Kata Tertawa
Dulu sekali, leluhur kita amat
kesulitan menyatukan gelombang komunikasinya. Mungkin mereka tidak
mendefinisikan hal itu sebagai suatu kesulitan, tapi jika kita melihatnya dari
kacamata abad modern; kehidupan yang amat sulit dibahasakan, terlebih dengan
kata –sama dengan– kehidupan tanpa ekspresi. Itu merupakan indikasi bahwa
mungkin, kehidupan leluhur kita amat sangat tak berarti.
Tak bisa dibayangkan kehidupan abad
modern ini berjalan tanpa bahasa kata. Di tengah deras gencarnya informasi
berterbangan. Mungkin kebaikan yang akan didapat adalah kehidupan ini akan
berlangsung dengan lebih sederhana, dan ‘kemegahan’ yang selama ini kita dapati
hilang seketika.
Harga barang di pasar dan swalayan
ditulis dengan isyarat. Tidak ada angka. Ilmu di ruang pendidikan disampaikan
dengan isyarat. Tidak ada huruf. Kitab suci berjalan dengan naluri, tanpa
pernah dibacakan sebagai bahasa segamblang bahasa kata. Masyarakat yang
berkumpul di pengajian, kenduren, dll. itu tidak lagi memerlukan soundsystem karena tidak ada suara yang perlu
dikencangkan. Juga aktivis, pegiat sosial, gerakan radikal, faham liberal,
Bhinneka tendensi Tunggal koalisi, mulut-mulut yang merongrong kesahajaan
negara dan apa pun; tidak perlu dibungkam. Termasuk pemberitaan tentang Perang
Dunia Ketiga antara Iran dan Amerika. Dan tentu Bangsa Indonesia tak mau kalah
beraksi tenar di berita internasional, Reynhard Sinaga jagoannya!
Seperti amat sulit, dan mungkin memang amat sulit. Tuhan begitu arif,
untuk menyiapkan kehidupan yang begitu modern dan kompleks ini, manusia
dianugerahi bahasa kata. Apakah manusia masih berpikir bahwa kehidupan nenek
moyang kita amat sangat tak berarti?
“Belum tentu dong!” tiba-tiba
sahabat saya yang jauh asalnya datang dan melesatkan kata-kata. Oke, belum
tentu. “Pada zaman leluhur kita itu,” ia melanjutkan, “yang oleh ilmuwan pintar
disebut ‘kera’ dan zaman batu, problematikanya bukan bahasa–sederhana sekali–sekadar cari makan dan kenyang. Tentu ada, kecenderungan untuk mencukupi
keluarga dan menyayanginya, tapi parameter kasih sayang yang amat gamblang pada
zaman itu, kan memberi orang yang disayanginya dengan makanan terlezat hasil
buruan paling menantang!”
“Kok sampeyan sebegitu teganya membandingkan manusia modern dengan
manusia purba yang gagap berbahasa? Mereka melakukan pencarian yang amat
mustahil dilakukan oleh kerumunan manusia abad ini.”
Ia tak melanjutkan
ucapannya. Sengaja diam. Mungkin istirahat. Tapi matanya yang melotot
menyampaikan sinyal ke pikiran saya.
Saya ingat betapa manusia purba
sangat rajin dan sabar mencari pembahasaan atas segala yang mereka alami. Ya,
saya ingat betul. Agaknya ini memori yang dikirim sahabat saya dari sorot
matanya yang tajam itu. Di gua-gua, kita melihat bahwa manusia purba menggambar
diri mereka sendiri. Suara mereka masih belum matang. Saat itu hanya bebatuan
dan karang. Manusia purba meneliti dirinya sendiri, guna mempermudah
pembahasaan. Mula-mula mereka mengenali penglihatan, dan objek yang dilihat.
Meniru dan memproyeksikannya, sebisanya. Mereka amat rajin dan sabar. Amat
rajin dan sabar.
“Gamblang saja,” sahabat saya yang dari tadi
istirahat itu menyahut, “manusia sekarang tak punya kesabaran, sangat hemat
belajar dan sangat rakus berkata-kata. Manusia sekarang tidak paham sejarah
bahasa kata!”
Saya yang mendengarnya langsung
tertegun. Belum sempat dahi saya tuntas mengerut dan mata saya terpicingkan. Ia
sudah mendahului semua.
“Jangan heran kalau sekarang orang
sangat meremehkan kata-kata. Mereka dapat memperjualbelikan kata dengan harga
murah. Hoaks di mana-mana. Kemunafikan merajalela. Mulutmu harimaumu itu salah!
Sebab mulut adalah gua yang menyimpan kata-kata.”
“Lalu?” Saya menyelanya, ndilalah ini agak menunda ocehnya yang
menggetarkan.
“Lho lah? sampeyan masih tak paham? Kata-kata adalah harimau itu sendiri,
Mas!”
