan yang lalu, ketika Sofyan menyambangi Omah Pasir usai berhambur dari surau, sungguh percakapan dari Lik Kosim dan Lik Parti, istrinya, tak sengaja terdengar oleh Sofyan hingga terngiang sampai sekarang di tempat ini. Masih jelas terngiang dan terbawa ke tempat di mana ia akan tampil mementaskan sebuah puisi.
Entah, percakapan yang mengaburkan keinginan Sofyan untuk memiliki harapan maju ke tingkat propinsi, seperti apa rasanya berjuang dalam perlombaan tingkat propinsi jika ia memenangkan lomba ini? Ah, ucapan Lik Parti malam itu ...
“Hey, Nang! Kenapa kamu bengong? Kalau kamu menang, kita ke tingkat propinsi, Nang.” Tangan Kang To masih tertaut pada pundak Sofyan erat.
“Pertandingan lima belas menit lagi. Kang To cari air minum buat kamu dulu.” Telapak tangannya pun menuju pada kepala si bocah kecil itu. Usapan dua kali, kemudian bangkit ke arah pengasong di sekitar gedung perlombaan. Dirogohnya saku celana, hanya tersisa uang lima puluh ribu, ditambah dua ribu titipan ibunda Sofyan yang dibiarkannya tertahan di saku. Nominal yang harus ia irit jika ingin sore nanti pulang sampai di Desa Bondo setelah usai lomba tanpa jalan kaki.
Dahaga merongrong leher, terlebih perjalanan naik bis dengan dua kali pemberhentian tadi. Sesekali jalan kaki, dari pagi tenggorokan mereka berdua belum tersentuh air minum sama sekali sejak keluar rumah. Harusnya mereka menyiapkan bekal air dalam botol. Tapi karena kterburu-buruan membuat mereka luput akan hal itu.
***
“Kowe mikir opo to, Nang? Kok sajak’e pikiranmu kosong?” Usai menyodorkan air mineral, Kang To membuyarkan ingatan Sofyan. Namun yang diajak bicara masih dalam diam yang entah.
Hampir bulir air menetes di pipi begitu Sofyan tak bisa mengalihkan ingatan ke sepasang suami-istri tentang kejadian malam itu, tetapi suara seorang wanita penuh wibawa dari arah pengeras suara menghentakkan lamunannya.
“Lima menit menuju dimulai perlombaan, peserta harap memasuki lokasi sesuai jenis kategori lomba.”
Kang To cepat-cepat menarik lengan Sofyan ke ruang perlombaan. Di antara yel-yel dari para penggembira peserta lomba riuh menggema disertai kostum yang beraneka uniknya. Padahal hanya ajang pembacaan puisi, bukan olahraga, pementasan lagu atau drama, namun aura kegiatan pertunjukan besar seakan terhampar di pandangan. Ada juga antusiasme beberapa orang tua peserta lomba, selain beberapa guru pendamping peserta yang lain.
Kalau saja Lik Kosim ikut mengantarnya dalam perlombaan ini, pasti hati Sofyan akan terhuni sejengkal kebahagiaan. Terlebih jika apa yang menjadi cita-cita Lik Kosim berbuah manis. Melihat Sofyan dipanggil sebagai juara, sang juri menyerahkan piala, kemudian kaki pincang Lik Kosim mengarah ke dekat podium untuk mengucapkan selamat.
“Kami persilahkan masing-masing peserta mengambil nomor urut untuk kemudian diserahkan kepada koordinator lomba di sebelah kanan pentas.”
Nomor urut telah dalam jemari, Sofyan membukanya tanpa rasa penasaran sedikit pun. Dan urutan jatuh pada nomor tiga di antara empat belas peserta di kategori ini. Setelah itu Sofyan menuju kursi peserta, sementara Kang To di tempat para pendamping.
“Semangat, Nang! Kamu bisa!” seru Kang To. Benar-benar haru terpancar dari wajahnya.
Menit bergulir menuju pada urut nomor tiga, usai koordinator lomba memanggil, beranjak lelaki kecil itu naik ke pentas, memuisikan untaian kata. Sajak demi sajak ia deklamasikan. Wajah Lik Kosim dalam raut kepedihan malam itu, masih bayangan wajah Lik Kosim menyambangi pandang. Tak usah ditebak hasil apa yang diperoleh, Sofyan memilih jadi pecundang.
***
Setengah jam, tak ada suara, Kang To memandangi ubin yang teratur. Memang tak ada air mata, Kang To bukan sosok yang ekspresif dan melankolis. Sekali lagi tanpa suara, sangat berbeda dari sebelum Sofyan tampil tadi. Kini Kang To terdiam dalam hening. Ada apa dengan diri Sofyan? Bukankah pas latihan sangat memukau? Begitu juga saat di tingkat kecamatan.
Sejak dari tadi pagi bocah kecil itu juga layu. Masih mending jika Sofyan mengutarakan apa yang di benaknya. Sungguh diam yang membuat Kang To bingung menerjemahkan apa. Diam yang membuat tanya terhenti pada kata entah.
