Pupus
Tutup matamu dengan tenang, aku
di sini.
***
Ruangan
perawatan khusus yang cukup besar ini tetap membuatnya sesak. Kecerobohannya
membombardir dirinya secara telak. Ia lemah, terasing, dan tak punya asa.
Namun, kata seorang berjas putih itu, dia harus kuat.
Namanya
Jay. Laki-laki yang harus menjalani hidup terisolasi, dengan penanganan khusus,
setelah kecelakaan hebat yang menimpanya. Berkendara dalam keadaan mabuk,
membuatnya harus hilang ingatan, kedua kakinya patah, bahkan nyawanya hampir
lepas kala itu. Untung saja hari itu ternyata malaikan maut hanya lewat saja.
Ia mendapatkan kesialan ini karena kesalahannya sendiri. Sekarang ia
hanya bisa hidup dalam ruang perawatan dengan pen yang terpasang di kakinya,
serta memori yang hilang. Dia sendiri tidak ingat, bahkan tidak yakin jika
namanya adalah Jay. Nama Jay, ia dengar pertama kali dari Ara. Ya, teman kecilnya yang sekarang merawatnyalah yang
memunguti kepingan-kepingan ingatan miliknya. Entah sampai kapan, tapi Ara
selalu percaya keajaiban dari kuasa Tuhan.
“Jay,
bacalah! Ini dunia vampirnya lucu deh. Gila, pokoknya ini recommended banget,” ujar Ara yang menunjukkan halaman dua puluh
pada buku bersampul hitam. Sebuah novel fantasi yang baru saja Ara beli.
“So? Hah, novel itu sudah fiktif, apalagi fantasi, double fiktif? Dan kamu menyuruhku membaca hal tak berguna macam itu?”
“Eh
emm, barangkali ini jadi pelajaran … ehh hiburan.”
“Lebih baik kamu fokus pada tugasmu, meski aku tak yakin aku bisa sembuh.” Jay tampak pasrah.
“Jangan
mendahului kehendak … kau ini! Selama masih ada hal-hal yang bisa diusahakan,
jangan ambil keputusan yang bisa membunuh kesempatan. Tuhan punya rencana yang
bahkan tidak kamu ketahui.”
“Jadi?
Rencana yang bagaimana?” Kini Jay bangun dan duduk sambil bersandar di kepala
ranjangnya.
Sifat yang terkadang menjengkelkan milik Jay tak pernah hilang. Ara sudah paham itu sejak dulu.
“Ya
aku tak tahu. Pokoknya gini deh, Tuhan itu ngasih ujian sesuai kemampuan
hambanya. Jadi, kamu saat ini sedang diuji karena kamu itu mampu melewainya.”
“Gitu?”
Jay menunjukkan tampang masa bodohnya.
“Terserah
kamu lah.” Ara keluar, kembali ke ruang kerjanya.
Ara
adalah dokter spesialis bedah yang memilih merawat Jay secara khusus. Ia
mendapatkan Jay secara tidak sengaja. Saat itu ia dipanggil untuk segera
melakukan tindakan operasi terhadap pasien kecelakaan. Ara sempat kaget saat
tahu jika pasien itu adalah Jay, teman masa kecilnya.
Setelah
Jay siuman, Jay tidak mengingat apa pun. Kondisinya pun tidak benar-benar baik.
Ara memprediksi pemulihan kakinya akan cukup lama, untuk amnesianya, ia pun
tak yakin akan cepat.
Ia
pribadi yang sosialis dan humoris. Walau humornya jelas-jelas mentah. Tapi ia
tak patah berusaha. Terbukti saat ia berhasil mendatangkan badut kota di rumah
sakit, untuk Jay. Waktu kecil, Jay menyukai badut. Setidaknya itu adalah usaha
Ara untuk mengumpulkan ingatan Jay.
“Ara…”
“Ya
Jay?”
“Aku capek, aku nggak kuat kalau harus begini. Ngerepotin kamu, ngerepotin banyak
orang,” ujar Jay yang sangat putus asa kala itu.
“Aku nggak ngerasa terbebani, ini tugasku. Aku jamin kamu bakal sembuh.” Entah
iba atau lelah dengan Jay, Ara meninggalkan ruangan.
***
Tiga
bulan, Jay hidup dalam ruang perawatan tanpa berinteraksi dengan orang lain,
selain keluarganya, dokter, perawat dan Ara. Ia rindu dengan teman-temannya.
Rindu dengan macet yang membuatnya terus-terusan mengumpat sepanjang jalan, juga dengan senja yang mengantarkannya pulang.
“Jay,
nanti kalau sembuh aku bakal ajak kamu ke tempat favoritku.” Ara sedikit
antusias.
“Ke
mana?”
“Ah
sudahlah, ini wacanaku sih. Pokoknya nanti.” Ara mulai kehabisan ide untuk
menghibur Jay.
“Kapan
saya sembuh?”
“Sebentar
lagi barangkali, kakimu sudah mulai kuat menopang.” Ara mengacungkan dua
jempolnya.
Jay
hanya tersenyum miring. Ia memainkan origami burung yang diberikan Ara.
