Ketika Saya Takut dengan Tangan Sendiri
Saya takut, bukan berarti saya
salah.
Hari-hari belakangan ini saya (mungkin juga kalian semua) memang merasa
takut. Ketakutan itu tampak begitu nyata. Tidak bisa saya sembunyikan rasa
takut itu dari nada bicara, dari sorot mata, dan dari cara saya menggerakkan
tangan. Saya tidak mempunyai pilihan
yang menggembirakan. Saya harus melakukan jaga jarak sosial, rajin mencuci
tangan, dan tinggal di dalam rumah. Lihatlah rumah-rumah terkunci, jalan sepi,
sekolah sepi, bahkan di dalam hati saya sekalipun, suasananya sepi, membosankan.
Semua itu saya lakukan karena saya merasa takut.
Tapi sebagian lainnya berpendapat berbeda. Kita tak perlu takut, karena
Tuhan melindungi. Kita tidak perlu menjaga jarak, kita boleh tetap bersalaman.
Bukankah bersalaman adalah tradisi kita yang harus dipertahankan. Kita tidak
perlu mengenakan masker, karena hidup dan mati sudah ditentukan oleh Tuhan. Kita
ini orang beriman.
Mereka yang bersikap seperti ini, siapa tahu, sebenarnya juga merasa
takut. Seandainya mereka merasa tidak takut dengan ancaman virus corona, karena
imannya sudah tebal, janganlah menyalahkan orang yang takut seperti saya.
Apalagi, orang-orang yang penakut seperti saya ini dianggap tidak beriman?
Jujur saja, saya takut, takut sekali. Ketika menyelesaikan tulisan ini,
tiba-tiba hidung saya mengeluarkan cairan bening dan nyaris menetes di atas
keyboard. Ini flu, oh. Pikiran saya sudah berlarian ke mana-mana. Diam-diam,
saya terancam dengan ketakutan saya sendiri. Sungguh, aku percaya pada-Mu, ya
Allah bahwa mati dan hidup saya berada di tangan-Mu. Tapi, ketakutan itu tetap
saja tak bisa hilang.
Saya percaya bahwa ketakutan itu memang sengaja diciptakan oleh Tuhan.
Dengan demikian, apakah saya salah jika saya merasa takut? Bukankah ketakutan
adalah senjata terhebat Tuhan? Itulah kenapa Tuhan membuat neraka. Takut
haruslah menjadi pilihan saya (dan juga kita bersama) untuk keluar dari krisis
corona. Perasaan tidak takut, sebaliknya, justru menakutkan karena saya bisa terjebak
pada keangkuhan sosial.
Setahu saya, jika Tuhan menciptakan aturan, hukum, atau pola, Tuhan
tidak melanggarnya. Tuhan menciptakan hukum tata surya, dan Dia mentaatinya.
Tuhan berkehendak bahwa pertemuan ovum dan sperma akan melahiran janin baru,
Dia mentaatinya. Bukan berarti Tuhan tidak bisa melanggarnya. Bukan. Tetapi,
semua itu bertujuan agar manusia mau berpikir dan belajar.
Begitu juga, ketika Tuhan menciptakan virus corona, tentu Dia juga sudah
menciptakan aturan, hukum dan polanya. Kita harus mempelajari pola-pola virus
tersebut jika kita ingin melumpuhkannya. Tapi, siapakah yang bisa
mempelajarinya? Syukurlah, pola dan aturan hidup virus tersebut tampaknya sudah
dikenali oleh para ahli virology. Jika
kita ingin selamat, kita berusaha mengikuti arahan mereka. Saya pikir, cara
itulah yang paling pantas untuk saya lakukan, sembari saya merasakan ketakutan.
***
Ketika muncul wabah flu burung sekitar 10 tahun lalu akibat merebaknya virus H5N1 atau H7N9, saya juga takut. Setiap kali melihat ayam mati
mendadak, pikiran saya selalu ke mana-mana. Saya takut jangan-jangan virus itu
akan menghabisi nyawa saya setelah mereka sukses mengekskusi ayam saya.
Bagaimana jika saya benar-benar mati dengan tragis seperti kematian ayam saya itu?
