Long Weekend Akhir Tahun

Jimat Kalimasadha

esai tentang liburan tajug


“Ada banyak cara mengisi weekend, tapi cara terbaik mengisi weekend adalah bertemu dan berkumpul bersama anak, cucu, dan keponakan,” kata seorang teman. 

Saya mengamini ucapannya. Dalam banyak hal, keluarga memang seperti cokelat, manis dalam setiap gigitan. Tapi, tetap saja ada pahitnya. Dan sering kali, weekend bersama keluarga adalah happy end yang menyenangkan.

Saya adalah salah seorang yang menyukai liburan sederhana bersama anak-anak dan keponakan. Bepergian bersama mereka ini, memang sangat melelahkan. Ada-ada saja ulah mereka. Ada yang tertawa, ada yang menangis, ada yang minta gendong, ada yang takut melihat ulat; ada-ada saja untuk mengekspresikan perasaan dan caranya mencari perhatian. Tetapi saya merasa gembira. Saat-saat terbaik mengenali karakter mereka adalah membawanya ke sebuah tempat terbuka, melepas mereka dengan sejumlah permainan dan tantangan.

Sesekali saja, cobalah pergi liburan ke sebuah tempat yang terdapat banyak wahana permainannya seperti flying fox, roller coaster, tornado, atau pergilah ke kebun binatang. Jika tidak ke sana, cobalah ajaklah mereka ke hutan, camping, atau outbound. Dengan segera kita akan merasakan keakraban dan mengenal sifat dasar mereka, spontanitas mereka, perbedaan-perbedaan, dan emosi-emosi mereka yang terpendam.

Anak-anak adalah bunga-bunga yang berbeda-beda.

Dari sana kita akan menyadari bahwa keluarga dan cinta harus dipupuk seperti taman. Waktu, usaha, dan imajinasi harus diinvestasikan agar keakraban dapat tumbuh dan berkembang, begitulah kata seorang motivator kelahiran Washington, Amerika, bernama Jim Rohn.

Keakraban adalah kemewahan yang dibuat sederhana. Dalam banyak hal, kita sering menganggap sepele keakraban. Sementara di luar sana, orang-orang yang sudah menyadari hal ini, menghabiskan jutaan rupiah untuk berinvestasi dalam rangka mengembangkan keakraban. Keakraban yang sering diabaikan oleh para pemimpin keluarga, pemimpin RT-RW, pemimpin desa, bahkan oleh sebagian pemimpin negara, dipupuk sedikit demi sedikit demi tujuan profitable

Para sales membangun keakraban dengan calon customernya untuk mendapat penjualan. Para negosiator membangun keakraban dengan kliennya untuk mendapatkan kesepakatan. Para terapis membangun keakraban dengan pasiennya untuk mendapatkan penyembuhan. Orang tua membangun keakraban dengan anak-anaknya untuk mendapatkan kemudahan dalam mendidik. Itulah yang terjadi.

Mereka adalah orang-orang yang belajar dari  Symphony Orchestra yang dikendalikan oleh seorang konduktor. Harmoni, kerja sama, dan semangat adalah buah keakraban yang paling mengesankan. Kita mendapatkan banyak berkah, manfaat, dan keberuntungan dengan biaya murah jika kita memelihara keakraban dengan baik. Tapi, pernahkah selama ini kita menjadikan keakraban sebagai bahasa komunikasi yang paling ajaib?

Banyak anak yang sulit dikendalikan oleh orang tua. Banyak pasangan  sering salah paham tentang hal-hal kecil dan sepele. Banyak anak buah sulit diatur oleh perusahaan dan tidak produktif. Banyak warga selalu melawan kebijakan pemimpinnya. Mereka tidak selalu kekurangan materi, gaji rendah, atau keputusan yang salah. Mereka hanya mengalami krisis keakraban saja. Mereka tidak mempunyai keakraban keluarga, keakraban perusahaan, dan keakraban bernegara.

Begitulah kira-kira…

***

Neuro Language Programming atau NLP adalah ilmu memprogram otak melalui alat yang bernama bahasa. Keakraban yang dalam  atau rapport dalam NLP ditempatkan sebagai senjata utama dalam memperngaruhi seseorang. Teori yang saya ingat kira-kira berbunyi seperti ini: keberatan dan penolakan dalam komunikasi menandakan hilangnya rapport (keakraban).

Rapport merupakan pelumas yang memuluskan komunikasi anda. Dengan rapport komunikasi anda akan lancar; orang yang tenggelam dalam rapport akan bersedia diajak ke mana pun sejauh tidak bertentangan dengan keyakinannya. Lalu, bagaimana seandainya sebuah komunikasi tidak dibangun dengan alas rapport yang kuat?

Itulah yang selama ini kita alami. Kita tidak pernah menganggap keakraban sebagai barang mewah. Yang kita anggap sebagai barang mewah hanyalah apa-apa yang bersifat materi belaka: uang, gadget, piknik ke luar negeri, atau mobil mewah. Padahal di balik kemewahan itu bersembunyi suara-suara keberatan, penolakan, ketidakpercayaan, kesalahpahaman, dan teriakan kemarahan.

Setelah semua berantakan, tiba-tiba kita  menyalahkan siapa saja atau apa saja yang bisa disalahkan dan dijadikan kambing hitam. Kita sebagai orang tua merasa kehilangan kendali terhadap anak-anak. Kita sebagai manager merasa kehilangan kepercayaan di depan anak buah. Kita sebagai pemimpin merasa kehilangan harga diri dan kehormatan di depan rakyat. Kita merasa bahwa penyesalan selalu datang terlambat.

Long weekend kali ini seharunya menjadi ruang untuk berkumpul kembali membangun keakraban, bahkan dari lingkup paling kecil, yakni lingkup keluarga. Ada baiknya setiap keluarga mengagendakan pergi bersama ke sebuah tempat terbuka, berjalan bersama, menghirup udara segar, makan bersama di alam terbuka sambil berteriak atau berjoget bersama.

Ada baiknya setiap organisasi, komunitas, atau lembaga mengadakan acara outbound untuk menguatkan tali komunikasi, membangun semangat, menguatkan team working dengan permainan-permainan yang menantang dan mengesankan.

Ada baiknya para pemimpin mengajak rakyatnya bergembira, tidak dengan menaikkan iuran BPJS, tarif jalan tol, atau menaikkan harga sembako. Berilah kami sapaan ramah, sedikit kegembiraan, dan keringanan dalam menempuh hidup di tanah kita. 

Ada baiknya….

Ada banyak cara mengisi weekend, tapi cara terbaik mengisi weekend tahun ini adalah menjadikan keakraban sebagai sebuah tujuan nasional. Hahaha.

***





Jimat Kalimasadha, redaktur tajug.net, bisa diakses di bit.ly/bu-buku

1 comments