Stop Meniru Sukses

Sungkowo

Esai Stop Meniru Sukses

Jadi, sebenarnya, meniru orang-orang sukses itu tidak meniru suksesnya, tetapi meniru ketahanan mereka yang “jatuh bangun” dalam mencapai kesuksesan.

Keadaan sepanjang tepi jalan depan sekolah tempat saya mengabdi, sepuluh tahun yang lalu,  masih sepi. Dari depan Museum Kretek (salah satu destinasi wisata di Kudus, Jawa Tengah) ke arah utara hingga depan sekolah, tidak ada satu pun orang yang berjualan. Hanya tampak pohon berbaris, entah pohon apa namanya, menghiasi tepi jalan tersebut. Tetapi, sekarang, coba Anda melewati jalan tersebut, saat siang hingga sore, Anda pasti menjumpai banyak penjual makanan berjajar di sisi jalan sebelah barat. Saya tidak pernah menghitung jumlah mereka. Jadi, saya tidak mengetahui jumlah persisnya. Hanya, bolehlah dikatakan bahwa di sepanjang tepi jalan tersebut sudah penuh lapak untuk berjualan.

Memang awalnya tidak banyak. Hanya ada satu-dua lapak. Dan, saya tidak mengetahuinya, atau lebih tepatnya tidak ingat kapan lapak tersebut mulai ada. Seiring berjalannya waktu, jumlahnya bertambah. Dan proses itu pun, saya tidak mengikutinya. Tahu-tahu sudah banyak. Memenuhi tepi jalan. Jarak antarlapak rata-rata sekitar satu-dua meter, kecuali space kosong yang memang untuk akses jalan ke lokasi tertentu, di antaranya lapangan sepak bola dan kebun untuk menjual tanaman, baik tanaman hias maupun buah.

Fenomena seperti itu terjadi di banyak tempat. Hampir di semua tepi sepanjang jalan  di Kudus didirikan lapak untuk berjualan. Memang lapak didirikan di tepi sepanjang jalan yang masih ada space-nya. Kalau pun tidak ada area cukup luas, biasanya “diakali”. Caranya, selokan yang ada diberi tutup papan (kayu) atau dicor sehingga atasnya dapat untuk mendirikan lapak. Itu juga yang dilakukan di sebagian sepanjang tepi jalan depan Museum Kretek ke arah utara. Dan, saya meyakininya tentang hal ini sudah seizin pemerintahan desa, juga setahu pemerintahan daerah (pemda) setempat. Kalau tidak seizin dan setahu mereka, sudah pasti papan (kayu) atau cor penutup selokan tempat lapak berdiri dibongkar petugas yang berwajib.

Tidak hanya di Kudus, saya mengetahuinya. Di Pati, Jepara, Grobogan, Demak, dan daerah-daerah lain, lebih-lebih di kota-kota besar, juga begitu. Di tepi-tepi sepanjang jalan sudah penuh dengan lapak-lapak untuk berjualan. Tidak hanya di pusat-pusat dan seputar pusat kota. Di desa-desa, khususnya di tepi sepanjang jalan yang ramai dilewati orang, pun sudah banyak didirikan lapak untuk berjualan. Ada yang beroperasi sejak pagi hingga sore. Ada juga yang operasinya dari sore hingga malam.

Dari waktu ke waktu, fenomena seperti itu semakin bertambah. Dan,  akan terus bertambah, entah sampai kapan berhenti. Mungkin kalau sudah tidak ada space lagi untuk mendirikan lapak. Satu lapak berdiri dan ramai pengunjung, dipastikan cepat menyusul lapak-lapak yang lain. Berdiri di sampingnya dan terus sambung-menyambung. Menjadi pemandangan yang menarik saat puncak-puncaknya pembeli berdatangan, siang atau malam hari, karena kondisi begitu ramai.

Tidak hanya lapak-lapak di tepi sepanjang jalan yang selalu bertambah dari waktu ke waktu. Pusat-pusat kuliner yang berukuran besar (dan “wah”) pun bermunculan. Hampir di semua penjuru Kudus berdiri pusat kuliner. Dan, sepertinya akan terus bertambah. Di penjuru timur, barat, selatan, utara, dan tengah, pusat-pusat kuliner mudah kita jumpai. Semuanya membawa karakternya masing-masing. Satu pusat kuliner dengan pusat kuliner yang lain menawarkan perbedaan-perbedaan.

Semua fenomena di atas sebenarnya (hendak) menunjukkan bahwa orang memiliki keinginan untuk meniru. Meniru ada dua wujud dalam konteks ini. Pertama, meniru mendirikan lapak untuk berjualan. Atau, kedua, meniru berjualan barang atau jasa yang sama. Hal itu karena seseorang melihat orang lain yang berjualan, berhasil. Lalu, seseorang mengikuti jejak tersebut. Mengikuti mendirikan lapak untuk berjualan, tetapi barang yang dijual berbeda karena lokasi berdekatan. Ini tentu sudah kesepakatan. Atau, mengikuti berjualan barang atau jasa yang sama, tetapi di tempat yang berbeda.

