Pada Malam Sakit Gigi
Saya ingin memberi nasihat kepada anak-anak muda, carilah pacar atau pasangan yang mempunyai kebiasaan sikat gigi sebelum tidur.
Kalian mungkin tersenyum, tetapi tolong jangan meremehkan nasihat sederhana saya tersebut. Begitulah Tuhan menaruh gigi di dalam rongga mulut dengan segala kontroversinya. Soal gigi adalah soal penting yang seringkali diremehkan. Ketika usia kita belum mencapai paruh baya, kita sering menyepelekan gigi dan lebih mengejar uang. Tetapi setelah usia kita melewati paruh baya, kita akan melakukan sebaliknya. Kita akan mengejar gigi dan rela mengorbankan uang.
Sejauh yang saya tahu, sampai hari ini belum ada obat gigi yang benar-benar menyebuhkan sakit gigi secara sempurna. Lalu, obat yang kita beli di warung selama ini, yang katanya bisa digunakan untuk mengobati sakit gigi, sesungguhnya obat apa? Tidak tahu pasti.
Mungkin itu obat pereda nyeri atau obat pereda marah.
Itulah kenapa, saya perlu menasihati anak-anak muda agar memilih pasangan yang bisa merawat giginya sejak usia muda. Merawat gigi sesungguhnya sama juga dengan merawat cinta, hahaha. Perlu kebiasaan yang berkesinambungan. Perlu ketekunan yang continuously. Cobalah renungkan kembali paragraf kedua dari tulisan ini. Cobalah mengganti kata gigi dengan cinta.
Cinta dan gigi adalah dua hal yang mungkin sangat berbeda, tetapi keduanya memerlukan sikap yang kurang lebih sama. Benjamin Franklin, ilmuwan, filsuf, penulis terkenal Amerika, politisi, negarawan, pernah bilang begini, “Love and toothache have many cures, but none infallible, except possession and dispossession.” Cinta dan sakit gigi memiliki banyak obat, tetapi tidak ada obat yang sempurna. Obat cinta adalah memiliki, sedangkan obat sakit gigi adalah memelepasnya atau mencabutnya.
Minggu belakangan ini saya memang sedang sakit gigi. Itulah kenapa saya tiba-tiba mempunyai waktu untuk melampiaskan kejengkelan tersebut. Tuhan seperti menunjukkan kepada saya, betapa sebenarnya kita memang tidak mempunyai kuasa untuk mengontrol gigi sendiri. Kita tiba-tiba menjadi orang yang gampang marah, gampang tersinggung, dan tampak begitu kerdil di hadapan rasa ngilu itu. Kita menjadi tidak bisa menggunakan akal sehat kita.
Saya menyerah. Saya tak sanggup lagi menghadapi rasa sakit dan kehilangan gigi. Tapi, sekali lagi kita memang tidak memiliki kuasa untuk mengontrol gigi kita. Meskipun kita punya uang sekalipun, kita tetap tidak bisa mempertahankannya.
Gigi saya terasa sangat ngilu setelah dokter menambal gigi saya. Padahal tambalannya masih sangat kuat dan baru berusia satu setengah bulan. Waktu itu saya diberi obat penahan rasa sakit. Akan tetapi, tidak lama setelah itu, rasa ngilu tersebut kambuh kembali. Saya datang ke dokter untuk berkosultasi lagi. Dokter mendiagnosis bahwa ada infeksi saraf yang tertutup oleh tambalan. Infeksi tersebut menyebabkan adanya gas yang terjebak di dalam rongga gigi, kemudian gas tersebut menekan saraf dan menimbulkan rasa ngilu.
Akhirnya, tambalan dibongkar dan gigi saya sementara dibiarkan menganga. Dokter menyarankan agar saya menutup lubang tersebut dengan kapas sebelum saya makan. Diagnosis dokter benar juga. Begitu tambalan gigi dilepas, hilang semua rasa ngilu itu. Tiga hari setelahnya, saya diperintahkan untuk datang lagi dan gigi geraham tersebut harus ikhlas dilepas.
