Kemenyan
Setelah
hujan sore reda, angin malam menyambut bersama desiran dingin yang menghidupkan
pelepah daun pisang di pekarangan desa Sumber. Ini malam Jumat Kliwon, bagi wong Jawa biasanya malam tersebut
dikeramatkan. Bahkan menurut sesepuh, konon hal-hal yang berbau mistik kerap
terjadi di malam itu, sebab masyarakat percaya bahwa dedemit akan gentayangan,
tetapi menurut agama jika ada yang meninggal pada malam Jumat Kliwon dianggap
baik. Entahlah.
Sementara
di dalam rumah yang sederhana, Yamin menyalakan lampu lima watt di halaman
depan rumahnya, nyalanya sudah remang-remang, sepertinya minta diganti. Sedangkan istrinya
mengeloni putra kecilnya di ranjang agar terlindungi dari kedinginan. Begitu
pun dengan warga yang lainnya, mereka memilih untuk meringkuk di rumahnya
masing-masing, daripada meriang, nanti besok malah tidak bisa berangkat ke sabin untuk membenahi tanaman jagung
yang baru saja terkena hujan angin. Akan tetapi, bagi Yamin terpaksa harus
keluar karena malam Jumat adalah jadwal rondanya.
“Mau
ronda, Kang?” tanya istrinya, ketika ia mengambil jaket serta sarungnya di
kamar dan hendak keluar rumah.
“Nggih,
duit hasil memocok jagung yang panen
di Haji Mujid, wes tak simpen ning lemari,” jawab Yamin, kemudian berangkat ronda.
“Nggih,
Kang.”
Seperti
biasa, setiap ada yang sedang jadwal ronda, pasti berkumpul di gardu dekat
pekarangan kebon pisang. Yamin bergegas menelusuri gang-gang dan jalan kampung. Baginya, hawa
dingin malam ini tak seperti biasanya, terlampau menusuk tulang.
Sampai
di gardu, ternyata sudah ada Sakri dan Wirangon, sepertinya mereka
sedang berbincang serius. Kemudian Yamin bergabung. Lantas mereka saling
basa-basi mengenai pekerjaannya apakah sudah pragat memocok atau
belum. Sementara wedang dan makanan ringan sudah tersedia. Malam ini mereka memilih mengobrol ringan saja ketimbang bermain kartu.
“Sekarang
harga jagung di pasaran berapa, Min?” tanya Sakri, karena Yamin tadi siang ikut
panen memocok di kebun jagungnya Haji
Mujid, pasti tahu harga naik atau turunnya.
“Dua
ribu lima ratus, Kri,” jawab Yamin singkat sambil menyeduh kopi.
“Asu! Haji Mujid selalu untung, kayane nyupang. Kemarin aku memocok di jagungnya Pak Sono, tapi
harganya cuma seribu lima ratus, jadi aku ora
olih tambahan,” ucap Wirangon asal bunyi, ia memang yang paling muda di
antara dua orang tua itu.
“Huusst!
Jaga lambemu, Wir!” tegas Sakri.
“Sudah-sudah.”
Yamin melerai mereka agar tidak terjadi perdebatan yang berisik dan mengusik
warga sekitar.
“Nggih, pangapura, Kang,” ucap Wirangon minta
maaf dan menyesal karena perkataannya.
Suasana
kemudian lengang. Sepi. Dingin. Hanya suara jangkrik di pekarangan kebon pisang
yang mengisi kesenyapan suasana gardu. Mereka bertiga terkadang menggigil
kedinginan, sarung-sarungnya semakin erat menyelimuti tubuhnya. Gelapnya malam
masih teduh dan mendung. Bau tanah basah masih tersengat. Ketika mereka tengah
menatap langit dan dalam pikirannya masing-masing, Wirangon merasakan bau yang
berbeda, wajahnya mengkerut.
“Kang,
bau kemenyan. Jangan-jangan Haji Mujid …” ucap Wirangon, sekarang wajahnya
terlihat jelas ketakutan.
“Sira aja sembarangan ngomong, Wir.”
Sakri langsung menyela dengan tegas, ia juga merasakan sengatan baunya.
Sementara Wirangon menunduk karena selalu dianggap salah.
Yamin
tidak menghiraukan mereka, ia sibuk memperhatikan suasana di sekitar, karena
sama-sama merasakan bau kemenyan. Baunya semakin menyengat bercampur dengan bau
tanah basah. Menurut wong Jawa, atau
yang hidup di pedesaan pelosok, bau kemenyan ini dipercaya memiliki kekuatan
mistik untuk memanggil bangsa Jin.
“Ini
bau kemenyan yang sedang mengepul besar. Tapi kemungkinan berasal dari rumah
Pak Joko, kandidat kuwu nomor satu. Karena hanya rumah Pak Joko yang tidak jauh
dari gardu ini, ketimbang rumahnya Pak Bowo, kandidat kuwu nomor dua. Kalian
pasti mengerti ketika akan menjelang pemilihan kuwu. Iki dudu kemenyan wong nyupang, tapi permainan politik,” papar
Yamin setelah memperhatikan sekitar dengan suara dipelankan.
