Kemenyan


cerpen kemenyan muhamad saepudin

Setelah hujan sore reda, angin malam menyambut bersama desiran dingin yang menghidupkan pelepah daun pisang di pekarangan desa Sumber. Ini malam Jumat Kliwon, bagi wong Jawa biasanya malam tersebut dikeramatkan. Bahkan menurut sesepuh, konon hal-hal yang berbau mistik kerap terjadi di malam itu, sebab masyarakat percaya bahwa dedemit akan gentayangan, tetapi menurut agama jika ada yang meninggal pada malam Jumat Kliwon dianggap baik. Entahlah.

Sementara di dalam rumah yang sederhana, Yamin menyalakan lampu lima watt di halaman depan rumahnya, nyalanya sudah remang-remang, sepertinya minta diganti. Sedangkan istrinya mengeloni putra kecilnya di ranjang agar terlindungi dari kedinginan. Begitu pun dengan warga yang lainnya, mereka memilih untuk meringkuk di rumahnya masing-masing, daripada meriang, nanti besok malah tidak bisa berangkat ke sabin untuk membenahi tanaman jagung yang baru saja terkena hujan angin. Akan tetapi, bagi Yamin terpaksa harus keluar karena malam Jumat adalah jadwal rondanya.

“Mau ronda, Kang?” tanya istrinya, ketika ia mengambil jaket serta sarungnya di kamar dan hendak keluar rumah.

Nggih, duit hasil memocok jagung yang panen di Haji Mujid, wes tak simpen ning lemari,” jawab Yamin, kemudian berangkat ronda.

Nggih, Kang.”

Seperti biasa, setiap ada yang sedang jadwal ronda, pasti berkumpul di gardu dekat pekarangan kebon pisang. Yamin bergegas menelusuri gang-gang dan jalan kampung. Baginya, hawa dingin malam ini tak seperti biasanya, terlampau menusuk tulang.

Sampai di gardu, ternyata sudah ada Sakri dan Wirangon, sepertinya mereka sedang berbincang serius. Kemudian Yamin bergabung. Lantas mereka saling basa-basi mengenai pekerjaannya apakah sudah pragat memocok atau belum. Sementara wedang dan makanan ringan sudah tersedia. Malam ini mereka memilih mengobrol ringan saja ketimbang bermain kartu. 

“Sekarang harga jagung di pasaran berapa, Min?” tanya Sakri, karena Yamin tadi siang ikut panen memocok di kebun jagungnya Haji Mujid, pasti tahu harga naik atau turunnya.

“Dua ribu lima ratus, Kri,” jawab Yamin singkat sambil menyeduh kopi.

Asu! Haji Mujid selalu untung, kayane nyupang. Kemarin aku memocok di jagungnya Pak Sono, tapi harganya cuma seribu lima ratus, jadi aku ora olih tambahan,” ucap Wirangon asal bunyi, ia memang yang paling muda di antara dua orang tua itu.

“Huusst! Jaga lambemu, Wir!” tegas Sakri.

“Sudah-sudah.” Yamin melerai mereka agar tidak terjadi perdebatan yang berisik dan mengusik warga sekitar.

Nggih, pangapura, Kang,”  ucap Wirangon minta maaf dan menyesal karena perkataannya.

Suasana kemudian lengang. Sepi. Dingin. Hanya suara jangkrik di pekarangan kebon pisang yang mengisi kesenyapan suasana gardu. Mereka bertiga terkadang menggigil kedinginan, sarung-sarungnya semakin erat menyelimuti tubuhnya. Gelapnya malam masih teduh dan mendung. Bau tanah basah masih tersengat. Ketika mereka tengah menatap langit dan dalam pikirannya masing-masing, Wirangon merasakan bau yang berbeda, wajahnya mengkerut.

“Kang, bau kemenyan. Jangan-jangan Haji Mujid …” ucap Wirangon, sekarang wajahnya terlihat jelas ketakutan.

Sira aja sembarangan ngomong, Wir.” Sakri langsung menyela dengan tegas, ia juga merasakan sengatan baunya. Sementara Wirangon menunduk karena selalu dianggap salah.

Yamin tidak menghiraukan mereka, ia sibuk memperhatikan suasana di sekitar, karena sama-sama merasakan bau kemenyan. Baunya semakin menyengat bercampur dengan bau tanah basah. Menurut wong Jawa, atau yang hidup di pedesaan pelosok, bau kemenyan ini dipercaya memiliki kekuatan mistik untuk memanggil bangsa Jin.

