Kroyan

Syafi Rilla S. Maghfuroh




Ketika puncak kebosanan sudah mencapai ubun-ubun. Yang ada hanyalah keinginan untuk kabur. Menghindar walau hanya sesaat rutinitas yang menjemukan. Menghela suasana baru menyerap hawa kebebasan. Sungguh jika mungkin aku masih bertahan dalam keadaan seperti ini dalam kurun waktu satu jam aku pasti sudah sinting dadakan.

Bel pulang sekolah belum berdentang, namun pelajaran sudah kuakhiri tepat lima belas menit sebelum jam kepulangan normal. Anak-anak tidak protes, malahan mereka senang. Perkakas dan buku segera mereka masukkan dalam ransel besar bawaan masing-masing. Kursi-kursi segera diletakkan di atas meja dengan posisi terbalik. Dan menjalankan jadwal sakral bernama piket sebelum pulang. Sementara yang bukan gilirannya segera berhamburan menuju gerbang, setelah bersama-sama menundukkan kepala dan berdoa, kemudian berebut tangan kananku dan mencium punggungnya. 

Kuucap syukur, setidaknya rasa takzim itu masih melekat pada naluri anak-anak melenial masa kini. Kemudian mereka pergi meninggalkan kelas. Aku melangkah pelan membelah lapangan basket, menyisir deretan laboratorium biologi, kimia, dan fisika, juga deretan kelas sebelah utara yang dingin dan lengang seperti hatiku saat ini.

Dengan langkah gontai wajahku mendongak ke arah tatap tegap, senja mengintip dari balik dedaunan pohon beringin tanpa akar yang menaungi area pos satpam dengan rindang. Diam–diam sekelebat rencana manis memenuhi pikiranku: kulemparkan tubuh ini ke pulau kapuk nan nyaman, kemudian tidur nyenyak dan menghabiskan sepanjang malam, cara ampuh yang dapat menghilangkan stress soal kerjaan. Begitulah suasana hatiku yang semakin kesepian semenjak ditinggal jaman. Ya, satu persatu teman sebayaku telah melangkah lebih dulu untuk lekas melepas lajang dan naik kepelaminan. Rasanya segera ingin pulang untuk tidur.

Langkahku terhenti. Kerumunan siswa dengan sepeda motornya telah menyesaki pintu gerbang. Dengan mesin yang dimatikan. Dahiku mengernyit, mengira-ngira ada apakah gerangan.

"Ada apa ndhuk?" tanyaku pada salah satu siswa yang telah mengamati gerbang lebih dulu dariku.

"Gerbang belum dibuka Bu."

Oh ya. Memang belum saatnya pulang. Bel pun belum dibunyikan. Memang satpam bernama Pak Norman sangat disiplin dalam peraturan. Kalau belum jam pulang, pintu tidak akan dibukakan.

Itu bukan salahku yang seakan memaksa anak-anak berjejal di area satpam. Sebab sebelum pelajaran di kelasku selesai, Pak Basuki yang mengajar di sebelah kelasku sudah terlebih dahulu meninggalkan kelas dan pulang. Aku bukan orang pertama yang memulangkan siswa lebih awal.

Tiba-tiba putusan itu datang. Aku berbelok ke selatan. Ada secercah harapan untuk menunggu lima belas menit sebelum pintu gerbang dibuka lebar-lebar. Perpustakaan masih buka. Kalau saja petugasnya sudah siap-siap pulang, toh belum bisa keluar dari area sekolah.

Gagang steenlis yang bertengger di pintu kaca kutarik pelan. Suasana tenang yang disuguhkan seketika menyeruak menyambut kedatangan pengunjungnya.

"Bu Hany, saya mampir sebentar. Menunggu gerbang dibukakan," sapaku kepada penjaga perpustakaan seraya melangkahkan kaki mengayun masuk ruangan. AC dan lampu terlihat sudah dimatikan.

"Oh iya Bu Ratih. Silakan," jawabnya renyah.

Di sofa perpustakaan, Bu Desika terduduk menekuri koran harian. Sepertinya tengah membaca berita penting ter-anyar.

"Bu Desika belum mau pulang?" tanyaku penasaran.

"Belum Bu."

Sesaat berikutnya keluar dari dalam toilet perpustakaan seorang guru perempuan. Bu Hasna berjalan mendekatiaku dan Bu Desika yang duduk di sofa.

"Loh, Bu Ratih.

Wajahnya kaget sepertinya kalimat itu akan dilanjutkan dengan pertanyaan mengapa tiba-tiba aku mampir ke tempat itu sebelum pulang.

"Iya Bu, mampir sebentar boleh kan? Mau pulang juga masih kesal,” jawabku.

