Menemukan Pecahan dan Hal-Hal yang Disyairkan
Judul Buku : Pecah
Penulis : Dimas Nugraha
Penerbit : Reybook Media
Cetakan : Pertama, Mei 2019
Tebal : vii + 93 hlm
ISBN : 978-623-90807-0-9
Seperti
apa kekuatan dari kata-kata? pertanyaan sederhana semacam itu membutuhkan
jawaban banyak yang ditimba dari sumur-sumur sejarah masa lampau. Jika kita
sedikit berbalik pada kacamata sejarah bangsa ini—antara tahun 1788 sampai
1820—Sri Sunan Pakubuwana IV, Raja dari Kraton Kasunanan Surakarta menuliskan
Serat Wulangreh yang berisi tentang ajaran-ajaran luhur yang terhimpun dalam
tembang-tembang jawa untuk moral bangsa. Bergeser maju sekitar tahun 1980-an, tentu
kita pasti mengingat bahwa raksasa Orde Baru sangat resah terhadap gelombang
kata-kata yang mengancam kelanggengannya berkuasa. Dari puisi Wiji Thukul kita
belajar kekuatan kata yang sesungguhnya. Kata-kata mampu membangkitkan jiwa untuk
berkontemplasi serta mendorong gelora dan semangat yang terpendam dalam diri
manusia masing-masing. Sedikit menengok di Amerika Serikat sendiri, puisi sudah
menjadi sarana untuk terapi kesehatan yang disebut sebagai psychopoetry.
Sebuah bukti bahwa kekuatan dari kata-kata yang dilahirkan dari puisi mampu
berkonstriburi sebagai media katarsis.
Membaca
buku kumpulan puisi "Pecah" karya Dimas Nugraha,
saya seperti menemukan jejak bacaan panjang dari penyair-penyair seperti
Sapardi Djoko Damono, Subagyo Sastrowardoyo atau bahkan jejak puisi-puisi yang
termuat dalam koran Minggu. Hal ini menandakan bahwa ketekunan intens yang
dirawat dari waktu ke waktu oleh Dimas
Nugraha untuk mempelajari berbagai pola dan struktur dari puisi yang
dituliskannya. Karena ketekunan untuk memperkaya riset pustaka inilah, modal
utama untuk menjadi seorang penyair. Jika ditinjau dari aspek psikologis,
kebanyakan usia muda memang memiliki kecenderungan sikap idealis yang berkibar
membara, gelora pemberontakan jiwa sedang berada dalam ambang batas puncaknya.
Tidak salah, jika kebanyakan puisi yang lahir dari jiwa-jiwa para penyair muda
bernuansa satir sosial dan kritik tajam.
Namun,
Dimas Nugraha tampaknya menyampaikan pergolakan batinnya tersebut dengan alunan
nada yang lirih, penuh kesantunan dan mampu menahan ledakan gelora yang
memuncak dari kecemasan dan keresahan yang diperam melalui pengalaman
individual maupun sosial dari pribadi penyairnya sendiri. Hal menarik dalam
buku ini adalah usaha penyair dalam membuat metafora yang unik. Adanya
ulang-alik kelugasan, pemilihan diksi sederhana membuat pembaca tidak merasa kesulitan
dalam meresap isi atau makna yang disampaikan dalam buku tersebut.
Salah
satu puisinya di dalam buku "Pecah" yang berjudul "Tentang Sehelai Rambut" yang berbunyi
seperti ini.
“…Helai yang sedikit lebih panjang
dari yang lain itu mengenang, tetapi tidak menangis dan belum juga mengerti
kapan. Mereka pun diam saja dan terus menunduk.
Sementara, di depan kaca, sisir
menyeringai dengan gigi-gigi mautnya yang rapat… (hal 37)”
Dari
kutipan puisi tersebut, saya seperti digiring ke dalam permenungan membayangkan
kematian. Bahwasanya manusia memang pasti mati, tapi takdir adalah soal waktu.
Bukan wilayah manusia tahu kapan kematian itu tiba, satu-satunya yang bisa
dilakukan hanyalah bercermin pada cermin diri sendiri: bahwa di dalamnya,
manusia sedang melihat kematiannya sendiri. Begitulah bentangan tafsiran yang
saya temukan melalui puisi tersebut. Namun, ada beberapa puisi yang belum
benar-benar utuh menyentuh kacamata pembaca. Seakan-akan jagat makna
menggantung tanpa bisa digayuh pembacanya.
Akhir
kata, pada judul buku "Pecah" tersebut, penyair menyematkan
semacam semiotika. Pecah adalah sesuatu benda padat yang bercerai berai hancur,
sudah berantakan wujudnya. Maka, pembaca akan dituntun untuk menemukan
puing-puing atau potongan pecahan untuk dijadikan satu keutuhan yang jelas
seperti sedia kala. Uraian inilah potongan yang saya temukan. Barangkali
pembaca yang lain akan menemukan potongan pecahan yang berbeda, dari sudut
pandang kacamata yang berbeda. Dan tafsiran makna yang berbeda, tentu saja.
Lereng Kendeng, 1 Agustus 2019
Aditya Galih Erlangga, penggiat literasi di Komunitas Omah Gatra Undaan.
0 comments