CHANDA: Anak Sejati
![]() |
Foto dari Orion Bima |
Fusako Sano adalah anak perempuan berumur 9 tahun. Ia tinggal di Sanjo, Jepang.
13 November 1990, setelah menonton bisball di sekolahnya, ia diculik oleh
Nobuyuki Sato. Ia dipaksa masuk ke mobil yang tak dikenal. Nobuyuki Sato adalah
pria pengangguran bergangguan mental berumur 28 tahun.
Polisi tak mampu melacak Fusako Sano.
Ia dinyatakan hilang.
Ia disekap di apartemen Nobuyuki Sato di Kashiwazaki.
Ia pasrah dan menyerah. Masa anak-anaknya terputus. Ia tak pernah bersuka ria,
tertawa, berchanda, atau sedikit keluar apartemen untuk melihat dunia. Ia
jarang membasuh badannya, dan tak pernah bermain-main air selayaknya anak kecil
seumurannya. Hari-harinya ia habiskan dengan mendengarkan radio.
Ia diculik selama 9 tahun.
Selama 9 tahun dunia baginya hanya sekotak apartemen,
suara radio, dan ingatan-ingatannya tentang keluarga, kasih sayang, dan
kebermainan.
Ibu Nobuyuki Sato, berusia 73 tahun. Melaporkan
putranya pada tengah Bulan Januari tahun 2000.Ia meminta polisi menggeledah
apartemennya. 28 Januari 2000, apartemen Nobuyuki Sato digeledah.
Hari itu, Fusako Sano yang sudah berusia 19 tahun
berkata kepada para petugas : “Selama
sembilan tahun, aku tidak dapat keluar dari rumah ini. Sekarang, aku dapat
keluar untuk pertama kalinya."
Secara biologis, ia memang berusia 19 tahun. Secara
mental tidak, ia berperilaku seperti anak-anak. Masa anak-anaknya kembali. Kembali,
Tuan! Kembali, Puan!
Selama 9 tahun penculikan, apakah ia memikirkan
suara-suara anak-anak di luar jendela yang bersuka ria? Apakah ia sempat mendengarkan
suara ayah dan ibunya yang menangis melalui radio? Lalu apakah yang menyebabkan
masa anak-anaknya hilang? Tak bisa bermain? Tak bisa berjumpa dengan Ayah, ibu,
saudara, dan teman-teman? Apakah karena ia tak menerima kasih sayang bahkan
dari penculik bergangguan mental itu? Apakah yang ia rindukan sehingga secara
mental di umurnya yang 19 tahun masih berpolah seperti anak-anak? Di mana
anak-anaknya saat ia diuculik? Terbang ke angkasa? Dan akan kembali kalau ia
bebas dan lepas dari penderitaan itu? Ia menderita kah? Ia sedih kah? Ia
menangis kah? Tuan? Puan?
Ini tulisan apa
sih? Kok tegang banget!
***
Saya
ingat peribahasa, “Belajar di waktu kecil
seperti mengukir di atas batu, setelah itu hanya mengukir di atas pasir”. Peribahasa
ini bisa ditafsirkan bahwa sesuatu yang masuk saat kecil, akan lebih bertahan
ketimbang masa setelahnya. Ilmu, moral, motivasi yang masuk ketika kecil, jauh
lebih berharga. Anak-anak hampir tidak punya masa lalu. Ini adalah halaman
pertama dari ratusan lembar kehidupannya.
Saya kira kita sedang dihadapkan dengan masalah
anak-anak yang berulang dan kompleks. Anak-anak pada zaman ini banyak dianggap
meresahkan. Apa yang meresahkan? Anak-anaknya sendiri? Cara mereka
berinteraksi? Cara mereka mengisi masa anak-anaknya? Atau orang-orang yang ada
di sekitarnya? Gizi buruk? Hilangnya ruang imajinasi?
Anak
tak pernah bisa memilih akan dilahirkan di lingkungan yang seperti apa dan
bagaimana. Bahkan fisik yang mereka bawa, bersumber dari orang tua mereka. Ekonomi
pun, tak ada yang tahu. Kita tak pernah bisa memilih. Bahkan apabila Tuhan
menakdirkan saya lahir di pinggir comberan dan rumah bedeng, selayaknya potret
kemiskinan yang ada. Saya tak bisa menghindari itu. Pun jika saya menghindarkan
diri dari keadaan yang "memilukan" itu, saya harus bekerja keras, berusaha
untuk nasib yang lebih baik.