“Ini bau kemenyan yang sedang mengepul besar. Tapi kemungkinan berasal dari rumah Pak Joko, kandidat kuwu nomor satu. Karena hanya rumah Pak Joko yang tidak jauh dari gardu ini, ketimbang rumahnya Pak Bowo, kandidat kuwu nomor dua. Kalian pasti mengerti ketika akan menjelang pemilihan kuwu. Iki dudu kemenyan wong nyupang, tapi permainan politik,” papar Yamin setelah memperhatikan sekitar dengan suara dipelankan.

Yamin menyeruput kopi yang sudah dingin, lalu menelan grengan dengan agak terburu. Sedangkan Sakri dan Wirangon duduk bersila sambil mengangguk-angguk seakan mengerti apa yang sudah dipaparkan tadi. 

Kemudian Yamin melanjutkan paparannya. “Ini sudah tidak heran lagi bagi kita. Beberapa hari menjelang pemilihan kuwu, pasti masing-masing kandidat sudah memanggil dukun demi kemenangannya. Tapi meskipun Pak Joko dan Pak Bowo itu ada ikatan saudara dengan keluargaku, aku ora meluan ndukung dadi bagong salah siji kandidat. Sebab pasti cara politiknya licik dan picik. Konon kalau pemilihan kuwu kelar, katanya masing-masing keluarga kandidat saling membenci sampai tujuh keturunan, bahkan para bagong dari masing-masing kandidat yang sebelumnya doyan main kartu bareng, bisa bermusuhan, lebih parah lagi sampai terjadi kerusuhan. Aku ora pengen meluan dadi kaya iku, wes bersyukur dadi wong buruh tani, urip tenang, sing penting bisa nafkahi bojo lan anak, syukur alhamdulillah."

Yamin meneguk kembali kopinya, kemudian melanjutkan paparannya, “Lagipula, ini demokrasi, suara rakyat untuk rakyat, bukan semata untuk para calon pejabat.” 

Edan! Manusia wis ora eling. Setinggi apa sih jabatan dadi kuwu. Tingkat kuwu saja bisa ora akur sampe tujuh turunan, Apalagi tingkat presiden?” sambung Sakri menggeleng-geleng kepala.

“Tingkat presiden mungkin bisa jadi dua kali lipatnya, Kang. Tinggal tujuh dikali dua, jadi empat belas keturunan. Sinting, ya Kang!” celetuk Wirangon sekenanya.

“Intinya ini permainan politik, apa pun caranya, bagaimanapun sebab-akibatnya, semua pandangan itu sudah dibutakan oleh bayangan jabatan. Tidak bisa tidak dan tidak ingin kalah, sekali nyalon kudu menang. Kita lihat saja nanti.” Yamin menegaskan kembali.

Kemudian ada dua pria yang lewat, lalu menyapa. Wirangon menawarkan kopi dan gorengan kepada mereka, tetapi mereka menolak. lantas melanjutkan perjalanan. Mereka itu bukan Jin atau semacamnya, mereka ialah bagong dari salah satu kandidat yang sedang ronda memperhatikan suasana politik. Mereka sedang meronda barangkali ada yang tidak beres, atau ada yang mencurigakan dari apa yang sedang di lakukan bagong dari salah satu kandidat yang satunya. Entahlah.

Pada akhirnya tengah malam telah tiba. Yamin, Sakri, dan Wirangon bergegas keliling meronda desa. Perbincangan jagung, wong nyupang dan bau kemenyan tertelan tanpa sadar oleh perbincangan politik. Malam pun semakin muram, semakin sunyi, semakin sepi, semakin menyengat bau kemenyan di setiap sisi. Hawanya dingin. Barangkali hawanya musim politik.

***

Esoknya, Wirangon sempat bercerita pada Yamin dan Sakri, katanya ketika semalam sedang ronda melewati rumah Pak Bowo, kandidat nomor dua, bau kemenyannya juga sama menyengat. Tapi di halaman depannya selalu rame, hal itu tidak heran, pasti mereka sedang menyusun strategi politik terbaiknya, atau mungkin terlicik dan terpiciknya. 

"Cuih! Tai kucing," kata Wirangon meludah sambil memperhatikan keramaian rumah itu.

Akan tetapi, di tengah perhatiannya, ia melihat sesuatu yang heran, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya resah tapi ia tidak menceritakannya kepada mereka, entahlah. Mungkin hanya prasangka saja.

Siang itu penduduk desa menerima uang sepuluh ribu ditambah lima bungkus indomie dari kandidat nomor kosong satu, dan dari nomor kosong dua, penduduk desa menerima uang lima belas ribu ditambah dua bungkus indomie.

Dua hari kemudian, akhirnya pesta demokrasi tingkat desa berlangsung. Suara riuh memenuhi lapangan balai desa tempat pemungutan suara. Di panggung yang agak tinggi, terlihat dua kandidat sedang duduk dibayangi jabatan serta dukun-dukunnya yang sedang komat-kamit tarung kemenyan. Kepulannya semakin besar, baunya menyengat. Konon jika asap kemenyan semakin membesar, maka dialah yang akan diprediksi memenangkan pemilihan kuwu.

