Daun-Daun Gugur di Seoul

Romi Afriadi


cerpen romi afriadi



Libur musim panas kali ini, aku tidak mengagendakan apa-apa, aku menolak ajakan teman untuk berlibur ke pantai Haendae di Busan. Aku juga malas untuk pulang ke negeriku yang  jauh. Aku ingin tetap menikmati periode ini untuk menetap di kota ini. Lagi pula, kota ini tak akan sepi untuk beberapa minggu ke depan, karena ajang Piala Dunia. akan menyemarakkannnya.

Kupikir, mengamati perhelatan akbar sepak bola dari dekat pasti lebih menarik. Ini momentum yang jarang sekali di temui seumur hidup. Tak sedikit yang rela menyeberangi benua, melintasi samudera, untuk sekadar merasakan atmosfer pertandingan ini, dan aku beruntung, tidak perlu repot-repot lagi berbuat demikian, karena sejak dua tahun terakhir, sudah tinggal di sini, sebagai mahasiswa di salah satu universitas.

Tentu saja aku tidak menoton semua pertandingan. Itu mustahil, akan sangat menguras dompetku untuk berkeliling di berbagai kota penyelenggaraan. Belum lagi, jika pertandingan diadakan di negeri tetangga, Jepang. Sejak awal, aku memang berencana akan menonoton pertandingan di Stadion Word Cup Seoul saja.

***

Tiga jam menjelang laga pembukaan Perancis versus Senegal, tanpa sengaja kita bertemu di Oil Culture Park, sebuah taman bekas tangki minyak yang disulap oleh pemerintah menjadi ruang publik. Saat itu aku sedang asyik menulis. Kebanyakan penonton sudah memasuki stadion. Meskipun yang bertanding bukanlah tuan rumah, antusias publik Seoul dan warga Korea pada umumnya begitu tinggi. Maklum, ini adalah Piala Dunia pertama yang di langsungkan di benua Asia. Andai saja perhelatan akbar sepeti Piala Dunia ini terjadi di Indonesia, pasti antusiasme masyarakatnya melebihi jauh lebih tinggi.

Selesai menulis beberapa puisi, aku segera beranjak dari Oil Culture Park. Hanya butuh beberapa menit dengan berjalan kaki aku sudah membaur dengan puluhan ribu penonton. Saat menuju pintu masuk itulah aku bertemu denganmu. Barangkali karena sama-sama merasa memiliki wajah Indonesia, kita saling menyapa dan bertegur sapa di antara hiruk-pikuk suara yang sambung-menyambung di tempat itu.

Kita beriringan menuju tempat duduk, kebetulan kita memegang tiket di tribun yang sama. Saat parade pembukaan berlangsung, kita lebih banyak mengobrol tentang Indonesia. Negeri dengan penduduknya yang begitu menggilai sepak bola.

“Di negeri kita saat ini, pasti ribuan orang sudah duduk di warung kopi atau kafe untuk menyaksikan ini.” Kamu membuka percakapan.

Di lapangan, senam masal dan artis Korea sedang menunjukkan penampilannya.

“Negeri kita memang maniak bola, tapi cinta besar penduduknya terhadap sepak bola, belum diimbangi dengan prestasi besar timnasnya. Masih berusaha,” balasku.

Kamu hanya tertawa, tak berminat lagi melanjutkan topik itu. 

Pertemuan tak sengaja di tempat yang jauh dari negara asal, menjadi jembatan yang merekatkan hubungan kita. Sepanjang laga berlangsung, kita asyik bercerita apa saja. Menonoton pertandingan bukan lagi jadi tujuan utama bagi kita Kejadian dan atraksi di lapangan, ditambah keriuhan penonton tak ubahnya simfoni yang menemani percakapan kita. Bahkan saat Papa Bowa Dioup berhasil mencetak gol ke gawang Perancis, kita hanya larut sebentar saja menyaksikan kegembiraan skuad Senegal mempermalukan juara bertahan itu.

Ekspresi penonton terbagi menjadi dua, ada yang senang, bersorak-sorai akan gol itu, namun ada juga yang yang kecewa, dan menyayangkan pemain bintang Timnas Perancis semacam Thierry Henry, Zinedine Zidane, David Trezeguet atau kiper Fabian Barthez yang tak sanggup berbuat apa-apa hingga pertandingan usai.

***

“Kenapa kamu memilih kuliah di Seoul?”

Ini sudah hari ke sekian kita rutin bertemu di Oil Culture Park. Akhir-akhir ini kamu mulai berani menanyakan hal yang bersifat pribadi. Kesan pertama semenjak kita bertemu, kamu memang teman yang mudah diajak bicara, tipe orang sepertimu, tidak akan membuat lawan bicaramu kesepian jika sebangku dalam sebuah perjalanan naik pesawat atau bus.

