Buddy

Rafino Irhamni


Cerpen remaja


“Masih nggak yakin aku, Al. Aku sama dia aja baru akrab akhir-akhir ini.Aku mendengus sambil memeluk bantal yang ada di dekapanku.

“Udah dicoba dulu, aku sama Eka dulu juga nggak kenal lama kok,” saran Arial sembari berjalan membawa sepasang gelas menuju tempat tidurku.

Tangan Arial menjulur memberikan segelas air berisi susu kental manis. Kuterima gelas itu sembari berkata, “Ya nggak bisa dipukul rata gitu dong, Al. Nggak semua orang sama kayak Eka-mu itu kali.”

Genggaman Arial beralih menuju kedua tanganku yang sedang memegang gelas kaca bening pemberiannya. Ia menggenggamnya dengan lembut dan berbicara, “Semua bakal jadi gampang kalau kamu berani kok Za. Selama aku kenal kamu kayaknya kamu nggak sepengecut ini. Pasti kamu bisa, yakin!”

“Ya kalau pun bisa jadi aku nggak yakin bisa longlast. Aku sama dia beda agama, Al. Nggak bakalan bisa awet, terus nanti juga bakalan banyak yang menggunjing soal aku sama dia.Pandanganku beralih ke langit-langit kamar, kurasa aku terlalu dalam memikirkan perkara ini.

“Nggak bakalan ada habisnya kalau kamu mau mikirin omongan orang, Za. Itu malah bikin kamu pusing, lakuin yang buat kamu senang aja. Kadang itu lebih baik kita kecewa karena ngelakuin hal yang salah ketimbang menyesal gara-gara nggak ngelakuin apa yang kita ingin.Dari tatapannya, kulihat ia sangat serius memikirkanku. Memang sebuah anugerah aku memiliki teman sebaik Arial, dalam 16 tahun hidupku baru kali ini aku mendapatkan teman sejenis yang bisa diajak curhat.

Tatapanku kambali menghadap lagi ke lingkar wajahnya, semua yang dikatakan olehnya seolah adalah kebenaran. Kami terdiam beberapa detik, dan setelah akhirnya aku hanya dapat beralibi, “Aku nggak tahu cara ngungkapin perasaan, Al.”

“Alasanmu nggak masuk akal, Za. Aku tahu kamu lebih berani dari ini, keburu keduluan orang lain, daripada menyesal Za. Percaya deh sama aku.” Matanya menatapku tajam.

Perbincangan itu seolah memberikan semangat dan keberanian padaku. Tiada seorang pun yang dapat memahamiku layaknya dia. Arial Dwi Pangestu, dia adalah teman sejawatku, kami tinggal di indekos yang sama. Padahal setauku jarak dari rumahnya menuju sekolah tidak begitu jauh, tak sampai 10 menit jika ditempuh dengan sepeda motor. Sekarang ia sudah memiliki seorang kekasih, namanya Eka, sayang sekali aku tidak pernah bisa berkenalan dengannya, ia juga tak pernah menunjukan padaku gambar wajahnya. Tapi bagaimanapun aku sangat beruntung dapat bersahabat dekat dengannya.

***

“Hemm, gimana ya? Kayaknya aku butuh waktu deh, Za,” jawab Brielle setelah mendengar ungkapan perasaanku. Matanya tak ingin menatap wajahku, aku dan dia tak pernah secanggung ini sebelumnya.

Perasaanku sangat gugup, tapi aku tak ingin terlihat seperti itu. Aku ingin menjawabnya layaknya biasa,

“Iya Nggak apa-apa kok. Jangan kelamaan ya, keburu basi entar,” jawabku sembari memasang senyum.

“Omonganmu itu yang basi.Wajahnya beralih menatap wajahku, senyum simpul nampak keluar dari bibir merah mudanya. “Cara nembakmu jadul banget sumpah deh, Za. Kita udah akrab lama masa nembaknya masih tegang gitu,” lanjutnya sambil tertawa ketus.

Aku terdiam mendengar ucapannya, ini jauh dari yang diajari si Arial. Dia tak henti-henti tersenyum, kalau dilihat ia seperti menahan tawa. Tak tahan melihatku diam dan tegang untuk waktu yang lama ia berkata lagi, “Yang agak maksa gitu.”

“Hah, gimana-gimana?” Aku menjawab reflek.

“Biar aku bisa jawab ‘yaudah deh kalau kamu maksa’ gitu,” jawabnya membingungkan.

“Yang bener ah, Ci, sikon-nya nggak pas buat ngelawak ini,” Emosiku ikut campur setelah mendengar jawabannya.

Ia tertawa sampai terbahak-bahak lalu berkata, “Tadi bercanda kali, Za. Iya-iya mau kok.Tangannya usil sambil menyentil hidungku.

