Gawai vs Budaya Bercengkerama
Saya
tadi mengantarkan si ragil bertemu temannya, yang pernah menjadi satu angkatan
polisi cilik (pocil) di Kepolisian Resort (Polres) Kudus, Jawa Tengah, di
tempat biasa berlatih pocil ketika mereka masih aktif. Di tempat tersebut
sedang dilaksanakan kegiatan Patroli
Keamanan Sekolah (PKS), yang kebetulan pelatihnya adalah pelatih pocil. Jadi, selain ingin bertemu dengan temannya, si ragil juga ingin bertemu mantan pelatihnya. Temannya yang mantan pocil, sepertinya dimintai membantu
melatih PKS. Singkatan PKS dalam teks ini bukan dalam maksud mengaitkannya
dengan salah satu nama partai di negara kita, tetapi memang seperti itu
singkatan “Patroli Keamanan Sekolah”.
Dalam
perjalanan, saya berpesan kepada si ragil, saat sudah bertemu dengan teman dan mantan
pelatih, gawai harus disimpan. Tidak boleh dipegang. Artinya, gawai dipasifkan
sementara. Sebab, tujuan bertemu adalah
untuk berkomunikasi langsung. Berbincang-bincang (banyak hal) tentang
pengalaman yang telah terlewati, kejadian yang sedang teralami, atau hal-hal lain
yang berkaitan dengan pocil.
Satu kepentingan
Memusatkan
pada satu kepentingan yang sejak awal sudah direncanakan merupakan hal prinsip. Kalau tujuan awalnya
bertemu untuk berkomunikasi haruslah dibangun aktivitas komunikasi. Tidak boleh
melakukan aktivitas yang lain. Sebab, kalau melakukan aktivitas yang lain, tentu
saja tujuan yang sejak semula sudah diharapkan tidak tergapai. Jadi, percuma
mengadakan pertemuan kalau kepentingan awal diabaikan.
Mengapa
hal ini saya singgung? Karena sekarang sering kepentingan awal terabaikan
oleh aktivitas nutal-nutul gawai.
Pengalaman yang seperti itu sudah sering terjadi. Niat awalnya rapat, misalnya,
tetapi begitu sampai di tempat rapat, justru sibuk dengan gawai. Kita mungkin pernah
melakukan perilaku itu sekalipun kita tidak menyadarinya, atau menyadarinya.
Maka,
wajar kalau kemudian berkaitan dengan gawai, sebagian orang menyatakan bahwa kondisi
yang jauh menjadi dekat, tetapi yang dekat menjadi jauh. Pernyataan tersebut
(sebenarnya) berangkat dari kenyataan yang selama ini terjadi, yaitu
orang-orang yang berada dalam satu tempat tidak berdialog, tetapi mereka malah
mengoperasikan gawai masing-masing untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang berada
di tempat lain atau ngegame.
Menyadari
hal tersebut, saya ingin si ragil memanfaatkan waktu pertemuannya dengan teman
dan mantan pelatihnya memang untuk berbincang-bincang. Atau, setidaknya
melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pocil. Misalnya membantu mantan
pelatihnya berkaitan dengan kegiatan PKS yang sedang dilakukan. Toh temannya,
seperti yang sudah saya sebut di atas, diminta untuk membantu melatih PKS.
Harapan
saya terkabul. Sebab, setiba di rumah, setelah saya menjemputnya, ia mengatakan
bahwa ia diminta juga ikut melatih. Atau lebih tepatnya mengawasi karena
kegiatan PKS tersebut, katanya baru tahap seleksi. Ia dan temannya diminta
mantan pelatihnya untuk mengecek peserta seleksi PKS saat melakukan dasar baris-berbaris.
