Pelatihan Menulis dalam Ingatan

Arif Rohman

esai arif rohman


21 Desember 2019, kami berenam duduk lesehan melingkar di Pendopo Bumi Perkemahan Menawan, Kudus, Jawa Tengah. Di hadapan kami tampilan layar laptop berisi silabus pelatihan menulis. Silabus untuk durasi pelatihan satu tahun. Delapan bulan yang lalu silabus itu dibuat, tapi belum menemukan hari baiknya.

Pada hari itu saya mengalami hal tak terduga. Berangkat dari rumah berbekal daya tarik bahasan sebuah diskusi. Sempat nyasar sebelum sampai lokasi acara yang kemudian gagal digelar karena sepi dari kehadiran pembicara dan peserta diskusi.

Dari "kegagalan acara" tersebut, berdua berboncengan sepeda motor bergeser ke rangkaian acara lain yang lokasinya berbeda. Beruntung ada makan siang di sana. Bertemu teman lainnya. Dan bonus ikut serta pelatihan membuat boneka dari lilitan limbah kertas.

Kemudian, saya, Islah, Mail, Reno, Orion dan Tiyo berpindah ke lokasi acara yang pagi itu gagal digelar. Duduk-duduk lesehan dengan segelas kopi pemberian panitia. Membentuk lingkaran diskusi yang agak jauh dari lingkaran diskusi yang siang itu digelar. Membahas silabus pelatihan menulis. Obrolan dipantik oleh Reno yang bergiat di Keluarga Berkarya atau KB.

Tulisan ini ingin merespon gagasan mengadakan pelatihan menulis tersebut, meskipun hanya berdasarkan pengalaman mengikuti pelatihan menulis yang tidak banyak. Paling tidak, pelatihan kepenulisan yang saya bahas ini telah memantik ketertarikan saya di dalam dunia kepenulisan. Ceritanya begini:

Pertama, Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar oleh Kompas. Materi yang saya terima tentang menulis berita. Sebagai anggota baru di Lembaga Pers Mahasiswa, pelatihan itu setidaknya mendekatkan saya pada pengalaman praktik menulis.

Konsep pelatihannya ada materi yang disampaikan, praktik rapat redaksi di dalam kelompok, praktik wawancara, praktik menulis sampai praktik me-layout. Respon dari pemateri juga disampaikan dalam tahap evaluasi hasil "koran bayangan".

Kesalahan yang terkenang adalah saat proses layout, saya yang masih gugup menggunakan Adobe Indesign (Id), mengedit typo tulisan di layar kerja "Id". Dalam proses layout, saya tidak sadar menghapusnya dan memasukkan kembali tulisan yang belum diedit. Ketika presentasi hasil editing itu tidak tampak, teman satu kelompok protes karena saya layouter-nya.

Itu konsep pelatihan PJTD yang susah terulang. Yang terjadi setelahnya sama seperti sebelumnya. Dalam tiga hari membahas berbagai materi mulai dari berita, artikel, fotografi, hingga manajemen redaksi. Sedangkan, dalam tiga hari di PJTD dengan Kompas lebih fokus pada materi berita dan fotografi.

Kedua, 3 Hari Berhuruf di Bilik Literasi. Membayar seratus ribu, selama tiga hari mendapat pengalaman membaca koran, membaca buku untuk diresensi, menulis esai dari satu kata yang dipilih. Tiga hari itu cukup singkat tapi dari yang diajarkan, saya amati mendekatkan peserta dengan kultur seorang penulis, yaitu menjadi pembaca dan praktik menulis.

Yang terkenang adalah saya tidak ikut serta dalan presentasi hasil bacaan pada materi resensi buku. Tidak menyelesaikan esai dengan kata "baru" sebagai pemantiknya. Selain itu, saya tercerahkan tentang bagaimana proses penulisan esai yang dilakukan Mas Adi Purnomo, orang yang lebih dulu belajar dengan Mas Kabut. Di mana tulisan esainya sudah dimuat di Kompas. Beberapa bulan setelah itu esai saya baru bisa dimuat di Wacana Nasional, Suara Merdeka.

Sederhananya, kita bisa menulis esai dari satu kata yang kita cari kaitannya. Kata itu bisa memanggil beragam hal yang tersebar dalam bahasan politik, agama, sosial, pendidikan, sastra, dan sebagainya.

Awal mula bingung memamah esai-esai Mas Kabut. Lambat laun memahami keterampilan menulis beriringan dengan ketekunan membaca dan sinau nulis. Punya bahan bacaan yang memadai adalah bekal untuk menulis.

