Memanfaatkan Komunitas untuk Belajar dengan Gembira

Mukti Sutarman Espe

BBJT


Dari waktu ke waktu komunitas penulis tumbuh di mana-mana. Keberadaannya berdampingan dengan laju pergerakkan dunia literasi setiap generasi pada masing-masing zamannya. Sulit membandingkan kualitas satu komunitas dengan komunitas lain, baik yang hidup sezaman maupun yang lintas zaman. Fasilitas penyokong, spirit, sumber daya manusia, dan lingkungan masing-masing, sangat berpengaruh pada kondisi sebuah komunitas. Ketahanan dan kemampuan dalam menjawab tantangan menjadi jaminan sebuah komunitas penulis untuk  tetap eksis pada jalurnya.

Saya tidak tahu persis, kini di Jawa Tengah ada berapa puluh atau ratus komunitas penulis. Yang jelas, tahun 80-an di provinsi ini pernah hadir komunitas penulis yang kiprah dan namanya cukup kondang. Seperti, Keluarga Penulis Semarang (KPS), Kumandang Sastra (Kusas), Bening PMS (Semarang), Kelompok Studi Sastra Remaja (KSSR) Kendal, Kopipissa (Purworejo), Kelompok Studi Sastra Jepara (KSSJ), Keluarga Penulis Kudus (KPK), dan beberapa lagi yang namanya saya lupa,

Sudah barang tentu sekarang ini banyak sekali berdiri komunitas penulis baru. Setidaknya di Kudus, kini terdapat lebih dari hitungan jari kedua tangan. Sebut di antaranya, Omah Gandrung Sastra (Omah Gatra), Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku), Keluarga Berkarya (KB), Omah Aksi (OA), Komunitas Guru Menulis (KGM), Omah Dongeng Marwah (ODM,) Jagong Sastra –entah apa singkatan atau akronimnya. Jastra? Ah, kok mirip-mirip nama juragan sate kerbau ya. Maaf.

Mengelola komunitas penulis, menurut saya, pekerjaan yang gampang-gampang susah. Gampang, bila semua pengurus dan anggotanya memiliki hasrat dan kesadaran sama. Sama-sama merasa memiliki, sama-sama mau menjaga, sama-sama mau menggerakkan. Sedang  susahnya, jika komunitas itu dihuni oleh banyak orang egois sekaligus narsis. Satu dan yang lain merasa lebih hebat. Pengurus merasa punya hak lebih daripada anggota. Sementara anggota acuh tak acuh pada kondisi komunitasnya.

Dengan kalimat lain, kunci keberhasilan sebuah komunitas penulis lebih terletak pada sinergitas hasrat dan atau kekompakan tekad masing-masing penghuninya. Satu lagi, dibutuhkan kehadiran orang “gila” yang dengan ikhlas mau berkorban waktu, berkorban uang, bahkan berkorban perasaan. Dia, yang mesti mau selalu berada di depan. Menggerakkan roda komunitas sekaligus mencarikan atau menanggung semua dana kegiatan yang dibutuhkan.

Sekalipun menggunakan kata penulis di belakang kata komunitas, kenyataan yang ada hampir semua komunitas hanya mengakrabkan diri, mempelajari pembuatan tulisan genre puisi dan prosa fiksi; cerita pendek, novel. Jarang saya dapati komunitas penulis yang spesial mempelajari prosa nonfiksi. Seperti penulisan esai, berita, laporan, biografi,  human interes. Sependek pengetahuan saya, hal itu terjadi di mana-mana.

Gerangan apakah penyebabnya? Saya berani menjawab hanya berdasar kemungkinan dan duga sangka, mungkin puisi, cerpen, novel, dan genre prosa fiksi yang lain, lebih bisa dilakukan dengan suka-suka. Aturan dan ketentuan yang digariskan lebih lentur dan mudah disiasati.

Banyak yang kurang menyadari, sesungguhnya fungsi utama komunitas penulis adalah untuk ajang belajar. Belajar apa? Ya, belajar menulis. Orang namanya komunitas penulis. Supaya berimbang tentu kegiatan menulis itu harus dilengkapi dengan kegiatan membaca dan diskui. Tiga pilar penting  kegiatan literasi. Karena ragam literasi secara umum sangatlah luas maka agar lebih fokus sebaiknya disederhanakan pada tiga kegiatan dasarnya, yakni membaca, diskusi,  dan menulis.

Almarhum Romo Mangun Wijoyo, novelis, budayawan, agamawan, yang terkenal dengan novelnya “Burung Burung Manyar” mengatakan, kegiatan membaca dan menulis ibarat mata uang  dua sisi. Tidak terpisahkan. Kaberadaannya lengkap-melengkapi. Jika itu dikaitkan dengan dunia literasi, sesisi mata uang adalah menulis sesisi lainnya adalah  membaca. Kegiatan membaca ibarat orang sedang mengisi kendi dengan air. Bilamana kendi itu sudah penuh maka terniscayakan air akan tumpah, mbleber. Nah, bleberan air itulah yang bagi orang-orang yang mempunyai keterampilan menulis bisa dijadikan tulisan.

Jadi, seyogianya komunitas  penulis lebih mengutamakan kegiatan yang terkait hubung dengan membaca dan tulis-menulis. Apa pun genre tulisan yang dipelajari. Redaktur Pelaksana tajug,net, Jimat Kalimasadha punya pendapat bagus. Begini, “Kalau menamakan diri komunitas penulis, ya, ayo belajar menulis dan mengasah keterampilan menulis bersama-sama dengan gembira.” Perhatikan frasa “dengan gembira”, betapa elok. Kata para bijak bestari, kegembiraan merupakan energi positif bagi seseorang yang sedang mempelajari atau mengerjakan sesuatu. Sesuatu itu silakan dimaknai sebagai kegiatan literasi.