Gedung-gedung
anda tahu? Tak hanya menyapu pasar dan kawasan rumah. Lapangan tempat anak
bermain juga dikorbankan. Ruang raga dihilangkan, apakah ruang imajinasi juga?
Berjalanlah
di desa-desa, jika anda mendapati anak-anak yang sedang bermain bersama tanpa
kemarahan, anda diwajibkan atas dasar sosial untuk berbahagia. Atau anda
mendapati, anak-anak yang bersama, ya bersama! Menenteng gadget sambil
berteriak dan mata terbelalak. Sesekali memaki-maki, mengumpat, kemudian
melihat kanan-kiri sambil berpikir, apakah
orang tuaku mendengarnya?
Di
mana orang tua mereka? Di mana? Sekarang punya anak sangat praktis. Kuncinya
adalah lebur kasih sayang dengan kesibukan-kesibukan. Lebur kehangatan dengan
uang dan kekayaan. Anda tak perlu repot dan terngiang-ngiang masa depan mereka,
moral, dan akhlak mereka. Kuncinya, jangan khawatirkan keberadaanya. Tak perlu
pikirkan apa yang sedang dia lakukan sekarang, bersama siapa mereka, dan apakah
bahaya sudah menjelma kemungkinan-kemungkinan?
Gadget,
lagi-lagi, gadget. Semestinya ini bukan masalah. Gadget adalah konsekuensi
globalisasi. Hendaknya para orang tua yang memberi anaknya gadget, dampingilah
mereka, jangan biarkan apapun dari gadget menghunus pikiran, imajinasi, moral mereka.
Gadget adalah pedang, siapapun anda mesti belajar menggunakan pedang dengan
baik. Jangan biarkan pedang anda membelah tubuh manusia lain, hati manusia
lain. Atau bahkan membunuh diri anda sendiri.
Apakah
anak-anak punya kehendak untuk menahan diri terhadap pedang? Atau sebenarnya,
para orang tua yang memberikan anaknya gadget bukan karena ingin anaknya maju.
Tapi, karena malas mendidik anaknya? Gadget adalah orang tua ketiga. Anak-anak tak
perlu merengek meminta lagu tidur dari orang tuanya. Di gadget ada banyak
pilihan, lullaby. Pun jika meminta suara orang tua, lebih baik dipraktikan
sekali, sambil direkam, sehingga esok malam bisa diputar rekaman itu. iqiqiqiq
Dongeng
pun, anak-anak sangat senang dongeng. Mereka punya kecenderungan untuk
mendengarkan dongeng dari orang yang paling ia sayangi. Mereka akan merasa
teduh, hangat, mimpinya kau tahu? Buktikan dari bagaimana ia bangun tidur
kemudian bersemangat untuk sekolah.
Ini tulisan apa sih? Kok bacanya bingung
banget!
***
Anak-anak adalah wujud kejujuran. Mereka bertanya,
dan pertanyaan mereka kadangkali menganggu pikiran manusia lain yang lebih
dewasa. Mereka tidak peduli, apakah karena mereka bertanya derajat intelektual
mereka berkurang. Mereka tak punya embel-embel apa pun. Mereka tak terjun dalam
dunia politik. Mereka belum punya paham atau dogma-dogma tertentu. Mereka bukan
kiri sekaligus bukan kanan. Mereka berada di atas angin.
Selain
pertanyaan, perlu kita sadari anak-anak juga sangat dekat dengan imajinasi.
Imajinasi adalah pengandaian, imajinasi adalah dasar dari lahirnya ide baru,
anak-anak bisa sangat fresh berimajinasi karena mereka tidak terkungkung oleh
realitas yang saling tumpang tindih.
Mengapa
imajinasi dan pertanyaan terkesan amat penting? Saya kira kita tahu, bahwa
ilmuwan, filsuf, dan semua cendekiawan tidak berangkat dari jawaban. Mereka
berangkat untuk berproses melalui pertanyaan, melalui imajinasi.
Socrates
itu, setiap hari kerjaannya adalah berkeliling ke pasar bersama murid-muridnya,
bertanya dengan para pedagang, dan orang-orang yang ditemuinya. Ia adalah bapak
filsuf! Ia bertanya, dan pertanyaanya membuat orang berpikir. Orang yang
terlalu sibuk dengan kenyamanan, akan cenderug mengutuk Socrates. Seperti
sebagian besar warga Athena yang menjatuhinya hukuman mati melalui peradilan.