Bagi
saya, peran tersebut sudah sangat besar. Sebab, peserta seleksi PKS adalah
siswa SMP kelas VII, yang berarti kakak tingkat mereka. Sementara, kini, si
ragil dan temannya masih SD kelas VI. Tetapi, mereka memang sudah
berpengalaman dalam baris-berbaris. Kegiatan pocil yang setahun kemarin terlibat aktif, pernah mengantarkan mereka ke Jakarta, yang akhirnya bisa
bertemu dengan presiden dan Kapolri.
Keterlibatan
mereka dalam kegiatan seleksi PKS menunjukkan bahwa pertemuan mereka tidak
sia-sia. Malah sangat menguntungkan si ragil. Sebab, pertama, ia dapat bertemu
dengan temannya dan mantan pelatihnya, yang tentu banyak hal yang dipercakapkan
dan sekaligus memenuhi rasa rindu. Kedua, adanya aktivitas PKS yang di dalamnya
mereka terlibat, diakui atau tidak, menjadikan
keterampilan bidang pocil yang mereka miliki tersegarkan kembali.
Di
dalam semuanya itu, sikap si ragil dalam bersosialisasi
terasah. Gawai yang dibawanya tidak merintanginya berelasi dengan temannya dan
mantan pelatihnya, bahkan dengan peserta seleksi PKS, yang tidak ada satu pun di
antara mereka yang dikenalnya. Tetapi, tidaknya kontak mata, bahasa
isyarat, atau bahasa verbal (yang mungkin hanya searah sifatnya) terhadap
peserta seleksi PKS telah menandai terjadi sebuah relasi dan komunikasi.
Relasi Renggang
Hal
tersebut penting saya tekankan karena pada zaman now, relasi batin, psikologi, dan
rohani antarorang sangat renggang. Tuntutan hidup yang dari waktu ke waktu semakin
membutuhkan mobilitas yang tinggi, sangat menyita banyak waktu orang untuk dapat
berdialog dan bercengkerama.
Kenyataan
tersebut dapat kita buktikan betapa sulitnya menemukan kebiasaan masyarakat kongko-kongko
atau yang sering kita menyebutnya dengan istilah jagongan. Sekarang di
pos-pos kamling sepi pengunjung, termasuk budaya ronda malam, yang sebetulnya, dapat
menjadi wadah warga untuk berbincang-bincang sekaligus menjaga kampung, pun sudah jarang dilakukan.
Semakin
memprihatinkan, karena sekarang di
beberapa kampung, uang jimpitan ditarik
saat pertemuan rukun tetangga (RT), yang sebulan sekali pelaksanaannya. Dahulu,
ketika masih ada budaya ronda malam, uang jimpitan diambil setiap malam oleh
peronda malam dari rumah ke rumah. Uang jimpitan lazimnya diletakkan di tempat tertentu, misalnya dalam kaleng kecil bekas cat atau potongan bambu, diikatkan di pagar
atau tiang di depan rumah.
Cara
tersebut, sekurang-kurangnya, menelurkan tiga keuntungan. Pertama, warga
kampung semakin guyub. Sebab, saat berkeliling kampung dari rumah ke rumah
mengambil jimpitan dilakukan bersama-sama. Momen ini semakin membangun kebersamaan
dan kerukunan.
Kedua,
peronda malam dapat mengenal satu per satu rumah tetangga dalam lingkup RT. Sehingga
setiap warga akhirnya saling mengenal orang dan rumahnya. Tidak seperti
sekarang, yang boleh jadi warga dalam lingkup satu RT belum tentu saling
mengenal orang dan rumahnya. Maka, tidak jarang ketika ada orang dari luar
kampung menanyakan salah satu warga dalam kampung, warga dalam satu kampung
tidak dapat menjawabnya.
Ketiga,
budaya ronda malam menciptakan keamanan kampung. Peronda malam yang keliling kampung,
berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain, dengan bermain thong-thek, dapat
membangunkan sebagian orang dalam rumah. Sehingga mereka yang bangun dapat melihat keadaan rumahnya aman atau tidak.
Peronda yang bersama-sama berkeliling kampung dapat saja mengurungkan niat orang berlaku
jahat.