“Alasanku pasti tidak akan kamu percayai.”

Aku bingung harus mengatakan sejujurnya kepadamu.

Sebetulnya selesai menamatkan SMA, aku tidak menargetkan harus kuliah di kampus mana. Bagiku kuliah di mana saja tak terlalu berpengaruh, banyak orang menjaga gengsi dengan mendaftar di luar negeri, atau sekadar untuk gaya-gayaan agar dianggap keren.

Aku tidak mempedulikan itu. Aku kuliah di Seoul National University tanpa perencanaan apa pun. Suatu sore, aku membuka koran lalu menemukan info penerimaan mahasiswa baru di situ. Aku mempelajari dan mencari informasi lebih lanjut sebelum memutuskan mendaftar di universitas hebat di Korea itu. Bahkan ketika aku dinyatakan lulus setelah mengikuti serangkaian tes, aku bereaksi biasa saja.

Pada awalnya aku hanya berkeinginan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi dalam negeri saja, asalkan keluar dari kota tempat tinggalku, dan hari-hariku menjauh dari keluarga. Itulah alasan utama aku ingin kuliah jauh.

Aku tidak pernah bisa menyukai kehidupan keluargaku, memang aku terlahir dari keluarga terpandang dan mapan. Papa punya jabatan penting dalam jajaran kementerian, dan Mama mempunyai bisnis butik di berbagai kota. Mereka memberiku kebutuhan materi yang berlebih. Tapi seringkali, pada waktu sepi, saat aku benar-benar membutuhkan sosoknya, Papa dan Mama tak pernah ada di sisiku.

Kata orang, menjadi anak perempuan satu-satunya dalam keluarga merupakan suatu keistimewaan. Pasti begitu di manja, apalagi hadir di tengah keluarga berada. Tapi aku tak pernah merasakan kebahagiaan akan status itu, sejak kecil, aku selalu mendapati kesibukan yang ditunjukkan kedua orang tuaku. Papa pergi subuh atau pagi sekali, saat aku belum terbangun, lalu pulang sampai larut malam saat aku sudah terlelap. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Papa bisa saja tak pulang dalam kurun waktu seminggu, jika ada tugas keluar kota atau luar negeri. Mama pun tak kalah sibuknya. Selain mengurusi bisnis butik, dia juga aktif menjadi pengajar di sebuah sekolah tinggi swasta.

“Aku kuliah di sini karena dapat beasiswa.” Ya, lebih baik aku berbohong.

“Oh ya? Keren sekali,” ujarmu.

Tidak mungkin rasanya aku menyampaikan alasan sebenarnya. pertama itu privasi, kedua itu aib.

Aku kebingungan dalam menjelaskan situasi dalam keluargaku. Aku juga heran dengan sikap Mama, dia tak pernah mempermasalahkan kebiasaan Papa yang demikian, Mama tak acuh, misalnya  saat sarapan, Papa mengutarakan tidak bisa pulang hari ini, atau bepergian ke tempat jauh berminggu-minggu lamanya. Tidakkah Mama rindu? Apakah Mama tipe istri yang tidak membutuhkan lelaki di sampingnya, asalkan sudah terpenuhi kebutuhan lahiriahnya? Atau sifat cuek Mama menjadi penyebabnya?

Mama tidak memperlihatkan dengan jelas kecintaannya. Aku nyaris tidak pernah merasakan momen manis saat Mama mengecup keningku sebelum berangkat ke sekolah, atau membacakan dongeng tentang si Kancil, menjelang tidur.

Papa dan Mama seolah bersepakat atas sikap yang mereka tunjukkan padaku. Walaupun Mama terkadang di rumah, aku tetap tak merasakan kasih sayang darinya. Mama tidak pernah mendengarkan ceritaku tentang laki-laki yang naksir padaku, atau menemaniku mengerjakan PR. Malah, aku lebih sering curhat pada pembantu yang sudah bekerja lama di rumah kami. Keluarga macam apa ini? batinku.

Kami jarang sekali tampil di ruang publik dengan komposisi yang lengkap. Seperti liburan ke pantai pada akhir pekan, atau bersantap makan di restoran. Jika secara kebetulan sama-sama menetap di rumah, pun masing-masing lebih memilih mengurung diri di kamar. Ruangan itu begitu privasi dan menjadi tembok kokoh yang menyembunyikan perasaan penghuninya.

“Sepertinya keidupanmu begitu hebat ya, orang tuamu pasti akan sangat bangga padamu.” Suaramu terdengar begitu sendu bagiku.

