Buddy
“Masih
nggak yakin aku, Al. Aku sama dia aja baru akrab akhir-akhir ini.” Aku mendengus sambil
memeluk bantal yang ada di dekapanku.
“Udah dicoba dulu, aku sama Eka dulu
juga nggak kenal lama kok,” saran Arial sembari berjalan membawa sepasang gelas
menuju tempat tidurku.
Tangan Arial menjulur memberikan
segelas air berisi susu kental manis. Kuterima gelas itu sembari berkata, “Ya
nggak bisa dipukul rata gitu dong, Al. Nggak semua orang sama kayak Eka-mu itu
kali.”
Genggaman Arial beralih menuju kedua
tanganku yang sedang memegang gelas kaca bening pemberiannya. Ia menggenggamnya
dengan lembut dan berbicara, “Semua bakal jadi gampang kalau kamu berani kok
Za. Selama aku kenal kamu kayaknya kamu nggak sepengecut ini. Pasti kamu bisa,
yakin!”
“Ya kalau pun bisa jadi aku nggak
yakin bisa longlast. Aku sama dia
beda agama, Al. Nggak bakalan bisa awet, terus nanti juga bakalan banyak yang
menggunjing soal aku sama dia.” Pandanganku beralih ke langit-langit kamar, kurasa
aku terlalu dalam memikirkan perkara ini.
“Nggak bakalan ada habisnya kalau
kamu mau mikirin omongan orang, Za. Itu malah bikin kamu pusing, lakuin yang
buat kamu senang aja. Kadang itu lebih baik kita kecewa karena ngelakuin hal
yang salah ketimbang menyesal gara-gara nggak ngelakuin apa yang kita ingin.” Dari tatapannya, kulihat
ia sangat serius memikirkanku. Memang sebuah anugerah aku memiliki teman sebaik
Arial, dalam 16 tahun hidupku baru kali ini aku mendapatkan teman sejenis yang
bisa diajak curhat.
Tatapanku kambali menghadap lagi ke
lingkar wajahnya, semua yang dikatakan olehnya seolah adalah kebenaran. Kami
terdiam beberapa detik, dan setelah akhirnya aku hanya dapat beralibi, “Aku nggak tahu
cara ngungkapin perasaan, Al.”
“Alasanmu nggak masuk akal, Za. Aku
tahu kamu lebih berani dari ini, keburu keduluan orang lain, daripada menyesal
Za. Percaya deh sama aku.” Matanya menatapku tajam.
Perbincangan itu seolah memberikan
semangat dan keberanian padaku. Tiada seorang pun yang dapat memahamiku layaknya dia. Arial Dwi
Pangestu, dia adalah teman sejawatku, kami tinggal di indekos yang sama.
Padahal setauku jarak dari rumahnya menuju sekolah tidak begitu jauh, tak
sampai 10 menit jika ditempuh dengan sepeda motor. Sekarang ia sudah memiliki
seorang kekasih, namanya Eka, sayang sekali aku tidak pernah bisa berkenalan
dengannya, ia juga tak pernah menunjukan padaku gambar wajahnya. Tapi
bagaimanapun aku sangat beruntung dapat bersahabat dekat dengannya.
***
“Hemm, gimana ya? Kayaknya aku butuh
waktu deh, Za,” jawab Brielle setelah mendengar
ungkapan perasaanku. Matanya tak ingin menatap wajahku, aku dan dia tak pernah
secanggung ini sebelumnya.
Perasaanku sangat gugup, tapi aku
tak ingin terlihat seperti itu. Aku ingin menjawabnya layaknya biasa,
“Iya
Nggak apa-apa kok. Jangan kelamaan ya, keburu basi entar,” jawabku sembari
memasang senyum.
“Omonganmu itu yang basi.” Wajahnya beralih menatap
wajahku, senyum simpul nampak keluar dari bibir merah mudanya. “Cara nembakmu
jadul banget sumpah deh, Za. Kita udah akrab lama masa nembaknya masih tegang
gitu,” lanjutnya sambil tertawa ketus.
Aku terdiam mendengar ucapannya, ini jauh dari yang diajari si Arial. Dia
tak henti-henti tersenyum, kalau dilihat ia seperti menahan tawa. Tak tahan
melihatku diam dan tegang untuk waktu yang lama ia berkata lagi, “Yang agak
maksa gitu.”
“Hah, gimana-gimana?” Aku menjawab reflek.
“Biar aku bisa jawab ‘yaudah deh
kalau kamu maksa’ gitu,” jawabnya membingungkan.
“Yang bener ah, Ci, sikon-nya nggak pas buat ngelawak ini,” Emosiku ikut campur setelah mendengar jawabannya.
Ia tertawa sampai terbahak-bahak
lalu berkata, “Tadi bercanda kali, Za. Iya-iya mau kok.” Tangannya usil sambil
menyentil hidungku.