Saya merasa bersalah karena emosinya semakin tajam menukik. Kalau saya
mau membahasakan kondisi ‘dia’ saat itu, ‘dia’ sangat ngos-ngosan. Saya coba ikhtiar dengan kata-kata yang paling jelas
kebenarannya. Saya bacakan Al-Baqarah ayat 31-32 dengan penghayatan yang penuh.
Sengaja saya baca terjemahan Bahasa Indonesia (itupun terjemahan Kemenag) agar ‘dia’ dan saya sama-sama mudah
mengerti.
Dan Dia (Allah) ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya. Kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar! • Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Al Quran, surat Al Baqarah ayat 31-32)
Emosi sahabat saya itu yang awalnya
menukik dipenuhi amarah, kini tiba-tiba layu menjadi amat melankolis. Tanpa
sadar, saya melihatnya menangis. Sambil tetap berucap dengan kata-katanya yang
lantang dan tegas dan terbata-bata.
“Lah ya, maksud saya sedari tadi
yang nggak jauh-jauh dari ayat itu. Kita ini beruntung dan mesti bersyukur karena
langsung diajari oleh Allah, oleh Tuhan yang Maha Esa. Kok ya dengan kata-kata
kita amat tak menghormati. Kemewahan gaya hidup, ekonomi global, perang dan
perdamaian, penjajahan dan kemerdekaan, keegoisan atau kemaslahatan bersama;
itu semua kan ya dipengaruhi oleh kata-kata, Mas. Kok ya dipakai dengan
sewenang-wenangnya.”
Tangisannya amat merintih, dan suara bahasa kata yang
diucapkannya bertengkar dengan suara tangisnya.
“Itu kenapa setiap bertemu orang
kayak sampean, saya ingin mengingatkan mbok
belajar tentang sastra; yang serius dan ndak
setengah-setengah. Soal kata-kata, manusia memang mesti remedial learn! Harus dimulai dari awal,
agar kembali atau setidaknya mepet ke ayat tadi.”
Waduh, tangisannya semakin nggero-nggero. Perlahan mereda, tapi di
akhir Ia teriak sekeras-kerasnya. Ia lalu terperangah melihat saya. Ia
meraba-raba tubuhnya sendiri. Heran dengan tangan dan wajahnya sendiri. Apalagi
saat menatap cermin, mimik mukanya justru seperti melihat mata air. Saya tak
pernah melihat adegan semacam ini selain di film manusia purba.
Selang beberapa menit tubuhnya
dipenuhi rambut. Ia sudah tak berdiri seperti seorang Sapiens. “Mas, sampeyan kena balak apa ini? Apa ada yang nyantet sampeyan dari jauh? Mas?” Saya
melihat telinga di kepalanya, tapi Ia seperti tak mendengar ucapan saya. Ia
mungkin tak memahami apa yang saya katakan.
“Mas, ayo kita ke dokter saja. Ke
klinik terdekat. Mumpung aku ada BPJS. Kita pesan ojek online dulu. Mas diam ya, jangan keluar dari tempat ini!” Lho malah
karena saya bilang itu, Ia langsung lari keluar. Ia berteriak-teriak. Hampir di
jalan ia keserempet truk.
Secara nekat dari kejauhan saya
teriak, “Mas, bukankah Allah telah mengajarimu nama benda? Mengajarimu bahasa
dan kata? Mbok diingat ajaran Allah
itu. Dengar ucapan saya kan, Mas?” Karena saya berbicara dengan bahasa tubuh
yang penuh. Ia seperti mengira-ngira maksud ucapan saya.
“Nah, sampeyan pasti mulai ingat! Sekarang ke sini saja!” Tangan saya
melambai, pertanda memintanya mendekat. Saya agak lega, karena Ia perlahan
mendekat. Ia nutul-nutul tangan saya
yang melambai. Saya memberanikan diri untuk mengelus kepalanya yang gimbal.
Sambil menganga dan menunjuk mulut saya. Saya berkata, “Kata-kata ...
kata-kata ...”
Ia tertawa. Mungkin meledek saya. Saya ikut tertawa. Ia
ganti diam. Kami saling lihat-melihat. Sama-sama bingung dengan apa yang
barusan terjadi. Bahkan kami tak tahu kenapa kami sama-sama tertawa. Akhir dari
kebingungan itu. Kami tertawa lagi, tertawa lagi. Seolah kata-kata habis.
Kami tertawa lagi, tertawa
terus-menerus. “Haha!”
Kudus, 10 Januari 2020
Tiyo Ardianto, lahir di Kudus, 26 April 2003. Menulis puisi, esai, dan naskah teater. Peserta Pertemuan Penyair Nusantara IX 2019 Kudus. Dikenal sebagai pemuda yang aktif dalam kegiatan seni, sastra, dan budaya. Surel: tiyoardianto123@gmail.com
0 comments