"Kenapa Bu?” Bu Hasna mengambil duduk di sampingku.

"Entahlah. Mungkin ini salahku. Ya ini kesalahanku sebelum masuk kelas, aku sudah berpikiran bahwa anak-anak di dalamnya menjengkelkan. Oh, ternyata benar. Suasana kelas sungguh tidak kondisif dan susah sekali dikondisikan. Pokoknya semrawut hari ini," jelasku penuh emosi.

Bu Desika menutup koran yang masih ia pegang lalu menoleh ke arahku. "Kelas mana Bu?"

"Samping green house. Depan lab kimia," tukasku.

"Wah sama kalau begitu Bu. Saya juga mengalami hal yang sama. Bahkan seakan-akan saya tidak dihargai sama sekali,” keluhnya.

"Ya Bu. Saya merasakan hal itu. Dalam batin, ini anak-anak yang membutuhkan guru atau justru guru yang membutuhkan anak-anak. Seakan paradigma pendidikan dijungkirbalikkan," lanjutku.

Bu Hasna melongo seakan tidak percaya. "Benarkah begitu Bu?"

"Iya. Saya mikir mungkin hanya waktu saya mengajar. Ternyata Bu Desika juga mengalami hal yang sama."

"Hmm, Bu Ratih setelah ini aktivitasnya apa?" tanya Bu Hasna memecah ketegangan di antara aku dan Bu Desika yang saling lempar aduan.

"Ya pulang Bu. Istirahat. Sungguh ingin kabur rasanya setelah mengajar di kelas itu," jawabku spontan.

"Tidak ingin nongki dulu gitu?"

Pertanyaan sekaligus usulan yang terdengar nyaring seperti dawai biola yang dimainkan seorang profesional. Kutoleh Bu Desika juga tersenyum riang dengan wajah harap aku ikut serta. Bisa jadi salah satu obat stres selain tidur.

"Boleh.”

"Yaudah yuk ke 'Dengan Teman'."

***

Sebuah cafe baru di pinggir pusat kota, di dekat rel kereta api jalanku berangkat dan pulang dari sekolahan. Terkesan mewah, mahal, dan kekinian hingga rasanya aku yang jadul ini tidak pantas masuk ke dalamnya. Terlebih nama cafe yang terpampang jelas dari jarak jauh, bagiku seakan menyindir secara halus bahwa aku selain tidak punya uang juga tidak berteman. Tapi pikiran seperti itu, bisa kutepis saat itu juga. Dengan rasa bangga, memarkir motor di depannya dan membuka pintu kaca.

Kami bertiga menuju tempat pemesanan. Seorang wanita belia berdiri di balik meja kerjanya. Bu Hasna memilih Matcha, Bu Desika Red Velvet sementara aku masih kikuk dengan semua menu yang tertera di kertas yang dilaminating.

"Bu Ratih?"

"Hmm, Apa ya?"

Sungguh memang aku yang ndeso ini tidak akrab dengan minuman ala cafe seperti itu.

"Kroyan. Apa itu Kro-yan?" kueja pelan dan kuabaikan perasaan Bu Hasna dan Bu Desika yang mungkin malu dan menyesal telah mengajakku.

"Vanila dicampur kopi, Kak.” Perempuan berambut panjang nan lurus dicat warna pirang menjelaskan.

"Wah pahit dong," sontak kuucapkan.

"Tapi ada vanilanya kok. Hmm, tapi kalo mau yang manis bisa pilih Red Velvet, Taro, atau Matcha." Bu Hasna memberi saran.

Ah, nggak asik kalau samaanbatinku.

"Hmm, yaudah aku cobain Kroyan saja. Pahit. Sepahit ceritaku hari ini," tukasku.

Hussttt, bisa saja,” ucap Bu Hasna lirih.

"Baiklah. Saya bacakan dulu ya Kak.” Suaranya dijeda helaan nafas pendek. “Red velvet satu, matcha satu, kroyan satu. Ditunggu ya Kak.”

Ucapan itu seakan memberikan isyarat bahwa kami harus duduk tenang di kursi-kursi yang disediakan untuk menunggu pesanan datang. Kami mengambil tempat duduk di samping meja kasir. Alih-alih sibuk dengan ponsel masing-masing, Bu Hasna justru mengambil kotak di rak depan kasir. Kemudian disuguhkan di atas meja kami.

"Ayo main."

Ternyata beberapa set permainan berupa uno kartu dan staco di dalamnya. Seketika suasana semakin ceria, mungkin terbawa suasana remaja yang damai tanpa adanya gangguan dunia maya. Ya, di cafe "Dengan Teman" ini, telah berhasil menghipnotis pengunjungnya menikmati kebersamaan dengan teman. Bukan dengan pacar, dengan mantan, atau dengan gebetan. Waktu itu, suasana sepi senyap. Listrik padam. Musik mati. Lampu, bahkan mesin pengaduk kopi tidak berfungsi. Roti yang terpajang rapi di etalase juga tidak bisa hangat terpanggang. 