***
Aku berjalan dengan Brielle selepas
itu, menuju ke tempat parkir sekolah. Saat itu aku masih sangat tidak percaya kalau perasaanku dapat diterima
segampang itu olehnya. Pada lorong-lorong kelas sore itu, aku dan dia banyak
berbincang.
“Yang ngajari kamu nembak kayak tadi
gimana siapa sih, Za?” katanya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat
lingkar wajahku.
“Siapa lagi, ya Ariallah. Dia kalau
nembak kayak gitu gampang dan cepat. Padahal aku hafalan itu semaleman loh, Ci.
Malah jawabannya cuma kayak gitu,”
jawabku kesal.
“Oh jadi nggak suka kalau aku jawab
gitu? Maunya ditolak aja dong?” timpalnya iseng.
“Ya nggak gitu, Ci. Oh iya, aku
ngabarin Arial dulu ya.” Kuambil ponsel dari saku celanaku untuk memberi kabar pada
Arial.
Saat aku membuka ponsel dan coba
mengetik pesan pada Arial, Brielle berkata lagi,
“Lagian kamu minta saran ke Arial, dia cewek aja nggak punya.”
Sambil mengetik aku menimpali, “Loh, jangan salah. Dia ada cewek loh namanya Eka.
Tapi entah orang mana.”
“Kamu ngerasa dia aneh nggak sih? Aku
ngerasa dia kalau sama kamu beda banget perlakuannya sama teman yang lain.”
Masih fokus dengan ponsel aku
menjawab singkat, “Ya, kan aku sahabatnya.”
“Betewe, kita kan udah jadian nih. Kalau namamu
tak tulis di bio ig-ku boleh nggak?”
tanyanya aneh.
“Astaga, punya pacar alay amat.
Yaudah lah terserah.”
***
Sesampainya di indekos,
pesan-pesanku belum juga mendapat balasan dari Arial. Justru ia malah
mengunggah cerita berisi tulisan,
“Terkadang membiarkan orang bahagia lebih menenangkan ketimbang memaksakan
kebahagiaan kita yang mungkin akan bisa membuatnya terkekang.” Aku merasa
sedikit aneh, sebelumnya dia tidak pernah membuat status semacam itu, bahkan
untuk pacarnya saja jarang ia ekspos.
Tak lama kemudian ada seseorang yang
membuka kamar indekosku. Arial masuk ke kamarku dan langsung memberi selamat
atas kejadian yang baru saja terjadi beberapa saat lalu.
“Tuh kan bener, kamu aja yang
kebanyakan mikir, Za. Dia aja santai gitu kok,”
responnya setelah mendengar ceritaku.
“Ya kan aku nggak tahu bakal gampang gini, Al.” Aku menyangga.
“Ingat-ingat keakraban kalian berdua
yang udah terjadi kan harusnya dapat dikira-kira.”
Ia menambahkan.
“Yaudah iya. Dia juga nambahin
namaku di bio instagram-nya loh,” kataku
sembari menunjukkan kepada Arial laman instagram Briell yang di sana tertulis ”Erza Kurnia Adiwinata”.
Raut wajah Arial seketika berubah
menjadi jengkel, entah karena apa. Ia tidak merespon, justru berkata, “Kok aku malah mulas, pinjam wc ya, Za.” Ia kemudian meletakkan
ponselnya di tempat tidurku dan pergi menuju wc.
Beberapa saat kemudian, ponsel Arial
mendapat notifikasi. Awalnya kubaca hanya dari grup kelasnya, tetapi aku malah
terfokus pada majalah layar kuncinya yang terdapat tulisan “Bahagiamu nomor
satu. –untuk Eka.”
Ini
bocah bisa bucin juga ternyata.
Karena kepo aku mencoba mencari nama
Eka di aplikasi whatsapp, tapi ternyata tiada. Setelah scroll-scroll cukup lama, aku melihat obrolannya dengan Brielle
lantas membukanya. Tiada yang spesial dari obrolan itu, tapi aku melihat latar
belakang di obrolan itu adalah gambarku
dengannya. Awalnya aku merasa biasa saja, sampai akhirnya aku melihat tulisan kecil
di bawahnya. Di sana tertuliskan ‘EKA’ dengan emotikon hati di sebelahnya.
Boleh aku mengulang waktu? Aku tak ingin berkenalan
dengan orang ini lagi.
Rafino Irhamni, remaja yang lahir di Kudus pada bulan Maret 2003. Laki-laki ini gemar menonton film, hampir setiap minggu ia meluangkan 2-3 jamnya untuk berada di bioskop. Dari film-film yang ditontonnya ia mendapat banyak sudut pandang dan idealisme, kerap kali ia menyampaikan hal itu melalui tulisan-tulisannya. Sekarang masih tercatat sebagai siswa di SMA N 2 Kudus.
1 comments
Wah keren sekali. Endingnya ndak tertebak, ceritanya mengalir dan renyah khas remaja.
BalasHapus