Kepercayaan, Petaka dan Pencerahan

Muhamad Mishbahuzzaini



Judul: Delusi
Penulis: Supaat I Lathief
Penerbit: CV. Al Qalam Media Lestari
Tahun: Cetakan pertama, Juli 2018
Tebal: 264 halaman
ISBN: 978-602-5744-97-6


Novel Delusi karya Supaat I Lathief merupakan novel yang mengambil kisah Desa Woh sebagai setting utamanya.  Masyarakat desa tersebut masih menunjukkan intensitas tinggi terhadap kepercayaan dengan Danyang, yaitu makhluk halus penguasa desa yang memiliki kekuatan supranatural dipercaya sebagai pemberi rezeki, pelindung, pemberi keberuntungan dan malapetaka. Taraf berpikir masyarakat desa tersebut rata-rata masih terbelakang. Tidak aneh jika kehidupan masyarakat tampak primitif, buta aksara, tuna pengetahuan, bahkan gagap religius.

“Kembang-kembang ditaruh di depan rumah-rumah, di perempatan, di pinggir kali, dan dibawa ke sawah. Di atas batu besar atau di tengah sawah-sawah, mereka menaruh kembang-kembang dan segala macam panganan mentah ataupun yang sudah matang. Ditaruh dengan hati-hati dan khidmat.” (Hal. 7)

Membaca Delusi, kita seakan melihat realitas budaya Jawa dan menyelam lebih jauh tentang perjalanan mitos adanya Danyang. Pikiran kita seolah dibangkitkan kembali akan fenomena budaya Jawa klasik yang modern ini, perlahan-lahan mulai terkikis oleh budaya-budaya baru. Kita diajak menengok kembali akar budaya bangsa. Selain itu kita akan dihidangkan eksistensi penyebaran agama Islam sebagai pewarna dalam tradisi kejawen. Tidak menolak, tetapi bisa larut seperti gula ke dalam air. Dengan ajaran agama Islam tradisi kejawen menjadi lebih manis jika dirasakan oleh masyarakat kebanyakan.

Dalam novel Delusi karya Supaat I Lathief melalui tokoh Madun, kisah ini dikembangkan. Meskipun ada banyak tokoh lain yang ada di dalamnya, seperti Pri, Qin, Masyarakat, Karmin, Pasinem, Pak San, Ki Wasesa, Karti, Sarmili, Kasmin, Bu Nis, Pak Kasan, Pak Darmo. Madun lah yang menjadi pembuka konflik mitos dalam Delusi ini.

Cerita ini bermula ketika Madun sedang diajak ayahnya pergi ke sawah. Ia memakan sesajen untuk para Danyang yang ditempatkan di sawah. Padahal dalam mitos masyarakat, setelah sesajen disajikan, tidak seorang pun yang diperbolehkan menyentuhnya, apalagi sampai berani memakannya. Jika hal itu dilakukan oleh seseorang, maka ada indikasi Danyang yang akan marah dan orang tersebut akan kena mala petaka, bahkan seluruh masyarakat pun akan terkena mala petaka juga.

“Pri, aku tadi mengambil sesajen dan memakannya tapi ketahuan oleh bapak. Aku tidak dimarahi hanya saja bapak memandangku dengan beku. Sampai-sampai aku tak sanggup untuk kembali menatapnya. Aku merasa sangat bersalah. Bukan merasa bersalah karena mengambil sesajen tetapi aku merasa bersalah pada bapak karena telah menipunya. Sepertinya bapak marah padaku.” (Hal.14)

Setelah memakan sesajen itu, Madun tiba-tiba jatuh sakit perut. Ibunya merasa bingung dengan sakitnya Madun. Ia ke sana kemari membelikan obat untuknya tetapi semua obat di warung habis. Katanya sudah dibeli warga yang anaknya juga sama mengalami sakit perut. Saat itu bapak Madun, sempat bercerita kepada istrinya tentang ulah Madun yang memakan sesajen di sawah. Saat mendengar cerita itu, ibu Madun sedikit kaget. Ia lantas berfikiran bahwa sakit Madun akibat dari ulah danyang sebab sesajennya dimakan oleh anaknya. Selain itu, akibat ulah Madun, anak-anak yang lain juga terkena getahnya. Mereka mengalami sakit seperti yang dialami Madun. Pada dasarnya bapak dan ibu Madun tidak percaya dengan tahayul tentang danyang-danyang dan sesajen. Tapi pada akhirnya mereka ikut arus masyarakat karena takut dengan masyarakat lain yang mempercayai tahayul itu. 

Ibu Madun lalu bertanya pada suaminya, apakah ada orang yang tahu tentang ulah Madun yang memakan sajen itu. Suaminya pun menjawab bahwa tidak ada orang yang tahu kecuali dia sendiri dan Pri yang telah diberitahu oleh Madun. Tapi ia menyarankan agar tidak khawatir kepada Pri. Sebab Pri telah didoktrinnya bahwa Madun telah membohinginya. Dan Pri pun mempercayainya.

Tak lama kemudian timbul desas-desus tentang wabah penyakit yang menyerang anak-anak Desa Woh. Warga beranggapan bahwa penyakit tersebut akibat balak dari Danyang desa. Hati Ibu dan Bapak Madun semakin was-was mendengar ungkapan itu. Mereka takut bahwa warga telah tahu tentang ulah Madun yang memakan sesajen para danyang. Tapi tidak, warga beranggapan lain. Mereka berfikir kalu wabah itu dipicu oleh sikap dan ulah anak-anak yang kerap bermain di kali dengan seenaknya saja. Bagi mereka, sebab itulah anak-anak banyak yang sakit. Dan kali harus segera diberi sajen yang lebih banyak.

“Sore yang ramai dan sangat ramai di Desa Woh. Semua orang membincangakan Danyang desa yang marah dan memberi balak. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah anak-anak desa yang suka mandi di kali dengan seenaknya. Meringis dan membuat mainan kali sesuka hati mereka. Dari sinilah sumber penyakit anak-anak desa. ...” (Hal. 35)

Suasana seperti itu masih kental dilakukan oleh masyarakat Desa Woh. Ritulal untuk para Danyang dan sesajen-sesajen kerap dilakukan ketika ada setiap permasalahan yang timbul di desa itu. Selain itu, ritual untuk para danyang dengan sesajen-sesajen itu dilakukan ketika warga desa banyak memperoleh keberuntungan yang melimpah ruah dari hasil pertaniannya. 

Dalam Novel Delusi ini terdapat nilai-nilai yang layak direnungkan. Realitas budaya sangat nampak dan terasa kental dalam novel ini, tentang nilai-nilai budaya Jawa dan waham atau tahayul yang kemudian tercerahkan oleh iman islami.


Muhamad Mishbahuzzaini, lahir di Desa Cendono, Kec. Dawe, Kab. Kudus. Kesibukan setiap hari mengajar, editor naskah dan menulis. Riwayat pendidikan:   tahun 2006 lulusan SD 05 Cendono Dawe Kudus, tahun 2009 MTs. NU Sunan Muria Piji Dawe Kudus, tahun 2012 MA Mafatihul Huda Malang, tahun 2019 S1 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Budi Utomo Malang. Karya yang sudah  terbit: Realitas Budaya Jawa Prespektif Kajian Sosiologi Sastra, Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Modul Belajar Saya Bangga Berbahasa Indonesia, beberapa antologi cerpen dan antologi puisi di berbagai penerbit.


0 comments