Sampai sekarang saya masih bisa membaca esai dan resensi buku Mas Kabut yang biasa menggunakan referensi buku-buku lawas. Ia produktif, dan bisa hidup berumah tangga dengan tetap tekun menulis dari hari ke hari. Salut.

Ketiga, Kampus Fiksi edisi Non Fiksi dari Divapress. Dari segi pendanaan dan fasilitas, pelatihan ini penuh hal yang membuat nyaman. Pelatihan gratis tapi ada kurasi peserta dari hasil tulisan yang dikirim. Jika terpilih, akan dijemput di terminal atau stasiun oleh panitia dengan mobil. Sampai di lokasi tersedia paket buku lengkap dengan fasilitas penginapan dan makan.

Pemateri yang dihadirkan orang yang sudah berkompetensi di bidangnya. Yang membuat saya terkenang adalah tentang pertanyaan yang diajukan Mas Kabut seusai ikut acara tersebut: Siapa saja nama penulis yang disebut di pelatihan oleh narasumber?

Ketika kami berdua mampir seusai dari KF Non Fiksi, di Bilik Literasi, malam sebelum tidur ada obrolan tentang jalan yang dikaitkan dengan binatang, balapan motor, politik, dan buku Jalan Raya Pos Daendles garapan Pramoedya Ananta Toer. Obrolan itu bisa dimaknai sebagai pemantik untuk menulis esai. Paginya kami diajak praktik nulis tentang pengalaman pelatihan di KF Nonfiksi. 

Siangnya, Mas Kabut mengajak kami ke acara pelatihan nulis di kampusnya dulu. Ia menjadi narasumber sambil membawa buku-buku. Ada proses bicara sebagai pemantik minat peserta pelatihan. Kemudian, saya lupa bagaimana cara membaginya, tapi peserta itu nanti terbagi dua: kelompok yang tertarik membeli buku akan mendapat pengalaman lanjutan dalam belajar menulis, dan kelompok yang tidak tertarik membeli buku diminta ke pojok lapangan di mana pelatihan itu digelar. 

Dua kardus paket buku yang saya dan Farid dapatkan dari KF Non Fiksi dibagikan diakhir sesi ke peserta pelatihan tersebut. Sebelumnya ada beberapa buku yang sudah kami sisihkan di rumah Mas Kabut paginya. Kejadian itu mengingatkan betapa kita suka dengan buku, meski masih ragu-ragu dalam membeli buku. Lebih tertarik belanja baju, pulsa, atau kosmetik daripada belanja buku.

Dari membaca buku, tentang latihan menulis, saya teringat bagaimana pemahaman menulis bisa terpenuhi dengan cara ada pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diberikan, konsep ini dipakai oleh Aswendo dalam pelatihan menulisnya, yang kemudian dibukukan dalam buku Mengarang itu Gampang. Buku itu berisi tanya jawab soal kepenulisan yang terbagi dalam beberapa bab.

Buku yang ditulis AS Laksana tentang Creative Writing dan 101 Hal yang Wajib Diketahui untuk Mahir Menulis juga memaparkan latihan menulis yang kemudian saya praktikkan. Seperti menulis ulang karya orang. Pengalaman menulis ulang membuat saya bisa lebih paham kata per kata itu ditulis. Latihan mengalami menjadi penulis yang lancar. Saya ketik ulang esai-esai AS Laksana di Jawa Pos rutin. Hasil dari latihan itu ada tulisan yang bisa dimuat di Tribun Jateng.

Menulis dengan cara freewriting juga pernah saya coba, dengan cara itu pernah menghasilkan tulisan yang dimuat di rubrik khusus mahasiswa di Suara Merdeka. Menulis dengan cepat dalam waktu lima menit, setelah itu diedit.

Tentang bahan untuk latihan baik terkait pemahaman atau metode latihan, juga bisa dikumpulkan dari berbagai materi yang ditulis dan dipublikasikan oleh penulis-penulis. Hasil kliping materi itu bisa disajikan untuk dibaca peserta pelatihan menulis. Cara ini minim biaya, bisa hampir gratis karena bisa ditemui di blog penulis terkait atau website yang bisa diakses siapa saja. 

Kembali pada obrolan silabus pelatihan menulis, saya kira pelatihan yang baik itu yang mampu membuat peserta tertarik menulis. Dan menulis seperti bagian satu sisi mata uang, sisi lainnya itu membaca. Keduanya diperlukan dalam pelatihan menulis. Dan karena menulis itu keterampilan, latihan menulis terus menerus diperlukan.


Arif Rohman, bergiat di Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku).

0 comments