Satu dua tiga peserta telah menuju ke parkiran didampingi para pendamping masing-masing. Perlahan aula perlombaan hanya tersisa beberapa orang saja yang ingin mengambil foto di spot yang disediakan. Tak ada yang hendak diabadikan Kang To di tempat ini. Bukan tak ingin, telepon selular seperti itu pastilah mahal untuk ukurannya. Kalaupun ada uang, sudah pasti untuk memperbanyak bacaan di Omah Pasir.
Dan aula saat ini sudah sangat sepi, terdengar perut Sofyan yang mengisyaratkan butuh isian. Diam Kang To akhirnya kalah oleh ketidaktegaan pada bocah kecil itu.
“Kita ke warung makan ya, Nang!” Kang To menyeka peluh di dahi.
Guratan wajah lelah terpancar darinya. Sementara tatapan Sofyan memandangi deretan rumput di luar gedung, Kang To membaca bahasa kekecewaan dari gerak tubuh Sofyan. Ia mencoba menerima kekalahan ini. Ya, yang paling bijak ialah tetap mengapresiasi Sofyan. Bukan malah dengan diam yang bisa saja meluka, atau melahirkan jera jika suatu saat ada ajang serupa.
“Kamu hebat, Nang! Sudah pasti Lik Kosim di desa bangga apa pun hasilnya. Sepertinya hari ini bukan hari duka. Tak usahlah wajahmu kusut.” Sebuah senyum kecil dilemparkannya ke lelaki kecil itu sembari keras menepuk bagian punggung atas. Sofyan yang tadi membisu, kini hendak mengucap sebuah pernyataan dengan suara yang entah, tenggorokannya tertarik jauh ke dalam. Tatapannya masih biru.
“Bisakah kita menuliskan rencana merobohkan Omah Pasir, Kang?” Bibir bocah itu mengeluarkan kalimat tanya yang mendegupkan jantung Kang To.
“Kowe ngelindur tho?”
“Memang Omah Pasir yang memberi ruh pada Lik Kosim, namun Omah Pasir juga yang mungkin bisa memisahkan Lik Kosim dan Lik Parti.” Dalam pandang mata yang masih sayu, Sofyan menimpali.
“Memisahkan bagaimana? Mereka baik-baik saja, Nang,” jawab Kang To.
“Tidak sedang baik-baik saja, Kang. Malam yang tak pernah Sofyan lupa, ketika dua insan itu berbincang, saat yang satu menaikkan nada, dan yang satu terdiam luruh, aku, dan pasir menyaksikan ...”
“Nang! Ojo ngawur tho kowe.” Masih Kang To merasa penasaran pada Sofyan yang kini mengigau.
“Malam itu, Kang. Dalam wajah lelah Lik Parti, karena sang suami lebih sering menghabiskan waktu di Omah Pasir, karena Lik Kosim lebih sering menggunakan uangnya untuk mengisi rak buku di Omah Pasir, karena Lik Kosim sangat pelit akan kebutuhan keluarga ...” Bocah itu menunduk, isak tangis kini mendera. Ia hampir tak dapat melanjutkan kata-katanya. Suaranya seakan tertarik ke dalam. Dadanya diliput sembilu, sesak.
“Ono opo, Nang? Selama ini Kang To lihat mereka baik-baik saja. Mbak Parti ndak pernah komplain akan Omah Pasir.”
“Bisakah kita menuliskan rencana merobohkan Omah Pasir, Kang?” Tatap mata bocah kecil disertai bulir air mata itu benar-benar tak bisa ditutupi. Wajahnya memandang Kang To sayu.
“Ojo ngelindur tho, Nang!”
“Maju ke propinsi hanya akan memperparah keadaan, Kang. Lik Kosim akan semakin menghabiskan tenaga, pikiran, materi, dan waktunya daripada untuk sang istri. Malam itu, Kang ...”
“Malam itu apa?”
“Menyengaja langkah untuk kalah bisa jadi yang terbaik, Kang. Karena banyak pertimbangan-pertimbangan yang semakin merugikan Lik Parti, malam itu ia hendak menggugat cerai.”
“Nang?”
***
Kudus, 04 September 2019
Yani Al-Qudsy, ialah mana pena dari seorang blogger, pecinta sastra, penyuka kopi, dan rintik gerimis. Ibu rumah tangga, keseharian mengabdi pada sebuah Madrasah dan TPQ di Kudus. Anggota Komunitas Omah Gatra (Gandrung Sastra) Undaan Kudus, menulis di beberapa antologi puisi, diantaranya; Munajat Ramadhan (Nusantara Sakti, 2018), Bermemoar di Kedai Kopi (LovRinz, 2017), yang paling baru ialah antologi Sampah Serapah Sripah bersama Komunitas Kresek Indonesia (2019), Antologi Kapok Lombok terbitan Penerbit Intishar (2019), Antologi Penyair Nusantara 2019 Sesapa Mesre Selinting Cinta (Balai Bahasa Jateng, 2019).
0 comments