Mamak Beni
Sudah pukul delapan. Aku mulai
merasakan ada sesuatu yang tak lengkap di rumah kami.
Sudah pukul delapan, Mamak[1] Beni belum juga ada di rumah. Berkali-kali
aku menghubungi nomornya, terus-menerus tidak aktif.
Aku dan Ibu sama-sama menonton teve, kemudian kuutarakan juga kegelisahanku padanya. “Ke mana Mamak Beni. Sudah
pukul delapan. Belum juga tiba di rumah."
Ibu langsung menjawab dengan gelengan kepala sambil menampakkan wajah cemas. Rupanya Ibu memikirkan hal yang sama
denganku. Merasakan hal yang sama pula. Biasanya memang sebelum magrib, Mamak
Beni sudah sampai di rumah.
“Coba kau turut ke toko Mamak
Arif. Atau ke rumahnya sekalian,” usul Ibu.
Aku segera berdiri, kemudian mengambil kunci sepeda motor, dan pergi ke toko Mamak Arief mencari Mamak Beni.
Ibuku kakak-beradik empat orang.
Tiga laki-laki dan seorang perempuan, ya ibuku itu. Ibuku anak tertua. Diikuti Mamak
Sanjuang yang sekarang tinggal di Bogor, Mamak Arif, dan Mamak Beni yang paling bungsu.
Dulu Ibu menyarankan, setelah keluar dari
rumah sakit jiwa, Mamak Beni agar bekerja di toko pakaian Mamak Arif. Sekarang terhitung sudah 14 bulan Mamak Beni
kerja di toko pakaian Mamak Arif. Kata Mamak Arif, tidak
ditemukan kejanggalan-kejanggalan pada kerja Mamak Beni. Malah kerjanya
bersemangat, pandai melayani pembeli dan ramah. Mamak Beni jujur dan tidak suka menilap
uang. Lebih baik malah dari orang normal. Cuma, belakangan Mamak Beni
suka merokok.
Mamak Beni sering minta uang untuk beli rokok kepada Mamak Arif. Itu di luar
gajinya yang sejuta sebulan dan uang makan sekali sehari. Tahu
begitu, kukatakan kepada Mamak Beni, sebaiknya mengurangi rokoknya, sebelum terlanjur kecanduan.
Mamak Beni sekarang berumur 28 tahun. Lima tahun lebih tua dariku. Ia pernah kuliah
2 tahun di Padang. Ia tidak berhasil menyelesaikan pendidikan S-1. Pulang ke kampung, Mamak
Beni malah jadi sering duduk di kedai, bersenda gurau dan main domino di sana. Tiga
tahun ia melakukan rutinitas seperti itu. Membuat Ibu prihatin terhadap
nasibnya. Ibu memikirkan masa depannya. Ibu sedih. Karena setelah tak selesai
studi di universitas, Mamak Beni bukannya cari pekerjaan atau buka
usaha, malah bergaul dengan orang-orang tak jelas di kedai. Setiap malam main
domino, ngomong ngawur soal masa depan. Omong kosong!
Ibu kemudian menelepon Mamak
Sanjuang yang ada di Bogor. Ibu bilang, biarlah Mamak Beni pergi ke
Bogor. Numpang tinggal di rumah Mamak Sanjuang, dan minta Mamak Sanjuang mencarikan pekerjaan buat Mamak Beni.
Berangkatlah Mamak Beni ke
Bogor dengan uang seadanya pemberian Ibu. Tak sampai seminggu di Bogor, Mamak
Beni menelepon ke kampung mengabari bahwa ia sudah dapat kerja jadi pramusaji di sebuah
kafe. Menurut pengakuannya, ia sendiri yang mencari pekerjaan itu.
Hampir lima tahun Mamak Beni
di Bogor. Ia yang semula jadi pramusaji di kafe, sudah punya kafe sendiri.
Katanya, modalnya tanpa meminta ke Mamak Sanjuang, melainkan hasil
tabungan selama ia jadi pramusaji di kafe.
Ibu pun gembira. Bangga.
Tapi pada suatu malam, Mamak
Beni pulang kampung dalam keadaan murung. Ia membawa tas berisi pakaian yang lumayan banyak. Dompet dan sebuah jam tangan ia letakkan di meja ruang
tamu, lantas tertelentang tak bergairah di kursi ruang tamu.
Selama dua hari ia seperti itu di
rumah. Ibu dan aku sempat heran, apa yang terjadi dengan Mamak Beni.
“Berapa hari kau di kampung?” tanya Ibu.
“Aku tidak akan balik lagi ke
Bogor,” jawab Mamak Beni. Ia pun langsung masuk kamar.
Hari-hari selanjutnya ia mengurung diri di kamar. Aku dan Ibu serta-merta saja
mencemaskan keadaan Mamak Beni. Ada apa? Pasti ia dalam masalah.
Diketahui kemudian, menurut cerita Mamak Beni yang melompat-lompat dan
terputus-putus, bahwa Mamak Beni dan pacarnya putus. Ketika putus itu,
ia mengusir pelanggannya dari kafe yang sedang mabuk-mabukan.
Mamak Beni juga menulis status di facebook-nya tentang kejadiaan
mabuk-mabukan itu. Tentu saja para pelanggan itu tak terima. Suatu malam,
mereka membawa preman ke kafe Mamak Beni. Mereka mabuk dan menghancurkan isi kafe.
Mungkin di sanalah mulanya
malapetaka dalam hidup Mamak Beni. Mamak Beni depresi, suka marah-marah tanpa sebab. Mamak Sanjuang yang tak bisa mengurus Mamak Beni pun menyuruhnya pulang.
