Musim Hujan dan Orkestra Katak
Kalau misalnya Tuhan memberikan kita enam ember air hujan,
dan kita disuruh memilih, kita akan memilih enam ember itu ditumpahkan dalam
satu minggu atau ditumpahkan dalam enam bulan?
Pada malam yang dingin, langit berwarna hitam oleh awan,
saya membayangkan dengan imajinasi saya yang pendek. Suatu ketika Tuhan
menentukan berapa ember air hujan untuk setiap wilayah bumi yang diciptakan.
Wilayah Kabupaten Kudus, misalnya, mendapatkan jatah enam ember air hujan.
Tuhan menyuruh malaikat untuk menurunkan enam ember air hujan itu dalam
waktu enam bulan. Malaikat Mikail
kemudian membagi air di dalam ember tersebut sedikit demi sedikit, sepanjang musim,
selama enam bulan.
Hari ini hujan, kadang hari yang lain gerimis rintik. Dan,
hari yang lain lagi hanya berawan lalu panas. Hujan bisa terjadi sepanjang bulan, sedikit demi sedikit, tipis-tipis.
Selama enam bulan, jatah enam ember air hujan tersebut baru habis tuntas. Selama
musim tersebut, tak ada bulan kekurangan hujan, dan tak ada bulan kelebihan
hujan. Tidak ada kekeringan, juga tidak ada banjir bandang.
Tetapi, apa yang terjadi jika enam ember jatah air hujan itu
ditumpahkan dalam satu minggu?
Akibatnya, bumi pasti terseok-seok menerima tumpahan air
hujan, seperti Jakarta tempo hari. Hujan seperti rindu yang ditumpahkan langit
kepada bumi. Bumi semakin tidak siap, justru ketika rindu itu tak bisa terserap
dengan bijak lantaran penghuninya --anak-anak bumi-- tidak memberikan kesempatan kepada bumi dan
hujan bermesraan. Lalu, mengapa kita menamakan peristiwa romantika itu sebagai
bencana?
Kita sebagai manusia, sadar atau tidak, telah melakukan
kesalahan fatal. Kita telah menghalangi pertemuan bumi dan hujan yang lama terpendam.
Kita diam-diam menghalangi hubungan cinta mereka. Sementara kita selalu menyalahkan
hujan dengan menganggapnya sebagai sebuah
bencana. “Do not be angry with the rain;
it simply does not know how to fall upwards,” kata Vladimir Nabokov,
seorang novelis dan penyair terkenal Rusia.
Janganlah menyalahkan hujan, karena hujan tidak tahu bagaimana caranya
turun ke atas.
Setiap hari kita menutup bumi dengan semen, seolah-olah kita
tidak rela ada tanah kosong yang mengotori sepatu kita. Setiap hari kita menutup
jalan dengan aspal dan cor, kita menutup setiap halaman dengan plesteran semen.
Banyak gunung kita rampas pohon-pohonnya, banyak bukit kita ratakan untuk
pemukiman. Tak ada ruang bagi air hujan menembus kulit bumi; tak ada jalan bagi
air hujan untuk mencapai kedalaman orgasme. Ya, tak ada….
Tapi, adakah yang bisa menghalangi rindu dan kekuatan cinta?
Betapa indah seandainya langit menemukan jalan untuk menuntaskan
persetubuhannya dengan bumi. Kita sebagai anak-anak kecil berlarian dengan
riang gembira di bawah hujan; menikmati ciuman hujan, membiarkan rintiknya
jatuh di kepala serupa butiran perak yang indah; membiarkan hujan menyanyikan
lagu serupa nyanyian nina bobo. Di bawah jendela yang basah, mungkin kita
menikmati secangkir kopi dengan istri atau kekasih sambil mengenangkan puisi
Sapardi Djoko Damono.
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Romantis, bukan? Betapa besar cinta langit pada bumi. Dan
hujan seharusnya menjadi sperma cinta yang mengalirkan berkah kehidupan. Bukan
bencana!
Lalu kita teringat katak.
Betapa riangnya mereka di dalam genangan air hujan. Mereka
lebih bahagia dari manusia di saat turun hujan. Mereka selalu menyanyikan
orkestra untuk pertemuan hujan dan bumi. Mereka tidak mempunyai ambisi
menyentuh langit, tapi kegairahannya menyambut hujan terdengar hingga melampui langit. Ketika air hujan lenyap masuk ke rahim bumi, mereka kembali
melompat-lompat dengan gembira di atas tanah.
Tidak ada kegelisahan di matanya, karena ia tidak pernah
menganggap pertemuan hujan dan bumi sebagai sebuah bencana. Manakah yang lebih
baik, enam ember air hujan itu diturunkan ke bumi sedikit demi sedikit selama
enam bulan, ataukah enam ember air hujan itu ditumpahkah hanya dalam seminggu?
Baginya it’s no
problem. Katak-katak itu selalu menganggap hujan sebagai kerinduan langit
atas bumi. “Kami mencintai suara deras hujan dan guntur yang pecah di langit dalam
kegelapan malam, karena di sana kami menemukan kedamaian dan rindu yang membuncah”,
kata mereka. Itulah mengapa katak-katak tak ingin berhenti melantunkan
orkestranya.
Bagaimana dengan kita?
***
Jimat Kalimasadha, redaktur
tajug.net, bisa diakses di bit.ly/bu-buku
0 comments