Inilah saat yang paling saya benci. Saya harus melepas gigi lagi, lima belas hari menjelang usia lima puluh. Di usia ke lima puluh ini, saya sudah kehilangan empat buah gigi terbaik saya. Artinya, semenjak bergantinya gigi susu menjadi gigi dewasa pada usia sepuluh tahun, rata-rata saya kehilangan satu gigi permanen. Setiap sepuluh tahun, saya harus mengucapkan salam perpisahan pada gigi satu demi satu. Apa yang terjadi jika usia saya mencapai 80 tahun?
Akankah saya kehilangan tujuh gigi?
Berbaring di kursi panjang, di bawah lampu sorot yang mengarah ke dalam mulut, saya seperti membuka aib diri sendiri. Terkuaklah rahasia kebiasaan ngopi yang buruk, atau rahasia tentang masa muda yang tak pernah membiasakan sikat gigi sebelum tidur. Ini adalah hal pertama di mana saya tidak berdaya: tidak berdaya menyimpan rahasia mulut.
Dokter mulai mengenakan masker. Saya mulai berprasangka jangan-jangan dia khawatir terkena radiasi bau mulut saya. Sebenarnya, ini mungkin pikiran negatif, karena saya yakin, sebelum berangkat saya sudah membersihkan mulut hingga tujuh kali putaran. Tapi perasaan tidak percaya diri di depan dokter gigi sungguh sindrom kebudayaan paling rumit.
Dokter mengenakan sarung tangan. Dia mulai memukul gigi saya yang berlubang dengan menggunakan logam berwarna putih di bawah tempaan cahaya lampu, dan bertanya, “Sakit?” Saya menggeleng sedikit sambil mengucapkan kata "nggak" dengan suara tersekat di tenggorokan. Jawaban singkat saya itu ternyata sebuah payung hukum yang melegalkan Bu Dokter melakukan ekskusi terhadap gigi saya, yang paling saya cintai ini. Saya seolah-olah memberi wewenang penuh kepada dokter untuk mengambil "tindakan yang diperlukan". Kalimat itu tentu tidak bisa saya tarik kembali, dan ….
“Ini harus dicabut,” katanya singkat. Hadeeew!
Ini harus dicabut, dan saya mengangguk begitu saja
Suntikan bius lokal mulai masuk ke jaringan gusi dan meresap membentuk gusi terasa tebal tidak berasa apa-apa. Saya mendengar dengan jelas peralatan seperti tang, catut, linggis kecil, bor bergantian masuk ke rongga mulut saya. Suaranya rame, dan sekilas saya melihat Bu Dokter menyeka keringat. Dia mulai membetot, menarik gigi saya ke kiri dan kemudian ke kanan. Dia sedang mengotak-atik mesin, dan diri saya yang berada di dalam mesin itu.
Heeem. Apa yang dokter lakukan, bukanlah ia lakukan pada saya, melainkan pada sesuatu yang saya punya. Saya mempunyai gigi, tapi saya ternyata tidak memiliki gigi saya. Saya memiliki, tapi ternyata saya tidak memiliki kuasa apa-apa. Lantas, saya ini siapa?
Rasa sakit yang sering kita derita selama ini, ternyata mempunyai ritual yang sama. Kita tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya. Penyakit seperti alergi, misalnya, adakah yang salah pada makan kita. Kita tidak tahu, dan benar-benar tidak tahu, terhadap apa yang terjadi dalam jaringan tubuh kita. Kita hanya pasrah saja, kita hanya menerima saja, kita hanya menikmati belaka rasa sakit itu dengan sabar.
Tapi, masih adakah penderita sakit gigi yang bisa bertahan dengan kesabarannya? Jangankan pertempuran, cinta saja tak bisa mengalahkan sakit gigi.
Jadi, inilah saran saya yang terakhir. Jika kalian gagal mendapatkan pacar yang mempunyai kebiasaan sikat gigi sebelum tidur, lebih baik kalian memilih pacar yang pernah menderita sakit gigi.
Hadeeew….
Baca juga:
Microchip Seorang Ayah
Matinya sang Fiksi
Jimat Kalimasadha, redaktur tajuk[dot]net, bisa diakses melalui bit.ly/bu-buku.
0 comments