Jomlo
Sebenarnya nama
aslinya Rengga, tapi itu terlalu bagus. Teman-temannya lebih senang
memanggilnya Gareng; Garenggaenggarengga. Ya, apa boleh buat, sampai dia lulus SMA pun nama Gareng
masih melekat, kuat, kayak dilem pakai alteco, jadi susah lepas.
“Reng, kamu tuh harus
mulai memperhatikan penampilan.” Lagi-lagi Aldi memberikan usul. Mereka sedang makan bakso di kantin kampus.
Seperti biasa, Gareng yang bayarin Aldi. Ini salah satu alasan Aldi masih mau temenan sama Gareng. Bagi Aldi ini bukan memanfaatkan, tapi semacam simbiosis mutualisme, Aldi sering dapat traktiran, Gareng punya temen.
“Memangnya ada
yang salah dengan penampilanku selama ini?” Gareng menaikkan dagunya.
“Kamu punya
cermin nggak di rumah?” Sudah berkali-kali Aldi usul agar Gareng berubah. Hmm, Aldi sebenarnya juga malu kalau punya teman yang penampilannya bikin mata sakit.
“Nggak punya.
Tapi aku bisa pinjem jidatnya bapak buat ngaca, sih.”
“Dasar. Dikutuk
jadi kelereng baru tahu rasa kamu. Dari aku kenal kamu pas SMA sampai kuliah ini, gaya
kamu itu-itu aja; rambut klimis belah pinggir, kemeja kotak-kotak kombor, celana
bahan kombor. Pantas aja nggak ada cewek yang mau terima, setiap kali kamu nembak.”
“Baju bekas bapak masih bagus. Sayang kalau dibuang.”
“Gile,” Aldi
terperanjat sampai keselek bakso yang sedang dikunyahnya. Dia terbatuk-batuk. Diraihnya segelas es teh manis dan diteguknya sampai habis. “jadi selama ini yang kamu pakai baju bapakmu semua?”
Gareng
mengangguk, “Masih bagus ini.” Dia berdiri, kemudian berputar seperti balerina, menunjukkan baju kotak-kotak warna merah yang sudah memudar.
“Lihat noh si
Vano, fashionable banget. Cewek-cewek pada nemplok kaya lalat.” Aldi menunjuk ke arah Vano, mahasiswa paling populer di kampus. Pantas saja sih, dia ini sudah ganteng, fashionable, followers instagramnya sudah 230k.
Vano hanya lewat saja. Cewek-cewek pun mengikutinya.
“Dia kotoran
dong, dihinggapi lalat.” Gareng memperlihatkan muka polosnya. Aldi yang lihat itu muka, rasanya ingin nabok.
“Kampret.” Aldi
berusaha menahan amarahnya, “Awas aja kalau orangnya denger, mampus kita
dikoyak-koyak fannya Vano.”
“Santai, fanku bakal belain. Jadi bakal ada perang dunia ke tiga.” Gareng ngakak
memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Bau sampah keluar dari mulutnya.
Aldi mengernyit
dan berhenti bernapas sampai tuh anak mingkem. Dia nggak mau mati konyol karena
keracunan bau busuk tersebut.
“Terus apa yang
harus aku lakuin?”
“Pergi aja ke
ketok magic Pak Jupri. Siapa tahu muka kamu bisa diperbaiki.”
Gareng manggut-manggut,
“Kok aku baru tahu ya, kalau Pak Jupri bisa memperbaiki muka juga. Aku kira cuma
bisa mobil.”
Aldi berdiri.
Rasanya dia pengin lempar gerobak bakso ke Gareng.
***
“Yakin naik
motor kamu?” Aldi memastikan.
“Lha mau naik
apa? Kalau naik gunung capek, aku nggak kuat.”
Aldi mendelik
pengin nyakar muka sohibnya itu.
Mereka akan ke mall
beli baju buat Gareng. “Sekali-kali beli baju yang branded, dong. Branded
itu berbanding lurus dengan penampilan.” Setidaknya ini pendapat pribadi Aldi.
Sampai di mall,
Gareng nurut saja ke mana Aldi pergi. Dari satu outlet ke outlet
lain. Sebenarnya Aldi terpaksa dan agak malu temenan sama Gareng, alesannya cuma
satu, Aldi sering banget dijajanin Gareng, rugi dong kalau dilepasin. Aset
berharga, tuh. Katrok-katrok gitu sebenarnya dia cukup kaya. Bapaknya punya usaha rosok yang sudah besar. Cuma memang keluargnya terkenal hidup minimalis.
Aldi menjelma
Ivan Gunawan, ribet banget mencocokkan baju dan celana buat Gareng. Gareng sih
nurut saja. Dia pasrah dengan apa yang dipilihkan Aldi buatnya. Mungkin kalau
Aldi nyuruh Gareng pakai bikini, dia nurut saja.
“Sip cocok,
nih. Kemeja polos berwarna baby blue, celana chinos warna abu dan sepatu
derby warna cokelat.” Aldi merapikan kemeja yang dicoba Gareng. "Udah sana bayar dulu.”
Keduanya menuju
ke meja kasir. Setelah dihitung, mata Gareng terbelalak saat menerima tagihan
yang hampir menyentuh angka satu juta.
“Mbak nggak
salah hitung?”
“Nggak, kok.
Saya matematiknya dapat nilai bagus dulu.”
“Masak? Coba
tebak deh, dua dikurang satu berapa?”
“Satu. Ini anak PAUD aja tahulah.”
“Salah, Mbak.
Dua dikurang satu itu bisa sepuluh, atau duapuluh, tergantung Allah ngasihnya
berapa.”
“Lha kok gitu?”
“Karena jika kita
memberi, Allah bakal ngembaliin berkali lipat buat kita.”
Aldi di
belakang terlonjak. Rasanya dia mau salto, nggak nyangka temannya ini bisa
ngegombal syariah gini.
“Terus
hubungannya sama ini belanjaan apa?!” Mbak-mbaknya memastikan dengan nada agak
ditinggikan. “Masnya udah bikin antrian kayak kaki seribu.”
“Udah bayar aja,
Reng. Emang segitu harganya.”
Dengan terpaksa
Gareng mengambil sepuluh lembar seratus ribuan dari dompetnya. Nah kan, aslinya tajir.
***
“Eh, emang ada
cewek yang sedang kamu taksir? Kayaknya dari dulu aku nyuruh kamu berubah nggak
mau. Baru sekarang ini bersemangat.”
Gareng
senyum-senyum sendiri persis kaya orang gila.
“Siapa? Anak
kampus kita? Kampret, kamu nggak pernah cerita.”
“Kenal di facebook.
Cantik banget.” Gareng pun menunjukkan HP-nya.
Mata Aldi
terbelalak melihat foto cewek di foto profil yang ditunjukkan Gareng. “Sialan.
Ini istri kakakku, mau kamu deketin? Awas, aku sumpahin jomlo seumur
hidup.”
Reyhan M Abdurrohman, novel terbarunya "Chiang Mai". Redaktur tajug[dot]net.
0 comments