Cara Memandang Bintang-Bintang
Dan, ketika kita tinggal di era revolusi industri 4.0 hari ini, dunia semakin mengecil, kita semakin tenggelam dalam layar kotak tipis smartphone dan menghabiskan sebagian besar waktu di sana. Jiwa kita semakin terpisah jauh dari bintang-bintang. Kita semakin jarang bersilaturami dengan mereka.
***
Aku mengenang tidur-tiduran di atas lincak di halaman bersama ayah dan menyaksikan langit yang meriah.
Bintang-bintang kecil kerlap-kerlip, sesekali ada benda langit bercahaya
melesat lalu hilang. Dalam kegelapan kunang-kunang menyerupai titik-titik. Mereka
terbang ke sana kemari lalu hilang. Listrik belum mengalir di kampung halaman kami
saat itu. Bukit di sebelah rumah masih hijau, tetapi pada malam hari tampak
seperti hantu raksasa berselimut sarung hitam. Kalau ayah mengisahkan cerita
horor, bukit itu adalah background
setting yang menyeramkan. Meskipun ayah bukan pencerita yang baik, aku suka mendengarkan dongengnya. Dongeng
ayah menjadi satu-satunya hiburan selepas isya menjelang tidur, menjadi salah
satu yang paling menyenangkan waktu kecil dulu.
Masa kecilku memang sebagian besar dihidupkan dari percikan
dongeng-dongeng di bawah kerlap-kerlip bintang yang menaungi lincak kecil di halaman rumahku yang
sederhana. Di sebelah barat cahaya bintang panjer
sore menerobos senja. Saat malam telah sempurna, bintang waluku di sebelah selatan selalu tampak
mempesona mengingatkan para petani untuk kembali ke sawah esok pagi. Bintang-bintang
kecil di angkasa raya itu memberikan inspirasi dan kegembiraan; selalu menyala
abadi seperti pesta yang tak pernah berakhir.
Di bawah naungan bintang-bintang, flashdisk imajinasiku terasa tidak pernah padam. Memori dunia
kecilku senantiasa terhubung dengan bintang-bintang. “Mengapa bintang-bintang
itu begitu kecil menyerupai biji wijen di permukaan kue onde-onde?” tanyaku.
Setiap zaman mempunyai kenangannya sendiri. Setiap zaman
mempunyai keindahannya. Setiap zaman selalu ada sisi-sisi eksotisnya. Aku hidup
dalam tiga zaman itu yang membedakan kita sebelum tidur. Pertama, zaman ketika listrik masih langka dan dongeng menjadi
hiburan menjelang tidur; kedua, zaman
ketika televisi mulai hadir dalam kehidupan dan sinetron menjadi hiburan
menjelang tidur; dan ketiga, zaman
internet, ketika dunia dalam genggaman dan main game menjadi hiburan menjelang
tidur.
Tapi, apakah kalian sekarang ini masih sempat memperhatikan
bintang-bintang?
Kapan terakhir kali kalian melihat bintang-bintang di
langit? Mungkin di antara kita sudah lama sekali tidak memperhatikan bintang-bintang
di malam hari. Semenjak kita memasuki era zaman ‘kedua’, di mana listrik
menyala terang-benderang di rumah-rumah setiap malam, kita mulai jarang
bercengkerama di halaman rumah di bawah langit dengan bintang-bintang berkedip-kedip
menyerupai pesta kunang-kunang.
Dan, ketika kita tinggal di era revolusi industri 4.0 hari
ini, dunia semakin mengecil, kita semakin tenggelam dalam layar kotak tipis
smartphone dan menghabiskan sebagian besar waktu di sana. Jiwa kita semakin terpisah jauh dari
bintang-bintang. Kita semakin jarang bersilaturami dengan mereka.
Padahal kita ini tercipta dari inti-pati bintang-bintang. “Nitrogen dalam DNA kita, kalsium di gigi kita, zat besi dalam darah
kita, karbon di dalam pai apel kita dibuat di dalam interior bintang-bintang
yang runtuh. Kita terbuat dari bahan bintang,” kata Carl Sagan, penulis buku science populer Cosmos dan pemenang Pulitzer Prize pada tahun 1980.
Tak mudah melepaskan diri dari bintang-bintang rupanya. Begitu juga dengan
Mufasa, ayah Simba dalam film Lion King.
“Ayah ceritakan padamu tentang apa yang diceritakan ayahku padaku. Lihatlah
bintang-bintang itu. Raja-raja besar zaman dulu mengawasi kita dari
bintang-bintang itu,” ujar Mufasa pada suatu malam; gelap dan hanya geriap bintang-bintang
bersinar di langit sana. Ribuan bahkan
jutaan bintang bertebaran memenuhi kelopak matanya.
“Benarkah, Ayah?” tanya Simba kecil.
“Ya. Makanya, ketika kamu merasa sendirian, ingatlah bahwa
mereka selalu bersamamu, dan akan selalu membimbingmu. Begitu juga Ayah,” jawab
Mufasa.
Begitulah. Ucapan sang ayah itu tak pernah dilupakan oleh
Simba sampai dia dewasa. Selama jiwanya masih terhubung dengan bintang-bintang,
Simba tak pernah merasa sendiri. Ia cukup memutar kembali flashdisk memorinya, dan ia menemukan kekuatan dan kepercayaan
diri.
Kita, seperti halnya Simba, selalu mempunyai cara unik dalam memandang
bintang-bintang.
***
Setelah beranjak besar, caraku memandang bintang mulai
berubah. Ketika kecil dulu, aku percaya sekali bahwa bintang-bintang di langit itu
ukurannya memang kecil sekali. Begitulah mata kecilku memandang bintang. Seperti
nyanyian ini.
Bintang kecil,
dilangit yang biru.
Amat banyak, menghias
angkasa.
Aku ingin terbang dan
menari.
Jauh tinggi, di tempat
kau berada
Seiring bertambahnya usia, pengetahuan mengubah keyakinanku.
Tenyata bintang-bintang di langit itu ukurannya jauh lebih besar dari pada
ukuran bumi. Mereka jauh lebih besar dari apa pun yang pernah aku lihat. Bintang-bintang
tampak kecil di langit, tapi sebenarnya setiap bintang yang kita lihat,
ukurannya lebih besar daripada matahari, demikian kata ilmu pengetahuan. Pengetahuan
kemudian membingkai pikiranku dalam memandang bintang-bintang.
Sekarang, ketika usiaku makin tua, tiba-tiba aku merasa
kembali ke memori kecilku. Mengenang tidur-tiduran di atas lincak di halaman bersama ayah dan menyaksikan langit yang meriah
oleh bintang-bintang, aku semakin yakin bahwa bintang-bintang di langit
tersebut memang kecil adanya. Bukan karena mata kecilku, juga bukan karena ilmu
pengetahuan, melainkan oleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang lebih besar
dari pada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Besar. Begitulah cara keyakinan memandang
bintang-bintang.
Nah. Barangkali anda
mempunyai cara lain dalam memandang bintang-bintang.
Baca juga Gunung danAlmari Bertumpuk Kardus atau Jika
Bukan Kesetiaan,Pasti, yang Abadi Adalah Tragedi.
Jimat Kalimasadha, redaktur
tajug.net, ia bisa diakses di bit.ly/bu-buku
0 comments