Setia Pada (Kata) Proses

Arif Rohman



Kadang-kadang ada saja orang yang sanggup melakukan tindakan-tindakan pembaruan. Salah satunya begini: Pada tahun lalu, pernah ada forum diskusi “Jagong Sastra”, karena persoalan pegiatnya sibuk, akhirnya kegiatan itu vakum. Di pertengahan September 2019, diskusi serupa kembali digelar, pegiatnya para pelajar. Bulan ini sudah berlangsung dua pertemuan, pada hari Jumat dan Minggu, pilihan hari menyesuaikan hari libur mereka.

Sedikit Kata Kaya Makna


Puisi yang akan diapresiasi sebelumnya dibacakan oleh penyairnya. Pada hari itu semua puisi dibahas oleh Mukti Sutarman Espe, penyair kelahiran Semarang yang sejak tahun 90-an bergiat di Keluarga Penulis Kudus.

Pada hari Minggu, 15 September 2019, saya hadir di acara tersebut, tepatnya di Rumah Air Mata, Loram, Jati, Kudus, Jawa Tengah, yang juga kediaman penyair Jumari HS. Pagi itu kami menyantap tiga puisi, di samping suguhan teh hangat, pisang rebus, semangka, keripik, dan jajanan lainnya. Kerja otak, jajan banyak. Wah.

Pertama, puisi berjudul “Mata Menara” karya Azka Shadam, pelajar asal Margoyoso, Pati. Puisi diakui baru dibaca Mukti menjelang acara, di sela-sela bermain tenis, karena baru dikirim oleh panitia. Mukti menyoal penulisan kata “di” yang tidak tepat. “Selain itu, puisi itu ringkas tapi padat isi, kaya makna,” kata penulis buku puisi Menjadi Dongeng (2019) ini.

Tentang kritik, Mukti mengingat nasihat dalang wayang kulit Jawa Tengah, Ki Nartosabdo, menurutnya: Jika kita mendapat pujian, sebaiknya segera di buang ke keranjang sampah. “Sebaliknya, jika dikritik, tempatkanlah kritik itu di tempat yang berharga,” kenangnya.

Dalam puisi berjudul “Kudus” yang ditulis Vira Ayu, pelajar asal Kudus, Mukti menyoal pemilihan metaforanya. Penyair yang pernah jadi guru bahasa Indonesia ini, mengungkapkan, penyair perlu paham alat untuk menulis, yaitu bahasa. Dan puisi biasanya menggunakan majas metafora.

Kemudian Junaidi, lelaki asal Pati, membacakan puisi berjudul “Kala Itu” sebagai lanjutan bahan diskusi. Kepada Junaidi, Mukti mengatakan: “Saya suka pemilihan diksi puisi ini. Selain itu, seperti “penyakit” para penyair –termasuk  saya, isi puisi ini tentang orang yang tidak mau kehilangan kenangan masa lalu.”

“Saat itu, pada menara merah bata penuh doa/ Gumaman rapal mengepul ke angkasa,/ Menghangatkan lantas mendinginkan,/ Segala kecamuk di penjuru dada,” (Kala Itu, Junaidi)

Meski, beberapa bagian dikritik karena menggeneralisasi sebuah kesimpulan dari fakta yang jadi pijakan sang penyair. “Jangan mudah menyimpulkan,” pesannya.

Di luar urusan mendapat kritik, penyair juga diberi kesempatan menanggapi. Kala Junaidi menanggapi kritikan Mukti, mengatakan ia menulis berdasar observasi, diskusi jadi hidup dan berisi.

Beberapa nama penyair disebut Mukti: Abdul Hadi W.N., Hasan Asphani, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, W.S. Rendra, Taufik Ismail, Joko Pinurbo, dan M. Aan Mansur.

Setia Pada Proses


Mukti dan Jumari pada forum tersebut memaparkan pengalaman belajar menulis. “Hanya orang yang setia pada proseslah yang berhasil,” kata Mukti.

Banyak teman seangkatan Jumari dulu yang belajar nulis puisi. Tapi banyak yang “gugur” karena lakunya instan. “Baru nulis satu puisi, ingin diterbitkan koran, dan mendapat bayaran besar,” kata Mukti mencontohkan pembelajar yang tidak setia pada proses.

Jumari HS menyarankan kami untuk membaca. “Orang membaca dengan tidak itu beda, dulu saya hanya mengarang saja tidak membaca,” katanya. Sekarang, sudah lain, ia mengaku senang membaca ragam buku, dari seni hingga filsafat. Kalau mendapati puisi yang bagus saat membaca, ia  jadi tertantang, “aku harus bisa nulis seperti ini,” akunya.

Jumari memberi tips menulis puisi. Pertama, gunakanlah kata yang sudah dipahami dalam menulis puisi. Tidak perlu sok intelektual dengan kata yang belum dikenal. Ia mengaku mula-mula belajar menulis dengan cara itu, menggunakan kata yang sudah tahu betul artinya.

Kedua, mau membaca karya penyair lain. Bisa melalui mengapresiasi karya, dengan membeli buku puisi dari penulis yang dikenal atau yang sudah kondang. “Mengarang terus tanpa membaca, bisa berakibat gila,” katanya. Dan itu terjadi pada teman Jumari.


Arif Rohman, penulis tinggal di Kudus. Bergiat di Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku).

0 comments