Ketika Saya Takut dengan Tangan Sendiri

Jimat Kalimasadha

Esai Jimat Kalimasadha


Saya takut, bukan berarti saya salah.

Hari-hari belakangan ini saya (mungkin juga kalian semua) memang merasa takut. Ketakutan itu tampak begitu nyata. Tidak bisa saya sembunyikan rasa takut itu dari nada bicara, dari sorot mata, dan dari cara saya menggerakkan tangan. Saya tidak mempunyai pilihan yang menggembirakan. Saya harus melakukan jaga jarak sosial, rajin mencuci tangan, dan tinggal di dalam rumah. Lihatlah rumah-rumah terkunci, jalan sepi, sekolah sepi, bahkan di dalam hati saya sekalipun, suasananya sepi, membosankan.

Semua itu saya lakukan karena saya merasa takut.

Tapi sebagian lainnya berpendapat berbeda. Kita tak perlu takut, karena Tuhan melindungi. Kita tidak perlu menjaga jarak, kita boleh tetap bersalaman. Bukankah bersalaman adalah tradisi kita yang harus dipertahankan. Kita tidak perlu mengenakan masker, karena hidup dan mati sudah ditentukan oleh Tuhan. Kita ini orang beriman.

Mereka yang bersikap seperti ini, siapa tahu, sebenarnya juga merasa takut. Seandainya mereka merasa tidak takut dengan ancaman virus corona, karena imannya sudah tebal, janganlah menyalahkan orang yang takut seperti saya. Apalagi, orang-orang yang penakut seperti saya ini dianggap tidak beriman?

Jujur saja, saya takut, takut sekali. Ketika menyelesaikan tulisan ini, tiba-tiba hidung saya mengeluarkan cairan bening dan nyaris menetes di atas keyboard. Ini flu, oh. Pikiran saya sudah berlarian ke mana-mana. Diam-diam, saya terancam dengan ketakutan saya sendiri. Sungguh, aku percaya pada-Mu, ya Allah bahwa mati dan hidup saya berada di tangan-Mu. Tapi, ketakutan itu tetap saja tak bisa hilang.

Saya percaya bahwa ketakutan itu memang sengaja diciptakan oleh Tuhan. Dengan demikian, apakah saya salah jika saya merasa takut? Bukankah ketakutan adalah senjata terhebat Tuhan? Itulah kenapa Tuhan membuat neraka. Takut haruslah menjadi pilihan saya (dan juga kita bersama) untuk keluar dari krisis corona. Perasaan tidak takut, sebaliknya, justru menakutkan karena saya bisa terjebak pada keangkuhan sosial.

Setahu saya, jika Tuhan menciptakan aturan, hukum, atau pola, Tuhan tidak melanggarnya. Tuhan menciptakan hukum tata surya, dan Dia mentaatinya. Tuhan berkehendak bahwa pertemuan ovum dan sperma akan melahiran janin baru, Dia mentaatinya. Bukan berarti Tuhan tidak bisa melanggarnya. Bukan. Tetapi, semua itu bertujuan agar manusia mau berpikir dan belajar.

Begitu juga, ketika Tuhan menciptakan virus corona, tentu Dia juga sudah menciptakan aturan, hukum dan polanya. Kita harus mempelajari pola-pola virus tersebut jika kita ingin melumpuhkannya. Tapi, siapakah yang bisa mempelajarinya? Syukurlah, pola dan aturan hidup virus tersebut tampaknya sudah dikenali oleh para ahli virology. Jika kita ingin selamat, kita berusaha mengikuti arahan mereka. Saya pikir, cara itulah yang paling pantas untuk saya lakukan, sembari saya merasakan ketakutan.

***
  
Ketika muncul wabah flu burung sekitar 10 tahun lalu akibat merebaknya virus H5N1 atau H7N9, saya juga takut. Setiap kali melihat ayam mati mendadak, pikiran saya selalu ke mana-mana. Saya takut jangan-jangan virus itu akan menghabisi nyawa saya setelah mereka sukses mengekskusi ayam saya. Bagaimana jika saya benar-benar mati dengan tragis seperti kematian ayam saya itu?