Mengikuti jejak keberhasilan orang lain, sudah sangat lama dilakukan oleh banyak orang. Ini kebiasaan yang turun-temurun. Dan, hal itu berlangsung sampai sekarang. Meski dalam bentuk dan konten yang berbeda karena sekarang lebih bervariatif daripada tempo dulu.  Semua itu  (tentu) demi menyesuaikan dengan tuntutan zaman dan kebutuhan  masyarakat. Di banyak tempat, proses mengikuti jejak yang turun-temurun tersebut akhirnya melahirkan sebuah perkampungan atau tempat yang khusus. Misalnya, kampung yang masyarakatnya memproduksi jenang. Setidaknya hal itu bisa kita lihat di Desa Kaliputu dan Desa Glantengan, Kudus, Jawa Tengah. Lentog dapat kita saksikan di Desa Tanjung, Kudus, Jawa Tengah.

Di daerah-daerah lain, kita juga dapat menjumpai hal-hal seperti itu. Di Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, misalnya, ada desa yang memproduksi tepung tapioka. Kalau Anda melewati desa tersebut, Anda akan dapat membaui aroma tepung tapioka yang sedang diproses. Bau yang khas. Di salah satu wilayah di Jepara, Jawa Tengah, ada produksi ukir dan mebel. Sudah sangat terkenal hingga mancanegara. Daerah-daerah khusus seperti itu dikenal oleh publik (domestik dan asing) karena kekhasannya.

Produksi di bidang pertanian juga memiliki pola yang sama dengan produksi barang jadi seperti disebut di atas. Kalau ada tetangga menanam melon dan menghasilkan produk yang melimpah, petani-petani sekitarnya juga mengikuti menanam melon. Petani desa tetangga berhasil menanam tomat, petani desa setempat meniru menanam tomat.

Namun, begitu banyak petani menanam melon atau tomat dan semua berhasil, harga melon atau tomat menjadi rendah. Sehingga tidak memberi keuntungan. Tetapi, malah merugikan. Saking ruginya, beberapa waktu yang lalu (pernah) ada komunitas petani yang membuang hasil panennya sebagai bentuk protes terhadap penentu otoritas harga karena nilai hasil panen sangat rendah.

Saat saya masih remaja, harga cengkeh di daerah saya melonjak tinggi. Sehingga banyak warga yang menanam cengkeh. Setiap lahan ditanami cengkeh. Bahkan, tanah-tanah di sekitar rumah, termasuk halaman yang masih luas, ditanami cengkeh. Beberapa tahun harga cengkeh memang tinggi. Warga merasakan kegembiraan yang luar biasa karena cengkeh meningkatkan kesejahteraan hidup. Warga dapat membeli kebutuhan tambahan karena kebutuhan pokok sudah tercukupi.

Tetapi, fase hidup sejahtera karena  cengkeh itu berhenti. Warga tidak dapat menikmati lagi nilai cengkeh. Karena sekalipun hasil panen cengkeh melimpah, harganya jeblok. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang di dalamnya ada  keluarga Cendana (penguasa pada era Orde Baru), saat itu, sangat berperan karena memonopoli. Harga cengkeh turun karena adanya monopoli cengkeh.

Seingat saya, saat itu, pohon cengkeh ditebang. Warga yang memiliki pohon cengkeh melakukan tindakan yang sama, yaitu menebangnya. Ludes. Tidak disisakan sama sekali. Termasuk yang sudah hidup lama, yang tinggi pucuknya melebihi bubungan rumah dan tentu buahnya melimpah. Mereka tidak merasa kehilangan karena benar-benar cengkeh saat itu tidak “berharga”.

Kembali ke pokok persoalan, sikap meniru dalam bidang usaha, lebih-lebih usaha makanan yang sekarang ini sedang marak, dengan demikian sangatlah wajar. Sebab, orang mau meniru tentu terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan keuntungan. Peluang berusaha di bidang makanan saat ini diyakini menjanjikan. Itu sebabnya, orang seolah berlomba-lomba membuka usaha makanan. Setiap ada area yang dapat ditempati dan diperkirakan mudah dikunjungi banyak orang, didirikanlah lapak untuk berjualan. Umumnya, sekali lagi, mereka meniru orang-orang lain yang lebih dahulu sudah berjualan.

Namun, meniru keberhasilan orang lain, sekalipun meniru usaha yang sedang ngetren, misalnya, belum tentu sesukses usaha orang yang ditiru. Banyak orang kemudian mengungkapkan bahwa hal tersebut berkaitan dengan rezeki tiap-tiap orang berbeda. Atau, dengan bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa rezeki orang itu sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Sehingga orang belum tentu sama-sama berhasilnya meskipun sama persis usaha mereka.

