Jaemin Ingin Ayah Pulang

Ginasti Mareta

cerpen korea Kpop


Jaemin, masih setia menunggu kedatangan ayahnya di stasiun setiap harinya.

Suara kereta yang menjauhi Stasiun Yongsan menandai hari telah usai. Kereta terakhir hari ini seolah menjadi harapan terakhir bagi seorang pemuda yang memiliki paras dan hati sesuci malaikat. Ia berekspresi datar begitu menyadari satu lagi hari yang membuat harapannya musnah.

Walau begitu, akhir hari ini tak menyurutkan secercah harapan dalam hatinya. Harapan yang pupus hari demi hari lalu, tak lantas mematahkan sisa harapan yang ia miliki. Baginya selagi masih ada hari esok, maka tak ada alasan untuk mematahkan sisa harapan dalam hati.

Langkah demi langkah membawa Jaemin menjauhi stasiun kereta. Kini raganya berhadapan langsung dengan malam di Kota Seoul. Hoodie hitam kesayangannya tak lagi mampu menghalang embusan angin malam yang terasa begitu dingin menusuk tulang. Ditambah lagi dengan butiran salju yang mulai turun akhir-akhir ini membuatnya ingin cepat-cepat sampai rumah.

“Jaemin, kau dari stasiun lagi ya?”

Manik cokelat milik Jaemin mengabur dan terfokus kembali pada seorang pemuda seumuran dirinya  yang sedang duduk santai di kursi taman dekat kompleks perumahannya.

“Jeno? Sedang apa kau malam-malam di sini?” Jaemin berbalik tanya pada Jeno.

Jung Jeno, sahabat kecil Jaemin. Putra dari Mayor Jung Jaehyun, yang merupakan salah satu rekan ayah Jaemin di kemiliteran. Jeno juga bernasib sama dengan Jaemin, kedua ayah mereka adalah patriot-patriot bangsa, yang sepertinya lupa arah jalan pulang. Begitu Jeno biasa menyebutnya.

“Tadi aku hendak ke rumahmu, tapi aku ingat kau pasti belum pulang ke rumah sebelum kereta terakhir pergi. Jadi, aku lebih memilih menunggumu di sini.”

“Ya-ya-ya, terserah kau saja. Oh ya, ada apa kau mau ke rumahku?”

“Mmmm, sebenarnya aku bosan di rumah. Jadi aku ...”

"Jadi kau ingin menginap di rumahku lagi dan bermain game sampai pagi buta? Tidak-tidak, Bibi Jung pasti akan memarahi kita berdua kalau sampai ketahuan,” balas Jaemin.

“Aku sudah meminta ijin pada ibuku tadi. Jadi tenang saja, toh juga esok kan sekolah libur.” Jeno kini berusaha meyakinkan Jaemin.

“Baiklah kalau seperti itu, kajja!” Akhirnya Jaemin menyetejui ajakan sahabat kecilnya itu. 

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, mereka asik bercengkrama yang sedikit disisipi oleh banyolan konyol dari Jeno.

“Oh ya Jaemin, kau sudah dengar sesuatu?” tanya Jeno.

Jaemin menyerngit, “Dengar apa?”

Jeno segera membisikkan sesuatu pada Jaemin. 

“Benarkah? kapan?” Jaemin memang seantusias itu jika berbicara mengenai kepulangan ayahnya.

Jeno tersenyum lebar, “Tidak lama lagi.”

Wajah semringah Jaemin semakin menjadi-jadi, menampilkan deretan giginya yang tersusun rapi. Akhirnya ia akan memecahkan celengan rindunya kepada sang Ayah.

***

Jaemin begitu senang, hari yang ia nanti-nantikan akhirnya tiba. Hari kepulangan sang Ayah dari tugas negara. Jaemin bahkan melupakan sekolahnya, karena tidak ingin pergi kemanapun hari ini.

Membayangkan memeluk sang Ayah setelah sekian lama, Jaemin tersenyum lagi dan lagi. Tak ingin larut dalam lamunannya, Jaemin beralih pada bingkai foto besar yang terpajang di ruang keluarganya. Menampilkan sesosok wanita muda berparas cantik dengan surai hitam legam yang sangat indah.

“Selamat pagi Bunda, aku lupa memberi tahu kalau hari ini ayah akan pulang. Apa Bunda sama bahagianya sepertiku?” Jaemin berulang kali mengucapkan kalimatnya sendiri, sambil sesekali mengusap foto ibunya.