Sampai di ujung perhitungan, suara rakyat semakin riuh. Masing-masing pendukung saling bersorak-sorai memenuhi lapangan tempat pemungutan suara. Apakah nomor satu atau nomor dua? Itu menjadi pertanyaan gelisah yang katanya akan menentukan masa depan desa itu. Dan setelah diakumulasi, suara terbanyak ternyata didapatkan oleh nomor satu, yaitu Pak Joko. Namun, kandidat nomor dua tidak terima dengan hasil suara, begitu pun dengan pendukungnya. Awalnya protes sana protes sini, karena menganggap bahwa kandidat kosong satu penuh kecurangan, lantas terjadilah kerusuhan di lokasi pemungutan. Kotak suara hancur, botol-botol terbang tak berarturan.

“Hargai suara rakyat!” teriak pendukung nomor satu.

“Hargai suara rakyat!” lanjut teriakan dari ujung lapangan tempat pemungutan suara.

Teriakan rakyat dan masing-masing pendukungnya masih terlontar di lapangan. Hingga sore itu, langit jingga memancarkan keprihatinan Desa Sumber. Beberapa luka-luka, ada yang tersungkur, dan terkapar. Tim petugas keamanan ada yang tertonjok dan pingsan, ada juga yang sibuk mengamankan. Sementara bau kemenyan masih menyengat.

***

Satu minggu yang lalu, setelah pesta demokrasi dan kerusuhan selesai, pemilihan kuwu sudah ditetapkan bahwa kandidat nomor satu telah memenangkannya dengan mendapatkan suara terbanyak.
Desas-desus kuwu dan segala yang berhubungan dengan politik sudah tertinggal. Warga kembali sibuk dengan urusannya masing-masing.

Malam Jumat di gardu.

Kang Sakri wes mati, Kang,” ucap Wirangon sayu dan lesu di gardu.

“Wir, ini poitik! Sudahlah …” ucap Yamin hendak menasehati.

“Tapi Kang Sakri jadi korban politik. Dibayar berapa dia, Kang? Padahal jangankan demokrasi tingkat presiden, tingkat kuwu saja, suara rakyat dibayar murah belasan ribu rupiah sama indomie,” susul Wirangon menyela. Kemudian melanjutkan, “Tai kucing! Ternyata benar malam itu, Kang Sakri jadi bagong pak Joko, dan aku melihatnya sedang berkumpul di rumah Pak Bowo dengan pura-pura ronda padahal sedang jadi mata-mata. Maaf waktu itu aku tak sempat cerita kegelisahan hal itu, Kang.” 

Wirangon kembali lesu dan sayu, wajahnya menunduk, begitu pun Yamin. 

Kemudian Wirangon mengeluarkan suara lagi, “Kang, atau jangan-jangan Kang Sakri meninggal oleh jin dari dukunnya Pak Bowo yang tidak terima kekalahannya?”

“Itu takdir Wir,” tegas Yamin.

“Persoalan politik bukan hanya takdir, tapi juga persoalan kemenyan, Kang!”

Kemudian setelah wirangon menyebutkan kata "kemenyan", tiba-tiba ada bau khas yang menyengat. Bau kemenyan. Kali ini tanpa kepulan asap.

“Kang, bau kemenyan,” kata Wirangon, wajahnya mengkerut dan memperhatikan sekitar pekarangan dekat gardu itu.

Ketika Wirangon melirik sebelahnya, ternyata Yamin sudah pulang duluan tanpa sepengetahuannya. Suasana menjadi senyap.

“Wir… Wir…”

Tiba-tiba seperti terdengar suara Sakri yang lirih memanggil Wirangon. Akan tetapi, di sekitarnya Wirangon tidak melihat siapa-siapa.

Suara lirihnya semakin besar, bau kemenyan semakin menyengat. Wirangon pingsan di gardu.


Cirebon, 17 Juni 2019

Muhamad Saepudinlahir di Cirebon, 27 November 1997. Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan. Pernah aktif menjadi Jurnalis Pelajar dan Dapur Sastra. Menulis cerpen, puisi, dan esai. Buku debutannya ialah kumpulan puisi Eros dan Sayap-Sayap Patah (2019). Instagram @m_saefudin11

3 comments

  1. Mantap 🤩🤩 pak Joko pak Bowo wkwk 😁🤣

    BalasHapus
  2. Ceritanya bagus, syarat akan makna kebudayaan. Mantap dah.

    Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan "MENGELONI" seharusnya ditulis menggunakan huruf miring/diberikan garis bawah.

    BalasHapus