Sebelum wabah flu burung menyerang, dunia dihebohkan oleh munculnya virus aneh bernama virus HIV/AIDS pada akhir 1996. Ketakutan melanda dunia, tak kecuali saya. Setiap melihat silet cukur di tempat tukang cukur murahan langganan saya, selalu muncul perasaan takut. Siapa tahu silet itu sebelumnya sudah melukai kulit kepala seorang penderita HIV? Hiii…

Saya harus bersiap-siap menjadi pasien tertular HIV akibat potong rambut di tukang cukur murah. Satu silet, siapa tahu, telah digunakan untuk 10 orang secara bergantian. Mengingat itu semua, saya benar-benar kehilangan keberanian. Dengan cara yang sederhana sekalipun, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya hanya bisa mengantisipasi dengan membawa silet dari rumah sendiri. Saya hanya bisa mengikuti pentunjuk orang-orang yang mengerti. Saya percaya, orang-orang pandai itu dikirim oleh Tuhan untuk menyelamatkan ketakutan saya dan mereka yang senasib seperti saya.

Hari ini Tuhan mengirim virus corona untuk mengguncang ketakutan saya (dan kita bersama). Bukan kematian ayam atau unggas yang saya takutkan hari ini. Bukan silet yang saya cemaskan. Saya benar-benar merasakan, betapa saya takut dengan tangan saya sendiri. Hari ini saya takut bersalaman, saya takut memegang handle pintu tempat-tempat umum, bahkan saya takut memegang wajah saya sendiri.

Saya mulai jarang merangkul anak laki-laki saya, keponakan, dan bahkan tidak menyentuh sama sekali siswa-siswa yang sering bikin jengkel (tetapi bikin kangen juga). Mereka, anak-anak sekolah itu, harus rela belajar di rumah secara online. Setelah salat bersama, saya hanya tersenyum sambil menangkupkan tedua telapak tangan ke jamaah sebelah saya.

Saya tinggal di rumah dengan pintu tertutup, memasak, mencuci baju dan piring, menyetrika, membuat kopi, membaca dan menulis, mendengarkan musik, dan menonton youtube sampai kehabisan kuota internet. Sedangkan mereka, dokter dan paramedis, berada di frontline, garis terdepan,  menyelamatkan pasien untuk melawan virus super cepat ini. Saya yakin, mereka juga takut seperti saya. Betapapun kuatnya pakaian mereka dan ketatnya prosedur kerja mereka, ada di antara mereka yang menjadi korban. Mereka benar-benar menjadi pahlawan hari ini. Mereka menyuruh saya tinggal di rumah bersama keluarga, sedangkan mereka bertugas dengan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri.

Saya merasakan mereka juga takut, tetapi mereka tetap memberanikan diri untuk selalu berkata serupa ini, “Janganlah takut secara berlebihan, kita harus tenang.” Saya pernah mengatakan kalimat serupa kepada anak dan istri saya ketika mereka panik, sementara saya sendiri dilanda rasa takut luar biasa hingga keluar keringat dingin.

Saya tidak mampu menjelaskan perasaan takut jenis apa yang seperti ini. Ketakutan yang mendekati batas ketakutan itu sendiri. Bersamaan dengan itu, mereka harus menguatkan orang lain. Mereka berusaha bahwa ketakutan harus menemukan sumbernya. Dan, setelah sumber ketakutan itu mereka temukan, mereka kemudian pergi ke sana dan tinggal di dalam ketakutan itu. “Find out what you’re afraid of and go live there,” kata Chuck Palahniuk, penulis novel Invisible Monsters asal Amerika Serikat. It’s crazy.

Saya melihat dokter dan paramedis melakukan ini demi saya, demi kemanusiaan, demi mempertahan spesies manusia yang saya banggakan ini.

Saya yakin bahwa ketakutan memang nyata meskipun tidak ada artefak yang membuktikan dia ada. Virus corona yang berukuran 0,125 mikrometer itu telah merangsang ketakutan dokter dan paramedis dan kita semua sampai mencapai titik batas terakhir. Mereka memang harus berani tinggal di dalam ketakutan itu agar mereka bisa membantu orang-orang seperti saya menemukan keberanian untuk memukul dan melawan virus corona. Selama kita tidak berhenti memukul, kita belum dianggap kalah dalam melakukan perlawanan.

Saya yakin Tuhan hadir untuk menolong saya (dan kita semua), dan janganlah salahkan jika saya merasakan ketakutan seperti ini.

Baca juga Cara Memandang Bintang-Bintang atau Jika Bukan Kesetiaan,Pasti, yang Abadi Adalah Tragedi.


Jimat Kalimasadha, redaktur tajug.net, ia bisa diakses di bit.ly/bu-buku

0 comments