Socrates
tidak pernah berhenti dengan satu jawaban. Ia akan terus bertanya dan menggali
ilmu sampai ke intisarinya, bahkan sebelum inti, kadang orang-orang sudah
kewalahan menjawab pertanyaanya. Socrates adalah anak-anak yang dewasa, anak
bijak Athena yang mendedikasikan hidupnya untuk imajinasi, ruang berpikir, dan
moral. Baginya, pengetahuan tidak berarti apa-apa jika tidak terwujud dalam
kebijaksanaan.
Lalu
pertanyaannya, apakah anak-anak sekarang masih punya pertanyaan dan imajinasi
yang liar? Yang tidak terkungkung oleh apapun, bahkan oleh pengetahuannya
sendiri? Di mana pertanyaan-pertanyaan itu? Berkurang kah? Hilang kah? Musnah
kah? Dimusnahkan kah?
Orang
yang berhenti bertanya, bisa jadi orang yang memang tahu, dan cerdas betul,
sehingga lebih baik orang menanyainya. Atau orang ini sok tahu, pemalas dan
mencintai kemalasannya?
Jika
anak-anak di sekitar kita lebih banyak berhenti bertanya, apa penyebabnya?
Apakah pertanyaannya tidak ada atau yang ditanyai tidak ada?
Barangkali
guru, yang diberi tanggung jawab mendidik dari orang tua juga perlu
dipertanyakan. Seberapa jauh seorang guru berhasil meluaskan pikiran anak?
Tugas guru menjejali pikiran atau membuka pikiran? Guru berbicara untuk
didengar dan diterima-atau guru berbicara untuk didengar dan dipikirkan? Urusan
terima atau tidak bisa tergantung rasionalitas pengetahuan si pemikir. Jangan
salah, imajinasi punya rasionalitas dan dunianya sendiri.
Ternyata,
guru tidak hanya dibebani oleh orang tua. Guru juga dibebani oleh sistem dan
akal sehatnya (untuk ini saya rasa kita semua).
Sistem pendidikan Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Mulai dari
masalah penyeragaman, bahwa di kelas ada pohon mangga, rambutan, kelapa, dan
sawo. Tapi semua diseragamkan menjadi sawo. Bagaiamana cara kelapa, mangga, dan
rambutan berkembang jika sistemnya berpihak pada sawo?
"Gajah mengamuk di pemukiman warga karena
hutan dimusnahkan. Gajah disekolahkan. Kemudian Gajah mau menjadi budak dari manusia. Gajah difungsikan menjadi
tunggangan, tontonan wisata, dll.”
Setelah beberapa kali kalah perang, dan lumbung padi
di pesisir pantai selatan dibakar Belanda. Sultan Agung Mataram membangkitkan
Mataram dengan mendidik anak-anak melalui budaya jawa. Padepokan Ki Jejer yang
tak aktif lagi, dibangkitkan, dan Sultan Agung turung langsung untuk menjadi
guru. Sultan Agung percaya anak-anak dan kebudayaan adalah awal dari kejayaan
Nusantara.
Pertanyaannya : Seberapa mesra kini, kebudayaan nusantara dan anak-anak berpacaran?
+ : Sultan Agung Mataram
itu siapa? Kok asing banget?
- : Aku lebih kenal hulk,
superman, batman!
? : Gathutkaca? Gadjah
Mada? Kamu udah tahu belum?
***
Yo 'pra kanca dolanan ing
jaba
padhang wulan padhange kaya
rina
Rembulane e sing awe-awe
ngelingake aja padha turu
sore
Yo 'pra kanca dolanan ing
jaba
rame-rame kene akeh kancane
Langite pancen sumebyar
rina
yo padha dolanan sinambi cangkriman
Salah satu tembang Jawa ini mengajak kita untuk
bermain bersama. Ing jaba (di luar) bisa diartikan kebebasan, ruang lepas,
ruang yang tak mengenal gravitasi. Padhang
bulan (Terang bulan) adalah perlindungan dan kasih sayang. Kaya rina (seperti pagi) bisa semangat,
harapan, sesuatu yang utuh. Aja padha
turu sore (jangan tidur sore), mungkin bagian dari larangan agama Islam.
