Ketika Dia Tidak Terima
Ade Achmad Ismail
Tiba-tiba saja Ganto duduk di pinggir bangku
panjang di ruangan tengah rumah kontrakan yang kami jadikan sebagai sekretariat
aksi. Dia menunduk membaca isi pesan masuk di aplikasi pesan daring gawai pintarnya. Tangan kanannya mengusap layar dan
menggulir-gulirkan jempolnya ke atas. Tangan kirinya menutupi dahinya, seperti
mau menangis. Prasangkaku itu, aku urungkan. Mungkin sedang bingung saja. Atau ada hal lain?
Ganto adalah pemimpin Aksi Kamisan yang sudah kami
jalankan bertahun-tahun. Dia berani membentak dosen dan membela aksi. Menurutnya itu lebih penting ketimbang harus mendengarkan
presentasi makalah yang dihasilkan dari salinan tulisan di internet.
Ganto juga sering
menceramahi semua teman-temannya kalau aksi sosial lebih penting dari pada
harus berjualan, berbisnis yang menguntungkan diri sendiri. Dia tidak terima
ketika gagasannya dimentahkan dengan persepsi ancaman-ancaman yang
menyeramkan. Dia tidak terima ketika seisi pikirannya dibantah dengan kata “Kamu
siapa? Kuliah saja berantakan”.
Selesai Aksi Kamisan yang mengingatkan
masyarakat tentang limbah galian C yang sudah memakan korban. Tiba-tiba Ganto
berhenti di sebuah jembatan yang biasanya ia gunakan untuk beristirahat. Dia
memandangi tiga anak kecil yang bermain di sungai dan sesekali saling menggoda
satu sama lain.
“Apa yang kau lakukan
tadi? Menyerah?” tiba-tiba Titu mendorong tubuh Ganto dari belakang, tubuh
Ganto terbentur pembatas jembatan. “Mending
minggat saja kamu.” Nadanya
meninggi.
“Apa yang salah?” Ganto berlagak tak mengerti.
“Mulai sekarang kamu
jangan lagi menginjak Sekret!” Titu berkata tegas.
Perkataan Titu terakhir
itu, menyelinap keras masuk ke telinga Ganto, seperti menggema, dan terdengar berulang-ulang.
***
Rombongan aksi
meninggalkan Ganto, mereka hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi kepada
Ganto, mereka tidak mungkin bertanya apa yang telah mengusik Ganto sehingga
bisa melakukan kesalahan besar seperti itu, mereka tahu, itu masalah pribadi
Ganto.
Ganto duduk tertunduk,
melipat kakinya dan meletakkan dahinya di lutut. Ganto enggan melihat punggung
teman-temannya yang berpaling.
“Mereka sudah menjauh,
sudahlah.”
Mira merangkul Ganto dan mencoba
melakukan apa saja untuk menenangkan hati Ganto yang terusik.
“Kenapa kau masih di sini, Mir? Tidak balik ke Sekret?” tanya Ganto.
Mira tidak menjawab,
dia mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya, rokoknya kucel, mungkin karena
tanpa bungkus dan terlalu lama di sakunya. Mira menyulutnya dan kemudian
memberikan kepada Ganto.
“Tinggal satu, join, ya.”
Ganto hanya membalasnya
dengan anggukan. Mira mafhum dan memberikan rokoknya kepada Ganto, rokok satu
untuk berdua.
“Aku tak kan menyuruhmu
bercerita tentang apa yang mengusikmu dua minggu ini, kamu tahu, kamu dan aku
sudah sangat dekat selama ini.”
Ganto tetap diam.
“Sebenarnya kita ini
apa?” Mira
memecah hening.
Ganto mengembuskan asap
rokok ke atas, membuang batang rokok yang baru dihisap setengah batang. Menatap
dalam-dalam mata Mira, mencoba mencari apa yang sebenarnya Mira pikirkan
sehingga muncul pertanyaan Mira seperti itu.
“Aku tidak terima kamu
berbicara seperti itu.”
“Kenapa? Kamu tidak
sempat memikirkan hubungan kita?” Mira terlihat serius kali ini.
Ganto
seakan tak bergairah kali ini. “Tidak
ada ruang sedikitpun, Mir”
“Empat tahun, Ganto. Semua sudah aku berikan
kepadamu, perhatianku, kesenanganmu, semuanya.” Napas Mira terengah-engah.
Mereka saling bertatap
mata. Namun Mira memalingkan pandangannya, mencoba mencari pandangan yang lain,
Ganto sudah tidak bisa dia harapkan lagi.
Pandangannya kosong.
Ganto tetap saja diam. Dia tidak percaya dengan yang dikatakan Mira untuk
keadaannya yang sekarang.
“Memang masalahmu apa?
Keluargamu?” Mira
memberi jeda sebentar, menatap Ganto dalam,
“kamu sudah dibuang, Ganto. Mereka
mengusirmu dengan sangat kasar, membuangmu dari mobil dan ...”
Kembali Mira tidak
dapat melanjutkan ocehannya. Mulutnya tiba-tiba terkunci. Entah karena dia
kembali menatap Ganto, atau dia tidak tega mengatakan keburukan lain yang Ganto
alami ketika pertama kali menemukannya dalam kedaan lusuh di bawah jembatan.
“Seharusnya kau tidak
berkata seperti itu Mir, bagaimanapun, mereka tetap keluargaku.”
Mira
menggeleng. “Seharusnya kamu tidak menyimpan nomor ibumu. Terus meneleponnya ketika teman-teman sudah tertidur.
Seharusnya kamu buang saja nomor itu.”
“Diam!” Nada
suara Ganto mengeras, Mira terdiam.
Tangan Ganto sudah
mengepal tapi untuk mengangkatnya saja terasa berat, apalagi melayangkan
pukulan ke wajah perempuan yang sudah lama kenal dekat dengan dia. Itu sama
saja menghancurkannya.
“Apa? Mau pukul? Ayo
pukul aku. Bukankah kamu selalu melakukannya
kepada setiap aparat yang tidak sependapat denganmu, menghalangi aksi sosialmu,
menghalangi aksi kemanusiaan setiap kamis di depan gedung DPRD itu?” Mata Mira berkaca-kaca.
Mira terengah-engah
kembali. Ketika keadaan tubuh Mira sudah tenang, Ganto menyerahkan ponselnya.
Terbuka pesan di layarnya, bar atas layar tertulis “Ibu”, dan isi pesannya
menumpahkan air mata Mira.
“Pulang, Nak”.
Ade Achmad Ismail, salah satu pendiri rumah literasi kecil bernama “Paradigma
Institute” yang berkonsen pada dunia penerbitan buku. Lulusan IAIN Kudus dan
pernah menjabat sebagai Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Paradigma Kudus.
0 comments