Sebelum wabah flu burung menyerang, dunia dihebohkan oleh
munculnya virus aneh bernama virus HIV/AIDS pada akhir 1996. Ketakutan melanda
dunia, tak kecuali saya. Setiap melihat silet cukur di tempat tukang cukur
murahan langganan saya, selalu muncul perasaan takut. Siapa tahu silet itu
sebelumnya sudah melukai kulit kepala seorang penderita HIV? Hiii…
Saya harus bersiap-siap menjadi pasien tertular HIV akibat
potong rambut di tukang cukur murah. Satu silet, siapa tahu, telah digunakan
untuk 10 orang secara bergantian. Mengingat itu semua, saya benar-benar
kehilangan keberanian. Dengan cara yang sederhana sekalipun, saya tidak bisa
melakukan apa-apa. Saya hanya bisa mengantisipasi dengan membawa silet dari
rumah sendiri. Saya hanya bisa mengikuti pentunjuk orang-orang yang mengerti.
Saya percaya, orang-orang pandai itu dikirim oleh Tuhan untuk menyelamatkan
ketakutan saya dan mereka yang senasib seperti saya.
Hari ini Tuhan mengirim virus corona untuk mengguncang
ketakutan saya (dan kita bersama). Bukan kematian ayam atau unggas yang saya
takutkan hari ini. Bukan silet yang saya cemaskan. Saya benar-benar merasakan,
betapa saya takut dengan tangan saya sendiri. Hari ini saya takut bersalaman,
saya takut memegang handle pintu tempat-tempat umum, bahkan saya takut memegang
wajah saya sendiri.
Saya mulai jarang merangkul anak laki-laki saya, keponakan,
dan bahkan tidak menyentuh sama sekali siswa-siswa yang sering bikin jengkel (tetapi bikin kangen juga). Mereka, anak-anak sekolah itu, harus rela belajar
di rumah secara online. Setelah salat bersama, saya hanya tersenyum sambil
menangkupkan tedua telapak tangan ke jamaah sebelah saya.
Saya tinggal di rumah dengan pintu tertutup, memasak, mencuci
baju dan piring, menyetrika, membuat
kopi, membaca dan menulis, mendengarkan musik, dan menonton youtube sampai kehabisan kuota internet.
Sedangkan mereka, dokter dan paramedis, berada di frontline, garis terdepan,
menyelamatkan pasien untuk melawan virus super cepat ini. Saya yakin,
mereka juga takut seperti saya. Betapapun kuatnya pakaian mereka dan ketatnya
prosedur kerja mereka, ada di antara mereka yang menjadi korban. Mereka
benar-benar menjadi pahlawan hari ini. Mereka menyuruh saya tinggal di rumah
bersama keluarga, sedangkan mereka bertugas dengan mempertaruhkan keselamatan
dirinya sendiri.
Saya merasakan mereka juga takut, tetapi mereka tetap
memberanikan diri untuk selalu berkata serupa ini, “Janganlah takut secara
berlebihan, kita harus tenang.” Saya pernah mengatakan kalimat serupa kepada
anak dan istri saya ketika mereka panik, sementara saya sendiri dilanda rasa
takut luar biasa hingga keluar keringat dingin.
Saya tidak mampu menjelaskan perasaan takut jenis apa yang seperti
ini. Ketakutan yang mendekati batas ketakutan itu sendiri. Bersamaan dengan
itu, mereka harus menguatkan orang lain. Mereka berusaha bahwa ketakutan harus menemukan
sumbernya. Dan, setelah sumber ketakutan itu mereka temukan, mereka kemudian
pergi ke sana dan tinggal di dalam ketakutan itu. “Find out what you’re afraid of and go live there,” kata Chuck
Palahniuk, penulis novel Invisible
Monsters asal Amerika Serikat. It’s
crazy.
Saya melihat dokter dan paramedis melakukan ini demi saya,
demi kemanusiaan, demi mempertahan spesies manusia yang saya banggakan ini.
Saya yakin bahwa ketakutan memang nyata meskipun tidak ada
artefak yang membuktikan dia ada. Virus corona yang berukuran 0,125
mikrometer itu telah merangsang ketakutan dokter dan paramedis dan kita semua sampai
mencapai titik batas terakhir. Mereka memang harus berani tinggal di dalam
ketakutan itu agar mereka bisa membantu orang-orang seperti saya menemukan
keberanian untuk memukul dan melawan virus corona. Selama kita tidak berhenti
memukul, kita belum dianggap kalah dalam melakukan perlawanan.
Saya yakin Tuhan hadir untuk menolong saya (dan kita semua), dan janganlah
salahkan jika saya merasakan ketakutan seperti ini.
Baca juga Cara Memandang Bintang-Bintang atau Jika Bukan Kesetiaan,Pasti, yang Abadi Adalah Tragedi.
0 comments