Mengapa anak-anak kehilangan lagu-lagunya, kapan
terakhir ada lagu anak dinyanyikan dengan gembira? Lagu balonku ada lima, dan
sejenisnya sekalipun, tak lagi jadi akar di suara anak-anak itu. Lalu, mengapa
menjamur lagu-lagu yang meracuni? Seberapa kuat anak-anak mengingat lagu-lagu
racun itu di masa kecilnya?
Saya bersyukur, ada lagu “hey Tayo!”
***
Sek, sik,
sebentar, malah nglebar tekan ndi-ndi!
Jadi, saya mau
ngomongke Chanda. Iya Chanda. Yuhuuuuuuu
Beberapa hari lalu, Chanda datang ke rumahku, rumah
belakang kebun, belakang rimbun rambut kepalaku. Dibelalakkannya dua batu besar
yang memperhatikan cahaya di sekitar. Anak-anak menangis, bermain, dan
anak-anak menjadi apa, dan siapa, tanpa kehendak di luarnya, kehendak bebas
yang liar.
Seperti
padi, yang merunduk sebab dirinya sendiri. Padi tidak pernah berpura-pura
merunduk untuk menghormati tumbuhan lain. Tidak seperti orang dewasa di depan
para kapitalis.
Hari itu, kepalaku, taman bermain bagi siapa yang
membuka dirinya pada imajinasi, pada pengandaian dan harapan. Di kepalaku,
meski sering terjadi perang. Hari itu, padam, minimal para prajurit di kepalaku
berperang dengan senjata mainan. Tak ada darah atau tangisan, yang ada hanya
gurauan dan senyuman. Prajurit di kepalaku, yang bertugas memerangi ketidak
tahuan, mendadak layu, semua prajurit mengingat masa kecilnya, yang tak habis
juga dibuang. Buangan-buangan itu, tak
semestinya dibilang buangan. Buangan adalah butuh angan-angan. Orang yang punya
buangan, butuh harapan.
Chanda bermain-main di kepalaku, sesekali memberi
ledakan-ledakan kecil yang asyik dan meneduhkan, seperti pesta kembang api,
yang selalu mencuri perhatian anak-anak. Chanda tidak banyak bicara seperti
para ahli retorika atau juru bicara paslon-paslon itu. Chanda lebih suka
bermain, tapi permainan Chanda tidak bisa dianggap main-main. Chanda bahkan
membunuh apa yang paling disayangi, untuk kechandaan yang lebih Chanda. Chanda
memang sepatutnya menjadi Chanda, sudahkah?
Chanda, seperti yang kita tahu, adalah bumbu hidup.
Chanda tak bertempat, ruang dan waktu disingkap melalui Chanda, dan waktu
mendadak lunglai dan lupa dengan dirinya. Chanda mencari asal-usul agar tahu ke
mana ia harus melaju. Chanda terlalu tinggi bila hanya dijadikan tafsir yang
berhenti di kepala. Maka dari itu, saya menulisnya.
Chanda tak pernah selesai. Tak mungkin selesai.
Chanda harus selalu ada, di ruang-ruang diskusi Chanda dibutuhkan. Di
perdebatan antar politikus Chanda harus hadir, meski kehadirannya hanya akan
dienyahkan atas dasar kemarahan. Chanda kasih sayang yang terelakkan. Semua
manusia melakukannya, sadar atau tidak.
Chanda bukan panti asuhan tempat anak-anak dirawat
setelah sekarat dari kasih sayang, tapi anak-anak penuh di sana. Anak-anak di
Chanda jarang ditemukan sekaligus banyak ditemukan. Realitas yang dibangun
dalam Chanda beriringan dengan imajinasi, mengadirkan sesuatu yang memilukan
sekaligus membahagiakan. Kita disadarkan untuk kesadaran yang lebih besar.
Bahwa anak-anak yang sederhana punya sisi gelap yang amat tidak sederhana.
Tidak sebatas tangisan anak saat mendapat pr matematika.
Chanda berisi permainan-permainan, tapi ia bukan
gadget, bukan toko permainan, atau gudang. Bukan, permainan yang ada barangkali
sudah menjadi warisan, dan bukan tanah yang menggoda untuk diwarisi. Anak-anak
sudah tak tertarik dengan itu. Warisan permainan yang dibawa, memberikan rasa
kebersamaan dan menambah kehangatan bermanusia, kehangatan berchanda!