Berbicara mengenai ibunya, sosok wanita itu adalah pahlawan dalam hidupnya setelah sang Ayah tercinta. Hari di mana sang ibu meregang nyawa adalah hari keberangkatan ayahnya dalam misi perdamaian. Tak ada yang dapat mendefinisikan bagaimana cinta seorang tentara pada negara juga pada istrinya. Yang ada hanyalah hujatan serta cacian dari semua orang yang nampaknya tak mampu mengurangi jiwa nasionalisme sang Ayah.

“Jaemin!”

Jaemin menghentikan aktivitasnya dan beranjak keluar rumah. Sepertinya itu suara Jeno, batinnya dalam hati.

“Jeno ada apa, kenapa berteriak seperti itu?” Dahi Jaemin berkerut melihat banyak orang berseragam loreng khas para tentara berada di pekarangan rumahnya. Ia mengedarkan pandangannya dan melihat Jeno sudah berlinang air mata. Di belakang Jeno, berdiri gagah Mayor Jung yang menatapnya dengan sendu.

Napas Jaemin tercekat di tenggorokan, jemarinya bergetar hebat dan keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya. Ia tak bergeming saat Jeno memeluknya erat sembari berulang kali merapalkan kata-kata yang menenangkan.

Pandangannya menatap lurus di mana kedua pintu rumahnya sudah terbuka lebar dan sekitar sepuluh orang mengangkat sebuah peti yang tertutup bendara negaranya. Napasnya kembali tak beraturan dan dengan agak kasar Jaemin mendorong Jeno. Ia seolah menutup telinga saat suara keras tubuh Jeno menghantam marmer rumahnya.

Fokusnya hanya pada peti yang saat ini di turunkan perlahan tepat di hadapannya. Lalu sebuah foto diletakkan di depan peti itu.

Untuk sesaat, Jaemin merasa dunianya berputar berpuluh-puluh kali lebih cepat, menghempaskan dirinya keluar kemudian menghancurkannya menjadi kepingan-kepingan lempeng kecil.

Meski alam bawah sadarnya berkata untuk mencerna keadaan sekitar, Jaemin tidak bisa melakukannya dengan benar.

“Teganya kalian meletakkan foto ayahku di peti mati seseorang!” Teriakan Jaemin terdengar sangat parau dan menyayat hati.

Tak ada yang berani berujar dalam ruangan itu, hingga dirasakannya sebuah pelukan dan tangisan seseorang kembali berada di dekatnya. “Jaemin, tabahkan dirimu. Ini sudah takdir.” Isakan Jeno masih memenuhi telinga Jaemin.

“Takdir? Kau ini apa-apaan! Apa kau tak melihat betapa kurang ajarnya mereka meletakkan foto ayahku di depan peti mati orang lain!”

“Jaemin.” 

Jaemin beralih menatap Mayor Jung dengan tatapan nanar.

“Paman! Tolong tembak mereka semua! Mereka semua telah berani meletakkan foto ayahku di depan peti mati orang lain, mereka semua sudah kurang ajar kepada ayahku.” Jaemin menarik napas lebih dalam saat dadanya mulai terasa sesak bukan main.

“Kau harus menghukum mereka semua, ayah akan pulang hari ini kan? Tolong cepat katakan di mana ayah, Paman.”

Salah seorang tentara memberikan sebuah kotak kepada Mayor Jung, lalu dengan perlahan Mayor Jung mulai menyerahkan itu kepada Jaemin. “Jaemin, bukalah.”

Jaemin menggeleng, “Ayah selalu berkata untuk tidak menerima sesuatu apa pun dari orang asing.”

Mayor Jung menghelakan napasnya pelan seraya berkata, “Aku orang asing bagimu?”

Jaemin menangis, menangis tersedu setelah kotak itu terbuka. Seragam kebanggan sang Ayah terlipat rapi di kotak itu. Tapi tak lagi berwarna loreng, ada merah pekat tercetak di beberapa bagiannya.

Ia langsung berlalu ke arah peti mati di hadapannya dan memeluknya erat. Lelehan cairan bening yang keluar dari mata indahnya mulai membasi bendera penutup peti itu.

“Ayah, kau benar-benar pulang? Aku senang bisa bertemu denganmu kembali, tapi mengapa? Mengapa kau pulang tanpa membawa serta nyawamu Ayah?” Suara isakan Jaemin terasa begitu menyakitkan bagi siapa pun yang mendengarnya.

***

Masih dengan setelan jas hitam yang melekat di tubuhnya, Jaemin termenung memandangi sebuah nisan bertuliskan nama sesorang, "Lee Taeyong". Melihat nama itu membuat Jaemin ingin menolak takdir Tuhan yang satu ini.