***

Aku berjalan dengan Brielle selepas itu, menuju ke tempat parkir sekolah. Saat itu aku masih sangat  tidak percaya kalau perasaanku dapat diterima segampang itu olehnya. Pada lorong-lorong kelas sore itu, aku dan dia banyak berbincang.

“Yang ngajari kamu nembak kayak tadi gimana siapa sih, Za?” katanya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat lingkar wajahku.

“Siapa lagi, ya Ariallah. Dia kalau nembak kayak gitu gampang dan cepat. Padahal aku hafalan itu semaleman loh, Ci. Malah jawabannya cuma kayak gitu,” jawabku kesal.

“Oh jadi nggak suka kalau aku jawab gitu? Maunya ditolak aja dong?” timpalnya iseng.

“Ya nggak gitu, Ci. Oh iya, aku ngabarin Arial dulu ya.Kuambil ponsel dari saku celanaku untuk memberi kabar pada Arial.

Saat aku membuka ponsel dan coba mengetik pesan pada Arial, Brielle berkata lagi, “Lagian kamu minta saran ke Arial, dia cewek aja nggak punya.”

Sambil mengetik aku menimpali, “Loh, jangan salah. Dia ada cewek loh namanya Eka. Tapi entah orang mana.”

“Kamu ngerasa dia aneh nggak sih? Aku ngerasa dia kalau sama kamu beda banget perlakuannya sama teman yang lain.”

Masih fokus dengan ponsel aku menjawab singkat, “Ya, kan aku sahabatnya.”

Betewe, kita kan udah jadian nih. Kalau namamu tak tulis di bio ig-ku boleh nggak?” tanyanya aneh.

“Astaga, punya pacar alay amat. Yaudah lah terserah.”

***

Sesampainya di indekos, pesan-pesanku belum juga mendapat balasan dari Arial. Justru ia malah mengunggah cerita berisi tulisan, “Terkadang membiarkan orang bahagia lebih menenangkan ketimbang memaksakan kebahagiaan kita yang mungkin akan bisa membuatnya terkekang.” Aku merasa sedikit aneh, sebelumnya dia tidak pernah membuat status semacam itu, bahkan untuk pacarnya saja jarang ia ekspos.

Tak lama kemudian ada seseorang yang membuka kamar indekosku. Arial masuk ke kamarku dan langsung memberi selamat atas kejadian yang baru saja terjadi beberapa saat lalu.

“Tuh kan bener, kamu aja yang kebanyakan mikir, Za. Dia aja santai gitu kok,” responnya setelah mendengar ceritaku.

“Ya kan aku nggak tahu bakal gampang gini, Al.Aku menyangga.

“Ingat-ingat keakraban kalian berdua yang udah terjadi kan harusnya dapat dikira-kira.Ia menambahkan.

“Yaudah iya. Dia juga nambahin namaku di bio instagram-nya loh,” kataku sembari menunjukkan kepada Arial laman instagram Briell yang di sana tertulis Erza Kurnia Adiwinata.

Raut wajah Arial seketika berubah menjadi jengkel, entah karena apa. Ia tidak merespon, justru berkata, “Kok aku malah mulas, pinjam wc ya, Za.Ia kemudian meletakkan ponselnya di tempat tidurku dan pergi menuju wc.

Beberapa saat kemudian, ponsel Arial mendapat notifikasi. Awalnya kubaca hanya dari grup kelasnya, tetapi aku malah terfokus pada majalah layar kuncinya yang terdapat tulisan “Bahagiamu nomor satu. –untuk Eka.”

Ini bocah bisa bucin juga ternyata.

Karena kepo aku mencoba mencari nama Eka di aplikasi whatsapp, tapi ternyata tiada. Setelah scroll-scroll cukup lama, aku melihat obrolannya dengan Brielle lantas membukanya. Tiada yang spesial dari obrolan itu, tapi aku melihat latar belakang di obrolan itu adalah gambarku dengannya. Awalnya aku merasa biasa saja, sampai akhirnya aku melihat tulisan kecil di bawahnya. Di sana tertuliskan ‘EKA’ dengan emotikon hati di sebelahnya.

Boleh aku mengulang waktu? Aku tak ingin berkenalan dengan orang ini lagi.


Rafino Irhamni,  remaja yang lahir di Kudus pada bulan Maret 2003. Laki-laki ini gemar menonton film, hampir setiap minggu ia meluangkan 2-3 jamnya untuk berada di bioskop. Dari film-film yang ditontonnya ia mendapat banyak sudut pandang dan idealisme, kerap kali ia menyampaikan hal itu melalui tulisan-tulisannya. Sekarang masih tercatat sebagai siswa di SMA N 2 Kudus.

1 comments

  1. Wah keren sekali. Endingnya ndak tertebak, ceritanya mengalir dan renyah khas remaja.

    BalasHapus