“Saya
rindu langit.” Jay memandang lekat warna biru langit pada origami yang diberikan Ara.
Ara
tersenyum pasi melihat Jay, seketika ia membuat origami awan dan menyelipkan
berpatah kata di dalamnya.
Trust me, tomorrow we will fly in the sky together
Jay
mengembangkan senyumnya.
“Don’t forget bring umbrella,” ia
bercakap.
“Kenapa?”
Ara menautkan alisnya.
“Jaga-jaga
kalau hujan hehe.” Jay tampak absurd kala itu.
***
“Bagaimana?
Apa sebentar lagi aku pulang?”
“Berdoalah.”
“Hmm
terima kasih sudah berusaha sejauh ini, Dok.”
***
Akhirnya
Jay bebas dari ruang perawatan yang mengurungnya demi tuntutan kesembuhan. Tak
ada kata yang bisa diucapkan kepada Ara selain terima kasih. Meski masih
memakai alat bantu, setidaknya kaki Jay sudah cukup kuat.
“Selamat
Tuan Jay.” Ara menjabat tangan Jay dan berlagak kolega, di hari Sabtu itu.
“Terima
kasih banyak Ara … eh, Bu Dokter.” Jay membalas jabatan tangan Ara dan
berlanjut pelukan singkat. Sebagian memorinya kembali, namun belum sempurnya. Setidaknya ia bisa mengingat Ara.
“Setelah
ini mau ke mana? Pulang ke rumah?” Ara mengeluarkan pertanyaan retoris.
“Iya,
eh tapi sebelumnya aku akan menemuinya.” Jay tampak bersemangat.
“Nya?”
Ara menyelidik.
“Ah
lupakan, setelah ini kita jadi kan ke tempat favoritmu, kan?”
“Emm
untuk itu, aku minta maaf. Sepertinya tidak bisa.”
“Kenapa?”
Senyap
beberapa saat di antara mereka.
“Pekerjaan?”
Jay menebak.
Ara
diam sejenak, “Oh, iya iya pekerjaan, sibuk nih hehe maaf ya. Kalau kamu mau
datang sih gapapa sendiri aja. Silakan.” Ara menyodorkan sebuah buku hitam yang
pernah ia tunjukkan pada Jay.
Pertemuan
mereka berakhir. Dengaan berat hati, Ara mengurung niatnya untuk mengutarakan
rasanya pada pemuda bernama Jay itu. Rasa yang sejak dulu ia simpan rapat, karena khawatir persahabatannya akan pupus, jika kesemuanya tak sesuai harapan.
“Seharusnya
memang seperti ini, kamu berhak punya pilihan Jay,” ujar Ara bermonolog di balik
punggung Jay yang menghilang.
***
Kini
yang Ara lihat adalah lampu terang yang menyorot tajam ke arahnya. Terlihat
banyak orang mengepungnya dengan baju hijau dan peralatan medis. Ia tak bisa
merasakan apa pun lagi. Tubuhnya mati rasa. Selang-selang sudah membalut
tubuhnya nanar. Satu-satunya keinginannya yaitu, Jay di sampingnya.
Alat
pendeteksi jantung kian menunjukkan grafik datar. Semua dokter bersiap dengan
alat kejut mereka. Semuanya pasrah. Tak ada yang bersuara dan tak ada
tanda-tanda Jay akan datang. Suasana kian terelakan dan terikhlaskan. Ara sudah
bersiap dengan segala kemungkinan.
Tiba-tiba
pintu terdorong keras. Seorang pria menampakkan tubuh basah kuyupnya. Bukan
karena hujan, tapi peluhnya sudah tak berhenti mengucur. Napasnya kian
terengah-engah di sudut ranjang. Ia meremas kasar kertas di tangannya. Ara
menuliskan semuanya di sana. Tentang perasaannya, kekagumannya, usahanya, dan
pamitnya. Pamit dari Jay dan planet biru ini. Kanker itu tak bisa terus
menyakiti tubuhnya. Ia harus pamit. Ara tersenyum lega saat Jay mengunjunginya
terakhir kali. Ia bahagia, sangat. Kini semuanya berakhir, dunianya telah gelap
sempurna.
Ara terus menyemangati pasiennya agar kuat, tapi ia sendiri telah kalah. Tak ada yang tahu selama ini, hanya ia, karena ia tak ingin orang-orang yang mencintainya khawatir padanya. Dokter juga bisa sakit.
“Tutup
matamu dengan tenang, aku di sini.” Jay memegang tangan Ara erat.
***
Aliyah Ramadhani Azzubair, disapa Aliyah atau
Ali oleh teman-teman sekelasnya. Bernama pena Taureli yang disematkan setiap ia
membuat quote ataupun karangan fiksi. Lahir pada bulan November 2003 dan masih
menduduki kelas 11 di SMA N 2 Kudus. Remaja berzodiak scorpio ini, punya hobi
lain selain menulis. Yaitu menggambar, yang kini sedikit banyak di posting pada
laman instagramnya. Melalui hobi-hobinya ini, ia dapat berekspresi dan
berkarya.
1 comments
Keren.
BalasHapus