Jika Bukan Kesetiaan, yang Abadi Adalah Tragedi

Jimat Kalimasadha

esai jimat kalimasadha


Suatu hari Raja Anglingdarma, penguasa kerajaan Malawapati, memadu kasih dengan istrinya, Setyawati. Ketika sedang bermesraan, Prabu Anglingdarma diprotes karena dia tidak fokus pada tubuh istrinya. Anglingdarma tiba-tiba tersenyum ke arah dinding. Setyawati merasa tersinggung. Ia sama sekali tidak memahami apa yang dipikirkan suaminya. Menyaksikan sikap Anglingdarma, Setyawati mendongak ke arah dinding. Tapi ia tidak menemukan apa-apa di sana. Dia hanya melihat dua ekor cicak saling mendekatkan kepalanya, ekornya bergerak-gerak seperti menahan kegembiraan.

Apakah dua ekor cicak tersebut juga sedang memadu kasih seperti dirinya? Tidak terlintas pertanyaan di kepala Setyawati.

“Apakah Kakang menertawakan tubuhku?” tanda tanya besar meloncat dari bibir Setyawati.

Anglingdarma terkejut. “Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Kakang mempunyai rahasia yang Kakang rahasiakan sedemikian rahasia kepadaku?” tanya Setyawati sembari mengarahkan hidungnya yang ranum ke wajah suaminya.

“Kenapa kamu bertanya begitu?” Anglingdarma menggelengkan kepalanya.

“Pikiran Kakang bercabang. Pikiran Kakang mendua. Pikiran Kakang tidak fokus pada diriku, pada tubuhku,” jawab Setyawati. “Kakang seperti menyimpan rahasia besar yang membuat Kakang senyum-senyum sendiri.”

“Aku tidak mempunyai rahasia apa pun terhadapmu, Sayang. Aku tersenyum karena melihat dua ekor cicak itu. Mereka menyindir kita, mereka mengejek kita. Lihatlah, mereka sama seperti kita,” jelas Anglingdarma.

Setyowati mendongakkan kepalanya. Dua ekor cicak masih menempel di dinding kamar tidurnya. Mereka semakin medekatkan tubuhnya. Anglingdarma sebenarnya marah kepada sepasang cicak itu tetapi dia malah tersenyum melihat tingkah lakunya.

“Jadi, Kakang bisa memahami bahasa seekor cicak?” cecar Setyawati.

Anglingdarma menggeleng. Dia ingat pesan gurunya. Dia tidak boleh membuka rahasia bahwa sebenarnya dia memang bisa berbicara dengan semua binatang di alam raya ini. Dia mempunyai ilmu Aji Gineng, pemberian gurunya, Nagaraja. Dengan Aji Gineng, Anglingdarma bisa menguasai bahasa binatang, tetapi dengan syarat ia harus merahasiakan ilmu tersebut kepada siapa pun.  Termasuk kepada istrinya.

Tetapi, laki-laki mana yang mampu menjaga rahasia sedemikian rapat kepada orang yang dicintainya? Setyawati merasa dikhianati oleh suaminya karena suaminya menyimpan rahasia pribadi yang tidak boleh diketahuinya. Ada rahasia yang berjalan di luar orbit semestinya. Meski rahasia tersebut sebenarnya adalah rahasia keilmuan, perempuan tetaplah makhluk yang tak mampu menahan godaan rasa penasaran. Seandainya Setyawati mengetahui yang dirahasiakan oleh suaminya ternyata ‘hanyalah’ Aji Gineng, saya yakin Setyawati, sama sekali ia tidak merasa terkianati. Bukankah yang penting baginya adalah kesetiaan suaminya? Kesetiaan Anglingdarma kepada gurunya, Nagaraja, adalah tanggung jawab atau urusan yang berbeda.

Inikah yang dinamakan pengkhianatan? Jika Setyawati menganggap rahasia Aji Gineng adalah pengkhianatan atas kesetiaan, sedangkan cinta Anglingdarma begitu besar kepada Setyawati, nikmat mana lagi yang harus terdustai?

“Kalau Kakang tidak mau menceritakan rahasia itu, lebih baik aku mati dengan cara membakar diri,” ujar Setyawati sungguh-sungguh.

“Aku sudah katakan berkali-kali, ini rahasia sebenarnya bukanlah wilayahmu. Ini wilayah pribadiku sebagai seorang murid kepada guru. Tak ada hubungannya dengan kita,” jawabnya. “Kamu jangan mati bakar diri. Aku ingin hidup dan mati bersamamu.”