Jadi,
betapa pentingnya (membangun) relasi dalam kehidupan bermasyarakat. Karena dapat
membangun ikatan sosial dan kultural antarwarga semakin erat. Dengan begitu,
mendorong masyarakat ke kehidupan yang
aman, damai, dan sejahtera.
Hanya,
tidak mudah memang menghadirkan keguyuban pada era sekarang. Sebab, orang-orang
yang sudah berada dalam satu tempat saja, tidak mesti saling berkomunikasi, karena kekuatan gawai
ternyata lebih hebat menyedot emosi dan logika mereka ketimbang kekuatan mengobrol
dan bercengkerama.
Optimis
Sekalipun
kondisinya seperti itu, kita harus (tetap) berupaya mendorong adanya budaya
bercengkerama, sekurang-kurangnya, memulainya dari keluarga. Saya mengizinkan si
ragil membawa gawai saat bertemu dengan temannya dan mantan pelatihnya tidak
berarti saya mendorong mereka tidak bercengkerama. Tidak. Tetapi, ketika sudah
waktunya pulang, agar ia dapat memberi tahu saya. Sehingga, saya bisa langsung menjemputnya.
Toh saya (ketika mengantar) mengingatkannya
agar saat sudah bertemu temannya dan mantan pelatihnya, gawai dipasifkan. Dan, alihkan dengan bercengkerama.
Anda
mungkin menyangsikan tingkat kepatuhan anak. Boleh saja. Tetapi, saya memiliki
keyakinan ketika orang tua dan anak sudah terbiasa mengambil kesepakatan dalam
hal apa pun, termasuk pemakaian gawai, tidak perlu (lagi) ada yang disangsikan.
Toh kesepakatan lazimnya diikuti
konsekuensi-konsekuensi. Sehingga, kalau ada pihak-pihak yang tidak menaati
kesepakatan, konsekuensi harus dikenakan. Tidak boleh tidak. Termasuk kalau
orang tua melanggar kesepakatan, konsekuensi harus tetap diberlakukan. Dengan
begitu, lambat laun kepatuhan akan tertanam dalam diri anak dan orang tua. Akhirnya,
terbentuk keluarga yang menjunjung kepatuhan.
Keluarga-keluarga
patuh barangkali dapat menjadi penggerak budaya bercengkerama. Karena, dalam
keluarga yang seperti itu, anggota-anggotanya dapat bersepakat, misalnya, kapan
boleh mengoperasikan gawai; kapan bercengkerama. Kalau cara tersebut
dipraktikkan oleh semakin banyak keluarga bukan mustahil budaya bercengkerama semakin
berkembang. Dan, itu berarti keguyuban akan mengikis kesendirian yang sekarang
sedang “meraja”. Semoga.
Sungkowo, sosok penyuka sayuran ini senang membaca dan
menulis. Sekarang ia masih menggawangi blog berbahasa Jawa, Cathetan Dwija,
beralamat http://cathetandwija.blogspot.com dan blog
berbahasa Indonesia, Coretan Guru, beralamat https://kowoblog.wordpress.com,
meskipun tidak seaktif dulu. Ia juga mengirim tulisan ke kompasiana, tepatnya
di https://www.kompasiana.com/pakdhekowo dan ke
gurusiana, tepatnya di https://sungkowo.gurusiana.id/. Berprofesi
sebagai guru. Mengajar di SMP Negeri Jati, Kudus, Jawa Tengah. Beberapa
tulisannya pernah di muat di Tribun Jateng; Radar Kudus, Jawa Pos; Suara
Pembaruan; Surya; buletin Psikoligi plus; dan majalah Kartini.
2 comments
Jadi generasi merunduk ya, Pak. Sibuk dengan gawainya masing2.
BalasHapusMasih aktif di Kompasiana juga kah,Pak. Salam
Betul, Bu Dinda, generasi merunduk. Hehehe.
BalasHapusMasih aktif, Bu.