Tahun Baru dan Larangan Keluar dari Zona Nyaman
Tahun baru adalah peristiwa biasa. Apa sebenarnya yang
menarik dari peristiwa biasa?
Setiap tahun, setiap malam tanggal 31 Desember yang
berbatasan langsung dengan tanggal 1 Januari, yang kita sebut sebagai malam old and new itu, adalah malam yang
mengalir dan berganti seperti malam-malam kemarin atau seperti malam-malam yang
akan datang. Sebuah malam yang biasa saja; mungkin hujan, bertiup angin
kencang, tanpa terang rembulan, dingin atau mungkin gerah.
Malam berjalan dengan kecepatan yang sama dibandingkan dengan malam-malam yang lain; tidak lebih
cepat atau lebih lambat. Mengapa banyak orang berduyun-duyun keluar rumah
menuju alun-alun kota, pantai, taman, atau menginap di hotel dengan mengeluarkan
uang jutaan rupiah? Mengapa mereka menunggu detik-detik perpindahan waktu itu
secara beramai-ramai seperti menunggu detik-detik perpindahan kekuasaan dalam
suasana gegap gempita?
Malam tersebut menjadi malam yang aneh. Musik berdentang
keras, petasan meledak serupa bom menggetarkan telinga, kembang api meluncur
serupa roket, dan terompet melengking menyumbat lubang telinga. Seandainya kita
bisa terbang, kita mungkin akan terbang mengejar kembang api yang meluncur ke
udara itu, lalu kita menarik bandul jam dan menjatuhkan sebuah meteor di kepala
orang-orang yang berkerumun tersebut.
Heemmm, di manakah menariknya tahun baru? Bahkan lima menit
setelah pergantian tahun baru itu, kita tidak tahu apa yang akan terjadi.
Tahun baru atau hari baru, minggu baru, atau bulan baru
adalah sebuah peristiwa atau kejadian biasa belaka. Sebagai sebuah peristiwa
tentu bersifat netral. Seperti halnya semua peristiwa yang ada di dunia ini
tidak akan pernah menjadi penting; tidak akan pernah bermakna sebelum kita
memberikan makna padanya. Bahkan hidup kita sekalipun bisa jadi hanyalah sebuah
peristiwa belaka, jika kita tidak memberinya makna.
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Dari penggalan sajak berjudul "Karawang-Bekasi" karya Chairil
Anwar di atas, kita bisa menarik sebuah pelajaran bahwa yang membuat peristiwa,
pengalaman hidup, sejarah, atau tubuh kita menjadi berharga, tak lain adalah
makna atau nilai itu yang kita berikan kepadanya.
Ketika kita membaca di sosial media tentang berbagai wacana
yang sangat beragam; ada yang menganggap merayakan tahun baru itu tindakan yang
salah atau benar, sesuai dengan adab atau bertentangan dengan adab; sebenarnya
adalah masalah pemberian makna terhadap sebuah peristiwa biasa yang terjadi
pada malam old and new.
Peristiwa old and new itu
bermakna baik atau buruk, berpahala atau berdosa, bermanfaat atau merugikan,
semua itu tergantung pada kita yang memberi makna. Sejujurnya saja, saya tidak
berani melakukan justifikasi bahwa merayakan tahun baru itu salah atau benar;
merayakan tahun baru itu boleh atau dilarang. Sebab, sebuah peristiwa apa pun
yang kita saksikan dan kita alami sesungguhnya kita hanya bisa menyaksikan
melalui daya jangkau pemaknaan yang kita berikan.
Ibaratnya seperti ini. Anda bertahun-tahun sudah tinggal
serumah dengan istri dan anak-anak anda. Apakah Anda sudah benar-benar mengerti
bagaimana sebenarnya sosok istri anda. Tidak bisa, bukan?
Apa yang anda ketahui terhadap istri anda, ternyata belum
tentu sama dengan apa yang diketahui oleh anak anda, mertua anda, atau tetangga
anda terhadap istri anda. Seorang istri yang Anda tinggali itu ternyata
memiliki beragam peta sesuai dengan perasaan, penilaian, dan makna yang
diberikan oleh masing-masing individu. Sedangkan peta bukanlah wilayah. Apa
yang anda ketahui terhadap istri anda, ibaratnya adalah sebuah peta belaka.
Istri anda sebagai sebuah wilayah, hanya mampu Anda pahami sesuai peta yang ada
dalam pikiran Anda.
Peta di pikiran Anda tentu saja tidak bisa menggambarkan
wilayah seluruhnya. Peta Anda tidak bisa
dikatakan seluruhnya benar, juga tidak bisa dikatakan seluruhnya salah.