Di balik tanah ini tersimpan raga seorang patriot bangsa yang setiap embusan napasnya hanya didedikasikan untuk kedamaian negeri. Seseorang yang rela meninggalkan keluarganya hanya demi keamanan seluruh warga negara.

Terkadang Jaemin memiliki suara lebih lantang dari siapa pun, tidak hanya mendeklarasikan namun ikut mewujudkan apa yang dimaksud dengan kedamaian dunia yang sesungguhnya.

Namun, apa artinya anak usia delapanbelas tahun di dunia ini? Hanyalah buih lautan yang akan lenyap diterpa gelombang.

Dengan berat hati, Jaemin mulai berdiri dan tak lupa mengecup nisan ayahnya. Ia kembali menyusuri jalanan Kota Seoul sendirian, tatapannya kosong serta kantung mata yang mulai menghitam dan bibir yang memucat. Mungkin orang-orang akan berlari ketakutan melihat rupanya sekarang. Tetapi Jaemin memilih untuk acuh.

Jaemin pergi ke tempat-tempat kenangan indah ia dan ayahnya. Menara Namsan, Gedung SM, Kedai Kopi dan tempat-tempat lain yang menjadi saksi bisu kisahnya dengan sang Ayah tercinta.

Menatap tempatnya, kemudian bayangan keduanya yang sedang tertawa bahagia muncul begitu saja di mata Jaemin, membuat rasa sesak di dadanya semakin dalam.

Langkah Jaemin terhenti di tepi jembatan Sungai Han. Ia menatap bentangan air yang begitu luas dengan tatapan putus asa. Perlahan cairan bening meleleh dan jatuh membasahi rahang tegasnya. Jaemin kembali menangis tanpa diperintah.

“Ayah keterlaluan sekali.”

Bahu Jaemin mulai naik turun dan gemetaran, kini ia sama sekali tak punya semangat untuk hidup.

“Maafkan aku Ayah, aku sudah lelah. Aku tidak akan menunggumu lagi sekarang, aku akan langsung menjemputmu di sana.”

Jaemin melangkah mendekati tepi jembatan itu dan berhenti di ujung, “Sekali lagi maafkan aku Ayah, ini sudah pilihanku.”

Seperkian detik berikutnya tubuh Jaemin sudah terjun bebas menuju dalamnya Sungai Han.

Tak bisa dipungkiri, Jaemin sudah lelah dengan semuanya. Sekuat apa pun dia, anak itu pasti akan merasa lelah juga. Dan pada hari ini Jaemin sudah tak dapat lagi menahan rasa lelahnya. Jaemin telah beristirahat, dia telah tertidur selamanya dan mengistirahatkan rasa lelahnya.

Selamat tinggal Jaemin. 


Ginasti Mareta, adalah sosok dibalik pemilik akun wattpad : marettakim. Lahir pada tanggal 28 Maret 2003 dan masih berstatus sebagai pelajar di SMAN 2 KUDUS. Seorang fangirl garis keras, yang dunianya hanya dipenuhi oleh khayalan manis bersama oppa tercinta. Meski sudah disadarkan berkali-kali oleh orang sekitarnya tentang halunya yang terlalu tinggi itu, tapi ia tak goyah. Karena baginya oppa adalah kemustahilan terindah, yang selalu ia semogakan dalam setiap doanya.

2 comments

  1. Oh myyyyy melihat judul "Jaemin" langsung dong aku buka.
    So saaddd aku langsung inget video klipnya Lyla yang Detik Terakhir T-T
    Aku suka Jeno ikut hadir di sini cause he's my husband wkwkwk
    Tapi bukan itu sih alasan utamanya. Jeno sama Jaemin udah sepaket jadi suka banget ngebaca scene yang ada mereka hehe
    Jaehyun sama Taeyong juga sepaket dong huhu :")
    Berharap Jeno dateng buat nyelamatin Jaemin, ternyata tidak ToT

    Secara keseluruhan baguuuuss aku sukaaa caramu menggambarkan cerita. Diksi dan susunan kalimatnya pas hehe.

    Terakhir, salam kenal sebagai sesama NCTzen. Mungkin garisku nggak sekeras kamu, tapi yang pasti aku juga kpopers wkwk
    SM Stan :'v
    Aku udah follow akun wattpadmu yas ^^

    BalasHapus
  2. Gaya berceritanya sungguh sangat enak dinikmati. Ya, mungkin ending dengan bunuh diri seakan terlalu "jalan pintas", tapi setelah melihat fakta bahwa di Korea angka bunuh diri lumayan tinggi, sepertinya pas pas saja. Keren!!

    BalasHapus