Apakah kamu juga berasal dari keluarga broken home? keluarga berantakan yang hanya memikirkan pekerjaan dan gengsi namun melupakan kasih sayang terhadap anaknya.

“Jika nanti pulang ke Indonesia, aku ingin berkenalan dengan keluargamu.”

Deg! Jantungku terlonjak mendengarnya. Tidakkah kamu tahu, keluargaku merupakan keluarga aneh. Aku pikir, kamu sangat salah telah menganggap kehidupanku indah. Aku kesepian setiap saat, hanya karena keberuntungan sajalah aku tidak terjerumus dalam dunia kelam lazimnya anak-anak konglomerat atau pejabat yang kurang kasih sayang. Aku bersyukur untuk itu, beruntung aku punya hobi membaca dan menulis. Dua rutinitas yang menolongku di saat aku sendirian.

“Omong-omong, apa kamu akan menonton Piala Dunia lagi Kamis depan?” Aku mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk stadion yang berdiri gagah di hadapan kita.

“Tentu saja.” Kamu mengangguk semringah.

“Tapi yang main bukan tim besar?” Aku kembali bertanya.

“Dalam ajang sekelas Piala Dunia, sebuah pertandingan tidak bisa di tebak, semua pertarungan bisa tercipta kejutan. Lihat saja, ketika partai pembuka itu, tim besar sekaligus juara bertahan macam Perancis, babak belur oleh lawannya.” Kamu menjelaskan bak analis sungguhan.

“Kita akan menonton bersama lagi,” ucapmu menambahkan.

Aku bingung, apakah itu suatu ajakan atau harapan. Aku menjawab dengan senyuman saja, semoga itu manis di matamu.

***

Piala dunia sudah usai, namun kunjungan rutin kita di Oil Culture Park tak pernah selesai. Kita tidak ikut menyaksikan partai puncaknya, karena dihelat di Jepang. Seorang pemain dengan rambut khasnya menjadi fenomenal di final itu. Lagi pula, kita sudah berjanji hanya akan menyaksikan pertandingan jika dimainkan Seoul saja, sebagai pengingat pertemua pertama kita, katamu.

Stadion di Seoul ini hanya kebagian tiga pertandingan, sebanyak itu pula jumlah pertandingan yang dapat kita saksikan secara langsung. Setelah  Turki versus Cina, kita cukup beruntung bisa melihat perjuangan tuan rumah pada semi final. Meskipun akhir pertandingan pendukung tuan rumah harus patah hati setelah diledakkan tim panser Jerman. Masyarakat Korea tetap berbangga, karena menjadi negara Asia pertama yang lolos ke empat besar.

Momen itu sudah empat bulan berlalu. Kini hampir penghujung tahun. Musim gugur sudah tiba. Hubungan kita menjadi kian akrab dan mesra. Mungkin karena kita saling melengkapi dan membutuhkan. Aku butuh teman untuk mengusir kesepian, sedangkan kamu, butuh pendengar yang baik.

Aku tidak tahu, apakah kamu menganggapku layaknya kekasih atau bukan. Tapi lewat caramu memperlakukanku, aku bisa menilai ada sesuatu yang spesial di hatimu untukku.


Dugaan itu bukan hanya sekadar prasangka. Saat pertama kali memberanikan diri bertandang ke apartemenmu, Kamu menyatakan cinta dengan cara yang romantis kepadaku, aku bahagia. Namun itu hanya beberapa saat saja. Belum hilang rasa keterkejutanku atas ungkapanmu, kejadian lain ternyata lebih mengejutkan. 

Aku tanpa sengaja menatap sekilas sebuah foto di laci mejamu yang setengah terbuka, ada gambarmu di situ bersama gadis cilik, di belakangnya ada sepasang laki-laki dan perempuan yang saling berpegang tangan. Duniaku mendadak runtuh. Aku menatap lekat wajah lelaki itu, rupa yang begitu aku kenali meskipun tak pernah menyukainya. Lelaki itu adalah Papa. Hatiku berhampuran seketika, serupa daun-daun yang berguguran di jalanan Seoul.


Romi Afriadi, lahir di Desa Tanjung, 26 november 1991 menamatkan studi di Fakutas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Seorang pecinta sastra yang beberapa karyanya pernah dimuat di media online. Sekarang penulis mengabdi di Sebuah Madrasah Tsanawiyah, sambil sesekali mengajar anak-anak berlatih sepakbola di SSB. Penulis bisa dihubungi lewat email: romiafriadi37@gmail.com atau akun facebook Romie Afriadhy.

0 comments