Yamin
menyeruput kopi yang sudah dingin, lalu menelan grengan dengan agak
terburu. Sedangkan Sakri dan Wirangon duduk bersila sambil mengangguk-angguk
seakan mengerti apa yang sudah dipaparkan tadi.
Kemudian Yamin melanjutkan
paparannya. “Ini
sudah tidak heran lagi bagi kita. Beberapa hari menjelang pemilihan kuwu, pasti
masing-masing kandidat sudah memanggil dukun demi kemenangannya. Tapi meskipun
Pak Joko dan Pak Bowo itu ada ikatan saudara dengan keluargaku, aku ora meluan ndukung dadi bagong salah siji kandidat. Sebab pasti cara
politiknya licik dan picik. Konon kalau pemilihan kuwu kelar, katanya
masing-masing keluarga kandidat saling membenci sampai tujuh keturunan, bahkan
para bagong dari masing-masing
kandidat yang sebelumnya doyan main kartu bareng, bisa bermusuhan, lebih parah
lagi sampai terjadi kerusuhan. Aku ora
pengen meluan dadi kaya iku, wes bersyukur dadi wong buruh tani, urip tenang,
sing penting bisa nafkahi bojo lan anak, syukur alhamdulillah."
Yamin meneguk kembali kopinya, kemudian melanjutkan paparannya, “Lagipula,
ini demokrasi, suara rakyat untuk rakyat, bukan semata untuk para calon
pejabat.”
“Edan! Manusia wis ora eling. Setinggi apa
sih jabatan dadi kuwu. Tingkat kuwu saja bisa ora akur sampe tujuh turunan, Apalagi tingkat presiden?” sambung
Sakri menggeleng-geleng kepala.
“Tingkat
presiden mungkin bisa jadi dua kali lipatnya, Kang. Tinggal tujuh dikali dua,
jadi empat belas keturunan. Sinting, ya Kang!” celetuk Wirangon sekenanya.
“Intinya
ini permainan politik, apa pun caranya, bagaimanapun sebab-akibatnya, semua
pandangan itu sudah dibutakan oleh bayangan jabatan. Tidak bisa tidak dan tidak
ingin kalah, sekali nyalon kudu menang.
Kita lihat saja nanti.” Yamin menegaskan kembali.
Kemudian
ada dua pria yang lewat, lalu menyapa. Wirangon menawarkan
kopi dan gorengan kepada mereka, tetapi mereka menolak. lantas melanjutkan perjalanan. Mereka itu bukan Jin atau semacamnya,
mereka ialah bagong dari salah satu
kandidat yang sedang ronda memperhatikan suasana politik. Mereka sedang meronda
barangkali ada yang tidak beres, atau ada yang mencurigakan dari apa yang
sedang di lakukan bagong dari salah
satu kandidat yang satunya. Entahlah.
Pada
akhirnya tengah malam telah tiba. Yamin, Sakri, dan Wirangon bergegas keliling
meronda desa. Perbincangan jagung, wong
nyupang dan bau kemenyan tertelan tanpa sadar oleh perbincangan politik.
Malam pun semakin muram, semakin sunyi, semakin sepi, semakin menyengat bau
kemenyan di setiap sisi. Hawanya dingin. Barangkali hawanya musim politik.
***
Esoknya,
Wirangon sempat bercerita pada Yamin dan Sakri, katanya ketika semalam sedang
ronda melewati rumah Pak Bowo, kandidat nomor dua, bau kemenyannya juga sama
menyengat. Tapi di halaman depannya selalu rame, hal itu tidak heran, pasti
mereka sedang menyusun strategi politik terbaiknya, atau mungkin terlicik dan
terpiciknya.
"Cuih! Tai kucing," kata
Wirangon meludah sambil memperhatikan keramaian rumah itu.
Akan tetapi, di
tengah perhatiannya, ia melihat sesuatu yang heran, ada sesuatu yang mengganjal,
sesuatu yang membuatnya resah tapi ia tidak menceritakannya kepada mereka,
entahlah. Mungkin hanya prasangka saja.
Siang
itu penduduk desa menerima uang sepuluh ribu ditambah lima bungkus indomie dari
kandidat nomor kosong satu, dan dari nomor kosong dua, penduduk desa menerima
uang lima belas ribu ditambah dua bungkus indomie.
Dua
hari kemudian, akhirnya pesta demokrasi tingkat desa berlangsung. Suara riuh memenuhi lapangan balai desa tempat pemungutan suara.
Di panggung yang agak tinggi, terlihat dua kandidat sedang duduk dibayangi
jabatan serta dukun-dukunnya yang sedang komat-kamit tarung kemenyan.