Pemaknaan yang Anda berikan terhadap malam tahun baru itu dipengaruhi oleh
banyak variabel, salah satunya, adalah
referensi atau informasi yang masuk ke pikiran anda dan diukur dari
hasil yang Anda dapatkan. Jika referensi
yang Anda punya itu baik, pemaknaan yang Anda berikan juga baik, dan hasilnya
juga akan baik.
Penghakiman tentang salah dan benar terhadap sebuah kejadian, menjadikan diri kita kurang bijak.
***
Tahun baru adalah halaman buku kosong. Apa sebenarnya yang
menarik dari sebuah buku kosong?
Saya yakin Anda sudah memiliki resolusi di tahun baru 2020
ini. Meskipun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resolusi tidak dikaitkan
dengan tahun baru, kita menggunakan istilah ini sebagai suatu keputusan bulat
tentang hal-hal yang akan kita lakukan atau tidak akan kita lakukan dalam
rangka mencapai tujuan dan harapan di tahun 2020. Keputusan atau tekad bulat
itu bisa soal keuangan, hubungan, atau pekerjaan.
Mungkin Anda mempunyai rencana-rencana baru atau keinginan keluar dari zona nyaman. Saran saya, janganlah
mudah terprovokasi oleh pikiran-pikiran progresif dan radikal. Hahaha…
Benjamin Franklin berkata, "Jika
Anda gagal merencanakan berarti anda merencanakan kegagalan." Bagus, kan?
Tapi, jika hidupmu adalah sebuah pertempuran,
sebaiknya gunakan ucapan Dwight D. Eisenhower yang ini. “In preparing for battle I have always found
that plans are useless, but planning is indispensable.” Dalam mempersiapkan
pertempuran aku selalu menemukan bahwa rencana itu tidak berguna, tetapi
perencanaan sangat diperlukan.
Hati-hatilah dengan rencana baru.
Janganlah terlalu keluar dari apa yang sudah Anda fokuskan dari tahun
sebelumnya. Ada kemungkinan terburuk dari sebuah rencana. Pertama, Anda gagal mencapai rencana alias tidak sesuai harapan. Kedua, Anda bisa keluar dari rencana
yang Anda tetapkan.
Ketika saya sudah 20 tahun menjadi
guru, perlukah saya mempunyai rencana baru menjadi anggota DPR? Tidak, ah. Lebih
baik saya mentaati kurikulum hidup saya. Mencari kemungkinan-kemungkinan baru untuk
mengembangkan diri saya. Itu akan lebih bermanfaat. Ketika saya berkutat di profesi
guru, kemungkinan jeleknya saya akan tertikam oleh kebosanan. Saya akan berada
di zona nyaman. Saya kira itu wajar dan tidak terlalu buruk.
Akan tetapi, jika saya keluar
dari zona nyaman, apakah kemudian saya akan mendapatkan zona yang lebih nyaman?
Sejak kecil hidup saya sudah berada di zona tidak nyaman, haruskah saya keluar
dari zona nyaman? Sementara zona yang baru, belum tentu akan lebih nyaman. Buat
apa pindah ke zona lain, jika saya tidak mendapatkan zona yang lebih nyaman.
Bukankah setiap orang menginginkan hidup di zona yang lebih nyaman?
Kembali lagi, ini adalah masalah
memberi makna pada hidup kita sendiri. Apa sebenarnya yang kita maksud dengan
zona nyaman? Jangan-jangan yang kita anggap zona nyaman itu, sebenarnya adalah
zona malas belaka. Selama ini kita mungkin
merasa nyaman dengan kebiasaan buruk. Bangun siang, lalu ngopi, lalu nge-game,
kuliah tanpa persiapan, mengerjakan tugas hanya copy-paste. Kita pulang kuliah,
lalu nge-mie, lalu tidur, dan nongkrong sambil merokok bersama teman-teman. Jika
itu yang kita anggap sebagai zona nyaman, ya, kita wajib bermigrasi secepatnya.
So, sekarang jawablah pertanyaan saya. Apa yang paling penting terkait dengan hidup anda, atau apa yang paling Anda hindari terkait dengan hidup Anda. Jawaban Anda akan menentukan outcome. Dan, halaman kosong buku Anda sekarang mulai terisi oleh suprise yang jauh lebih menarik.
***
Baca juga Long Weekend Akhir Tahun atau Pada Malam Sakit Gigi.
Jimat Kalimasadha, redaktur
tajug.net, bisa diakses melalui bit.ly/bu-buku
0 comments