“Keputusanku sudah bulat. Jika Kakang tidak menceritakan rahasia itu, aku akan tetap bunuh diri dengan membakar diri,” tukasnya.

Hari berikutnya, Setyawati benar-benar mewujudkan ancaman tersebut. Perempuan cantik itu membakar diri di alun-alun Malawapati. Sebagai bukti kesetiaan pada istri dan gurunya, Anglingdarma ikut menceburkan diri ke dalam api. Dengan ikut membakar diri, dia bisa menepati janji untuk sehidup dan semati bersama Setyawati, sekaligus terbebas dari beban rahasia yang amanatkan dari sang guru.

Ketika raja tampan itu hendak meloncat ke dalam kobaran api, tiba-tiba seekor kambing bertanya sambil berteriak kepada Anglingdarma.

“Kalau Baginda terjun ke dalam kobaran api, apakah cara itu kemudian cukup menjadi bukti kesetiaan?” tanya sang Kambing. “Benarkah seperti itu hakikat kesetiaan?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Anglingdarma seketika berhenti beberapa senti dari lingkaran api yang menyala-nyala.

“Bernahkah ini hakikat kesetiaan?” pikirnya. Anglingdarma mengulangi pertanyaan sang Kambing. Mati dengan cara seperti ini, mungkin bisa diterima sebagai kesetiaan kepada istri dan guru. Akan tetapi, apakah ini bisa dianggap sebagai kesetiaan terhadap rakyat dan kerajaan?

Pikiran Anglingdarma kacau balau. Akhirnya, ia berhenti di tepi nyala api: kesetiaan adalah sebuah pertanyaan. Selalu ada pertanyaan tentang kesetiaan. Seandainya saja Anglingdarma benar-benar menceburkan diri ke dalam kobaran api mengikuti istrinya, kesetiaan akan serupa sebuah pesta perpisahan pada jalan yang gelap. Seperti halnya laki-laki, perempuan yang tidak memiliki kesetiaan, ia akan meninggalkanmu ketika jalan berubah menjadi gelap. Kesetiaan yang seharusnya menjadi perekat sebuah hubungan cinta berubah menjadi sebuah tragedi. Bukankah kesetiaan yang berakhir sebagai pesta perpisahan di jalan yang gelap, sesungguhnya adalah ketidaksetiaan. Anglingdarma menyadari semua ini sebelum ia benar-benar terlambat.

Anglingdarma sebagai seorang raja, sebagai seorang pemimpin kerajaan besar, tidak boleh bodoh terpeleset pada opsi menuruti ego pribadi. Bahkan seandainya Anglingdarma adalah ‘Anda’ yang hanya seorang pemimpin dalam lingkup kecil sekalipun, kau harus berani kembali pada orbit yang benar. Kau harus menegakkan prinsip dan jangan ikut tenggelam dalam kepentingan cengeng sesaat. Bukankah kembali dan berjalan pada orbit yang benar adalah pilihan yang direstui oleh semesta alam?

Bukankah kesetiaan yang berakhir sebagai pesta perpisahan di jalan yang gelap, sesungguhnya adalah ketidaksetiaan.

Meskipun hidup kita tampak seperti memiliki banyak pilihan, apakah lantas kita bisa benar-benar memilih? Satu-satunya pilihan yang kita punya adalah berjalan sesuai orbit kita. Seperti halnya planet dalam susunan tata surya, mereka berjalan sesuai orbitnya. Air laut bergerak dalam ritme pola yang sama, sesuai orbitnya juga; hilir mudik dari tengah menuju pantai. Burung merpati hidup sebagai simbol kesetiaan. Sedangkan ayam harus hidup sebagai simbol ketidaksetiaan. Mereka semua harus berada pada orbitnya masing-masing, menjalani lakunya masing-masing. Itulah yang kita sebut sebagai kesetiaan.

Rasanya tidak ada saran yang lebih baik. Menjadi rakyat atau penguasa, menjadi istri atau suami, menjadi anak buah atau pemimpin, pilihannya hanya satu, yakni setia pada orbit kita. Sebab, jika bukan kesetiaan, pasti, yang abadi adalah tragedi.



Jimat Kalimasadha, redaktur tajug.net, bisa diakses di bit.ly/bu-buku

0 comments