Setelah di kampung, Mamak Beni masih suka
marah-marah tidak jelas di rumah. Meracau. Sering tak pulang ke rumah. Bahkan Mamak Beni pernah memukulku tanpa sebab.
Selanjutnya kami membawanya ke
rumah sakit jiwa. Dan dirawat selama 20 hari. Memang terdengar jahat, tapi ini untuk kebaikan semuanya.
***
“Mamak, ada Mamak
Beni di sini?” tanyaku setelah Mamak Arif muncul dari balik pintu.
“Tadi sebelum Magrib dia sudah pulang.
Dia yang menutup toko tadi. Memangnya dia tidak ada di rumah?”
“Itulah. Aku sangka tadi dia di
toko sampai malam. Sampai sekarang Mamak Beni belum sampai di rumah.”
“Sudah ditelepon?” tanya Mamak Arief.
“Sudah. HP-nya tidak aktif.”
Seketika Mamak Arief terlihat cemas. Mamak Arief menyuruhku untuk masuk dulu, memikirkan bagaimana mencari Mamak Beni. Tapi aku menolak, aku akan berusaha mencari ke beberapa tempat terlebih dahulu. Aku bergegas meninggalkan toko Mamak Arief.
Aku cari di sekitar toko.
Barangkali Mamak Beni duduk di kedai dekat toko. Aku tanya sana-sini.
Terus, aku pergi ke kedai tempat ia dulu sering main domino sebelum merantau ke
Bogor.
“Tadi pas Magrib dia di sini. Beli
rokok. Duduk di palanta,” kata Uda Siman pemilik kedai.
“Terus?” tanyaku meminta penjelasan kronologi kejadian.
“Terus, aku ke dalam. Tak lama aku
ke belakang, dia sudah hilang.”
“Tahu arahnya?”
“Tidak tahu.”
Aku tinggalkan kedai Uda
Siman. Menuju rumah di depannya. Kuketuk pintunya. Tersembul wajah Uni
Sijah.
“Iya. Dia lama berdiri di depan
kedai Siman tadi. Terus naik ojek,” terang Uni Sijah.
“Ke mana arah ojeknya Ni?” Terus saja kuberondong pertanyaan.
“Pulang ke rumah kau sepertinya.”
“Kira-kira tukang ojeknya siapa, Ni?”
“Tidak tahu aku. Hari sudah malam.
Wajahnya dia saja kuperhatikan.”
“Terima kasih.”
Ketika kunaiki lagi sepeda motor,
kecemasanku semakin bertambah-tambah. Hatiku seperti dipermainkan sembilu. Tidak mungkin Mamak Beni pulang, karena kenyataannya ia tidak di rumah.
Aku sudah mencari Mamak Beni ke sana-ke mari, tapi hasilnya nihil. Aku pun mulai lelah. Dan putus asa
mencarinya.
Angin malam terasa dingin ketika
kubawa sepeda motorku menuju rumah. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Mamak
Beni. Kumat? Dia memukul orang. Lantas orang itu balik memukulnya. Atau, bisa
jadi orang itu mengeroyoknya.
Ah, Mamak Beni.
Aku tiba di rumah dalam keadaan
lemas. Pikiranku tak fokus.
Kubuka pintu rumah. Aku terperangah mendapati Mamak Beni duduk tak jauh dari Ibu yang masih menonton teve.
Ia duduk bersila di lantai tak berkarpet. Sementara Ibu duduk di lantai yang
berkarpet.
Gembira? Entah. Campur aduk.
“Ini Mamak kau. Balik dia.
Dari arah Punggasan,” kata Ibu dengan wajah masih menyisakan kecemasan. "Tadi ibu telepn kau, tapi rupanya HP kau ketinggalan di kamar."
“Ke mana Mamak tadi, Bu?”
“Kau tanya sendirilah.”
Aku duduk. Menghadap Mamak
Beni yang terlihat asyik menonton teve.
“Ke mana Mamak tadi?”
kataku.
Mamak Beni segera menoleh
kepadaku. Wajahnya memperlihatkan keceriaan.
“Tadi rencana mau naik travel ke
Padang. Ingin berjumpa aku dengan kawan-kawan lamaku. Kawan-kawan kuliahku.
Rindu aku dengan mereka,” kata Mamak Beni cuek.
Aku langsung mengucap istigfar
di dalam hati. Orang sudah dalam debar yang sangat, Mamak Beni malah
bicara cuek, lepas.
“Buat apa Mamak ke Padang.
Kawan-kawan kuliah? Mereka tentu sudah lulus dan jadi sarjana. Sudah balik ke
kampung masing-masing. Atau sudah bekerja di kota. Sudah punya kesibukan
masing-masing. Mana ingat lagi mereka sama Mamak,” kataku agak emosi.
Mamak Beni kembali melihat ke arah teve.
“Sini HP Mamak. Ada Mamak
telepon dengan kawan-kawan Mamak dulu,” kataku.
“HP-ku butut Sense. Tidak bisa
internet. Tidak punya nomor mereka Mamak.”
“Di facebook?”
“Mamak tidak main facebook.”
“Lalu dari mana Mamak bisa
tiba-tiba ingat kawan-kawan Mamak.”
“Rindu saja Sense.”
“Sekarang masih rindu?”
“Sudah tidak,” kata Mamak
dan cengengesan.
Aku pergi ke dapur untuk bikin teh.
Duduk lagi tak jauh dari Ibu dan Mamak Beni. Kukeluarkan sebatang rokok.
Dan ... lega.
[1] Kakak/adik laki-laki Ibu
Yulputra Noprizal, lahir di Air Haji pada 11 November 1985. Penyuka dan
penikmat sastra. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan media
online. Tinggal di Air Haji, Kab. Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
0 comments