Sebaliknya, tidak menutup kemungkinan, meniru malah sukses. Sesukses usaha orang yang ditiru. Persoalan tidak akan timbul kalau seperti itu yang terjadi. Sama-sama sukses umumnya saling mendukung. Bahkan, bukan mustahil keduanya kemudian menjalin hubungan persaudaraan. Boleh jadi malah mengembangkan usaha bersama.

Hanya, ada juga orang yang berpikir kurang positif; berpikir usil.  Yaitu mengaitkan keberhasilan usaha seseorang dengan takhayul. Misalnya, dengan pesugihan, tuyul, babi ngepet, atau yang lain, yang sebagian  masyarakat menganggapnya mistik. Apalagi kalau orang yang meniru lebih sukses ketimbang orang yang ditiru, perbincangan umumnya lebih seru dan acap kali tendensius serta mendiskreditkan pihak tertentu.

Kerangka berpikir masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Jawa, sebagian masih percaya terhadap hal-hal takhayul. Apalagi mereka yang belum mengenyam pendidikan. Sangat mudah “dimakan” takhayul, gosip, hoaks, dan hal-hal yang berkaitan dengan mistik. Sekalipun masih ada juga kaum terdidik atau terpelajar yang percaya terhadap takhayul. Berita yang hangat berkaitan dengan kenyataan itu adalah ditemukan ada peserta tes CPNS tahun ini yang membawa azimat. Misalnya: kemenyan, garam, beras, rapal mantra, dan kembang.

Meniru orang-orang yang sukses memang tidak salah. Toh mereka dapat menjadi inspirator bagi siapa pun. Hanya, orang yang meniru seharusnya tidak hanya sebatas melihat suksesnya. Justru yang penting untuk dilihat adalah semangat di balik suksesnya. Mereka sukses tentu tidak tiba-tiba sukses. Tetapi, ada proses yang bukan mustahil dilaluinya dengan “jatuh bangun”.

Jadi, sebenarnya, meniru orang-orang sukses itu tidak meniru suksesnya, tetapi meniru ketahanan mereka yang “jatuh bangun” dalam mencapai kesuksesan. Tinggal persoalannya adalah maukah kita senantiasa bertahan saat “jatuh bangun” dalam berusaha? Bertahan saat “jatuh bangun” dalam berusaha tidak dapat dihubungkan dengan takhayul, tetapi dengan realitas yang dapat ditimbang-timbang dengan logika dan riset.

Kegagalan orang, termasuk saya, dalam berusaha sepertinya lebih banyak berkaitan dengan tidak memiliki ketahanan saat “jatuh bangun” dalam proses. Baru kali pertama dan kedua mengalami kendala dalam proses (berusaha), misalnya, sudah menyerah. Tidak bangkit dan berusaha lagi. Padahal, orang-orang yang sukses di bidangnya tentu tetap bangkit dan berusaha lagi ketika “jatuh bangun” dalam proses. Saya belum pernah mendengar kesaksian orang-orang yang sukses di bidangnya tidak mengalami “jatuh bangun” dalam proses. Orang-orang hebat tersebut selalu menyaksikan bahwa betapa mereka berkali-kali “jatuh bangun” sebelum mencapai tangga kesuksesan.


Pelajaran ini tidak hanya berkaitan dengan orang-orang yang berusaha di bidang makanan, tepung tapioka, ukir-ukiran, dan mebel. Tetapi, berkaitan juga dengan bidang kehidupan yang lain, misalnya, pendidikan, politik, budaya, sosial, kekeluargaan, dan kesehatan. Orang-orang yang berhasil di bidang-bidang tersebut niscaya mengalami “jatuh bangun” dalam proses pencapaiannya. Jadi, mereka tidak meniru kesuksesan pendahulu-pendahulunya, tetapi --saya meyakini-- meneladani ketahanan “jatuh bangun” para pendahulunya dalam mencapai kesuksesan, tidak seperti saya. Hehehe.


Sungkowo, Sosok penyuka sayuran ini senang membaca dan menulis. Sekarang ia masih menggawangi blog berbahasa Jawa, Cathetan Dwija, beralamat http://cathetandwija.blogspot.com dan blog berbahasa Indonesia, Coretan Guru, beralamat https://kowoblog.wordpress.com, meskipun tidak seaktif dulu. Ia juga mengirim tulisan ke kompasiana, tepatnya di https://www.kompasiana.com/pakdhekowo dan ke gurusiana, tepatnya di https://sungkowo.gurusiana.id/. Berprofesi sebagai guru. Mengajar di SMP Negeri 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah. Beberapa tulisannya pernah di muat di Tribun Jateng; Radar Kudus, Jawa Pos; Suara Pembaruan; Surya; buletin Psikologi plus; dan majalah Kartini. 

0 comments