Kepulannya semakin besar, baunya menyengat. Konon jika asap kemenyan semakin
membesar, maka dialah yang akan diprediksi memenangkan pemilihan kuwu.
Sampai
di ujung perhitungan, suara rakyat semakin riuh. Masing-masing pendukung saling
bersorak-sorai memenuhi lapangan tempat pemungutan suara. Apakah nomor satu
atau nomor dua? Itu menjadi pertanyaan gelisah yang katanya akan menentukan
masa depan desa itu. Dan setelah diakumulasi, suara terbanyak ternyata
didapatkan oleh nomor satu, yaitu Pak Joko. Namun, kandidat nomor dua tidak
terima dengan hasil suara, begitu pun dengan pendukungnya. Awalnya protes sana
protes sini, karena menganggap bahwa kandidat kosong satu penuh kecurangan,
lantas terjadilah kerusuhan di lokasi pemungutan. Kotak suara hancur, botol-botol terbang tak berarturan.
“Hargai
suara rakyat!” teriak pendukung nomor satu.
“Hargai
suara rakyat!” lanjut teriakan dari ujung lapangan tempat pemungutan suara.
Teriakan
rakyat dan masing-masing pendukungnya masih terlontar di lapangan. Hingga sore
itu, langit jingga memancarkan keprihatinan Desa Sumber. Beberapa luka-luka,
ada yang tersungkur, dan terkapar. Tim petugas keamanan ada yang tertonjok dan
pingsan, ada juga yang sibuk mengamankan. Sementara bau kemenyan masih
menyengat.
***
Satu
minggu yang lalu, setelah pesta demokrasi dan kerusuhan selesai, pemilihan kuwu
sudah ditetapkan bahwa kandidat nomor satu telah memenangkannya dengan
mendapatkan suara terbanyak.
Desas-desus
kuwu dan segala yang berhubungan dengan politik sudah tertinggal. Warga kembali
sibuk dengan urusannya masing-masing.
Malam
Jumat di gardu.
“Kang Sakri wes mati, Kang,” ucap
Wirangon sayu dan lesu di gardu.
“Wir,
ini poitik! Sudahlah …” ucap Yamin hendak menasehati.
“Tapi
Kang Sakri jadi korban politik. Dibayar berapa dia, Kang? Padahal jangankan
demokrasi tingkat presiden, tingkat kuwu saja, suara rakyat dibayar murah
belasan ribu rupiah sama indomie,” susul Wirangon menyela. Kemudian
melanjutkan, “Tai kucing! Ternyata benar malam itu, Kang Sakri jadi bagong pak Joko, dan aku melihatnya
sedang berkumpul di rumah Pak Bowo dengan pura-pura ronda padahal sedang jadi
mata-mata. Maaf waktu itu aku tak sempat cerita kegelisahan hal itu, Kang.”
Wirangon kembali lesu dan sayu, wajahnya menunduk, begitu pun Yamin.
Kemudian
Wirangon mengeluarkan suara lagi, “Kang,
atau jangan-jangan Kang Sakri meninggal oleh jin dari dukunnya Pak Bowo yang
tidak terima kekalahannya?”
“Itu
takdir Wir,” tegas Yamin.
“Persoalan
politik bukan hanya takdir, tapi juga persoalan kemenyan, Kang!”
Kemudian
setelah wirangon menyebutkan kata "kemenyan", tiba-tiba ada bau khas yang
menyengat. Bau kemenyan. Kali ini tanpa kepulan asap.
“Kang,
bau kemenyan,” kata Wirangon, wajahnya mengkerut dan memperhatikan sekitar
pekarangan dekat gardu itu.
Ketika
Wirangon melirik sebelahnya, ternyata Yamin sudah pulang duluan tanpa
sepengetahuannya. Suasana menjadi senyap.
“Wir… Wir…”
Tiba-tiba
seperti terdengar suara Sakri yang lirih memanggil Wirangon. Akan tetapi, di
sekitarnya Wirangon tidak melihat siapa-siapa.
Suara
lirihnya semakin besar, bau kemenyan semakin menyengat. Wirangon pingsan di
gardu.
Cirebon,
17 Juni 2019
Muhamad Saepudin, lahir di Cirebon, 27 November 1997. Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan. Pernah aktif menjadi Jurnalis
Pelajar dan Dapur Sastra. Menulis cerpen, puisi, dan esai. Buku debutannya ialah kumpulan puisi Eros dan Sayap-Sayap Patah (2019). Instagram @m_saefudin11
3 comments
Mantap 🤩🤩 pak Joko pak Bowo wkwk 😁🤣
BalasHapusCeritanya bagus, syarat akan makna kebudayaan. Mantap dah.
BalasHapusNamun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan "MENGELONI" seharusnya ditulis menggunakan huruf miring/diberikan garis bawah.
mengeloni sudah ada di KBBI kak.
Hapus