Namun pada akhirnya kami asik dan terhanyut dalan permainan uno kartu. Tiga orang dengan pemenang bergantian. Aneh memang. Hingga kemudian teriakan itu muncul.

"Pesanan telah siap. Selamat menikmati." Pelayan berkalung emas liontin abjad huruf A kapital datang membawa pesanan kami.

Kami meneguk minuman dingin yang kami pesan. Warna hijau, merah, dan cokelat gelap menghiasi meja kami di antara kartu uno yang terserak.

"Enak Kroyan-nya?" tanya Bu Hasna.

"Pahit. Mau coba?”

"Boleh." Bu Hasna mencabut sedotan dan menancapkannya di gelasku.

"Iya pahit. Tapi enak kok. Bu Ratih mungkin pengin coba Matcha yang manis?" Seraya menyodorkan gelasnya dengan cairan berwarna hijau terang dengan busa dan sedikit es batu di dalamnya.

Aku tidak segan menerima gelasnya. "Bahkan saya juga ingin mencicipi Red velvet Bu Desika," kelakarku sambil tertawa.

"Uhuuii, silakan." Bu Desika menggeser minumnya.

Walhasil tiga jenis minuman kami coba satu sama lain. Dengan simpulan: Kroyan yang pahit, Matcha setengah manis, dan Red velvet paling manis di antara ketiganya.

Kami terhasut oleh kartu uno yang masih ada di tangan. Berhasrat untuk melanjutkan permainan dan berakhir dengan sebuah kemenangan. 

Sayang, senja telah semakin menua. Cahaya yang melewati dinding cafe yang terbuat dari kaca berpendar, membuat suasana seakan gemerlap terang lampu pijar pesaing lampu-lampu kristal yang menggantung antik. Desain interior yang menarik.

"Hei, akhirnya aku menang lagi!" teriakku pada proses permainan keempat kalinya.

Sementara Bu Hasna dan Bu Desika tidak goyah sedikit pun. Mereka masih konsentrasi mencari strategi pemenang keduanya.

Kroyan yang pahit mengalir ditenggorokan. Mungkin jika tidak di kafe ini, minuman aneh ini tidak pernah aku pesan, setelah tahu sepahit ini akan kutinggalkan. Kalau di sini kan sayang, mahal masa dibuang? Lagipula justru akan memberi kesan aku seorang yang katrok. Hehe. 

Hingga habis tanpa sisa kroyan digelasku. Hanya bongkahan es batu tang masih beku enggan mencair di dasar gelas bening itu.

"Hai teman-teman, maaf aku harus pulang duluan."

"Yah. Payah. Yasudah kapan-kapan main lagi ya," pinta Bu Hasna.

"Pasti. Pokoknya kasih tahu sebelumnya. Kalo tidak ada kepentingan lain, aku pasti turut serta,” jawabku yang beranjak.

"Wah ternyata Bu Ratih mau ta. Padahal kemarin aku dan Bu Hasna sudah ke sini dan bingung, mau ajak ibu sungkan. Hehe," tambah Bu Desika.

Kuraih totebag yang teronggok di punggung kursi. Gambaran rencana aktivitas rumah telah tersusun rapi. Mandi, makan malam, rehat sebentar dan tidur nyenyak. Besok pagi kembali fresh dengan tubuh bugar.

Jam dinding berdentang duabelas kali. Pertanda tepat tengah malam. Hingga jarum pendek mengayun ke angka satu dan jarum panjang melangkah ke angka enam. Ini sudah pagi. Tapi mataku tak bisa terpejam. Rasa kantuk yang senantiasa menyelinap di dalan hawa kamar, terhampar di atas kasur nyaman sirna seketika. Apa yang terjadi pada diriku malam ini? Sepanjang hari yang kulakukan sama saja, sewajarnya. Oh ya, apakah patut aku menyalahkan Kroyan? 


***

Pukul 1:35
Temaram lampu kamar dan kokok ayam jantan mulai bersahutan, mataku belum mampu terpejam.



Syafi Rilla S. MaghfurohKini berdomisili di Kota Blitar. Aktivitas sehari-hari dari pagi hingga sore hari, mengajar di sekolah formal. Suka menulis fiksi Jawa dan Indonesia. Tulisan berbahasa Jawa-nya telah dimuat di majalah Jaya Baya, PanjebarSemangat, Swaratama dan koran harian Solopos.

1 comments