Jamuran, petak umpet, dakon, gasing, gedrig,
kelereng, bentengan, lompat tali, tekongan. Semua permainan itu ada, dan yang
belum saya sebutkan juga ada, tapi di mana?
Chanda berisi problematika sosial, tapi ia bukan data
para lembaga, surat kabar, atau tragedi. Chanda menyenangkan dan membawa isu
sosial dengan berchanda, yakin! Serius
deh Om! (bayangkan anak yang ngomong)
Chanda hadir tanpa permisi. Ia tiba-tiba mengetuk ulu
hati dengan gemulai dan kita merebahkan diri mempersilakannya masuk santun.
Chanda membersihkan ruang-ruang tersembunyi yang bahkan tak kita sadari kita
punya.
Ingatan-ingatan, pun dibangunkan tanpa teriakan.
Seorang ibu membelai rambut anaknya, mendekatkan suaranya, anakku, bangun, tak kau ciumkah bau sarapanmu ini? ayam goreng
kesukaanmu. Saya adalah anak-anak, dan Chanda adalah Ibu, pada hari itu.
Chanda mau tidak mau harus kita akui, di tas
selempangnya, atau di dalam tubuhnya, membawa banyak luka yang telah
dikumpulkan dari penjuru kepala manusia. Chanda membawa keresahan yang baru
disadari keberadaanya, gadget, individualitas, sensitivitas, ruang kebermainan,
ruang imajinasi, jalan pulang, pertemanan, apalagi?
Semua sudah berubah jadi pasar, orang-orang
memperdagangkan apa yang bisa dijual, bukan apa yang pantas dijual. Pun orang
lebih butuh membeli, ketimbang memakainya. Lebih butuh memakinya. Pasar-pasar
lebih mengandung bahaya bagi anak-anak, wanita, dan orang lemah. Pasar-pasar
seharusnya lebih berbahaya untuk dunia, ekonomi lah apa yang me-re-pot-kan itu.
Aku bilang begini, karena masih terbawa efek Chandasyndrome. Berusaha sederhana selayaknya anak-anak.
Kuburan? Ya! Mari kita bangunkan arwah yang
memanggil-manggil itu. Tidak ada tempat yang lebih berchanda ketimbang kuburan.
Pahlawan yang bersemayam, sudah lama menunggu. Anak-anak berteriak memanggil
nama-nama mereka, dan bunga-bunga bangun. Nama anak-anak tidak hanya mengandung
kata, tapi juga sejarah. Sejarah aku dari mana, siapa aku, siapa leluhurku, apa
aku?
Chanda, Chanda, Kau kakek tua yang sangat kuhormati,
dan anak-anak yang sangat aku sayangi. Di belakangmu Kuncup Mekar. Kuncup Mekar
bagiku, adalah sekaligus kuncup sekaligus mekar. Seperti Semar, sedih sekaligus
bahagia, tua sekaligus anak-anak, berdiri sekaligus duduk. Alam semesta, yang
pagi sekaligus siang, yang membangunkan sekaligus menidurkan.
Kuncup Mekar mengantarkanmu, Chanda. Alam semesta
restu, juga Kudus yang lugu, semoga bergembira.
Kesimpulan yang tak terelakkan bahwa catatan
urak-arik ini terinspirasi darimu, Chanda. Masih bisa dipertanyakan atau
didiskusikan oleh siapapun yang telah ditelanjangi Chanda,
diserpih-serpihkanmu, Chanda.
NB: Chanda adalah pentas teater oleh Teater
Kuncup Mekar yang pada Bulan Desember ini, melakukan roadshow di tiga kota
(Semarang-Jogja-Solo).
Kudus,
25 Februari 2019
Tiyo Ardianto, lahir di Kudus, 26 April 2003. Menulis puisi, esai, dan naskah teater.
Peserta Pertemuan Penyair Nusantara IX 2019 Kudus. Dikenal sebagai pemuda yang
aktif dalam kegiatan seni, sastra, dan budaya. Surel: tiyoardianto123@gmail.com
1 comments
Saya harap Tajug adalah museum di masa depan, tempat yg nyaman untuk dikunjungi karena jejak jejak masa lalu, agar masa sekarang tidak durhaka!
BalasHapusTulisan ini tulus sekali, seperti halnya Teater Kuncup Mekar yg ingin menyampaikan kembali tentang Reconect Relationship.
Selamat atas tulisanmu Tiyo,
Selamat datang di Tajug.