Apakah bedah buku, baca puisi atau cerpen di panggung tidak boleh? Tidak ada yang melarang. Sejauh itu masih berkait hubung atau istilah gagahnya, berbenang merah dengan kegiatan membaca, diskusi, dan menulis, boleh-boleh saja. Hanya sangat perlu diingat  bahwa kegiatan utama anggota kumunitas penulis adalah membaca dan menulis. Kegiatan panggung, baca puisi, cerpen, dan yang semacamnya, anggap sebagai selingan rekreatif yang bertujuan men-charge rasa dan pikir, mencari suasana lain guna menumbuhkan gairah baru.

Lalu soal bagaimana dan di mana memperoleh bahan bacaan. Saya kira hal itu bukan lagi merupakan kendala berarti bagi para anggota komunitas penulis masa kini. Bacaan berkualitas genre tulisan apa pun sekarang bisa dengan mudah diakses lewat mesin penjelajah, google, perpustaan digital online, dan entah di mana lagi. Itulah keuntungan komunitas penulis masa kini. Bahan bacaan tersedia secara gratis, media penayang karya banyak dan terbuka bebas, penerbit-penerbit indi siap mencetak dan menerbitkan buku, seberapa pun jumlah eksemplarnya. Apalagi yang kurang?

Hemat saya, yang kurang, mungkin, semangat berkompetisi. Sejauh pengetahuan saya, banyak komunitas di Kudus yang anggotanya kurang berani berkompetisi secara terbuka. Kompetisi dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Seperti ikut seleksi undangan terbuka pembuatan buku antologi puisi bertema dari sebuah komunitas atau sebuah kepanitiaan, ikut lomba kepenulisan, mengirim karya ke surat kabar-surat kabar  yang menyediakan rubrik esai, puisi, atau cerpen. Itulah yang barangkali menyebabkan kebanyakan nama komunitas penulis di Kudus, hanya dikenal dan beredar sebatas dalam wilayah kota dan sekitarnya.

Untuk membuat diri bisa lebih dikenal, selain karya bagus, berani berkompetisi secara terbuka, juga diperlukan kepiawaian dalam membuka jaringan antarpribadi atau pun antarkomunitas. Ini penting diingatkan. Dalam era yang memposisikan terknologi informasi komunikasi sebagai panglima seperti sekarang ini, jaringan perlu dijalin sebanyak-banyaknya. Data empiris mendedahkan, hanya mengandalkan kualitas tulisan saja tidak menjamin seseorang dapat dikenal oleh publik dan kalangan penulis secara luas. Bagaimana cara membuka jaringan? Bermacam-macam cara bisa dilakukan, sejauh tidak mencederai nilai kejujuran, etika, dan harga diri, silakan.

Perihal kegiatan literasi di Kudus, beruntung kota ini punya Kofiku, yang saya tahu telah beberapa kali menerbitkan buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen, novel sekaligus menyelenggarakan acara diskusi. Gatra, komunitas yang bermarkas di kota kecamatan, Undaan, juga beberapa waktu lalu menerbitkan buku kumpulan puisi Rawatirta dan mengadakan acara bincang-bincang bukunya secara terbuka. LPM Paradigma Institut IAIN Kudus yang juga beberapa kali menerbitkan buku dan mengadakan acara literasi di kampusya. Anak-anak muda empunya komunitas tersebut begitu luar bisa dalam mengelola gairah berliterasi mereka. Tabik!

Pada titik itu, tersebab keterbatasan, saya sungguh minta maaf jikalau ada komunitas lain atau penulis perseorangan di Kudus yang sudah berkiprah sama atau bahkan lebih dari ketiga nama yang saya sebut di atas, namun tidak saya catat dalam tulisan pendek  ini.

Selain bergiat literasi secara internal dalam komunitas, mengikuti pelatihan menulis yang di selenggarakan oleh pihak-pihak berkompeten juga sangat perlu. Mengikuti pelatihan merupakan cara semiformal untuk menambah ilmu. Lebih-lebih bila narasumbernya para akademisi atau praktisi yang mumpuni. Namun, siapa pun narasumbernya, jangan pernah sekalipun meremehkan. Lebih seyogia bila berpegang pada ilmu padi, kian bernas kian  menunduk. Atau mengikuti filosofi dunia persilatan, di atas langit masih ada langit.

Akan tetapi perlu juga diingat, kegiatan pelatihan, bengkel, lokakarya, workshop  atau apa pun namanya, tidak ada satu pun yang menjamin bisa menjadikan pesertanya sukses. Kapasitas para narasumber hanya sebatas membantu, memberi pembimbingan teknis saja. Kalau toh ada ekstra tipnya, paling hanya mengarahkan serta menunjukkan jalan menuju kesuksesan, bercerita tentang pengalaman pribadi dan memberi motivasi. Selebihnya, bergantung pada masing-masing diri peserta. Keberhasilan lebih banyak ditentukan oleh ambisi, bobot keseriusan, dan daya juang  orang per orang.  Untuk menjadi penulis hebat sangat diperlukan kemauan kuat dan kerja keras tanpa henti. Dan itu, sekali lagi, datangnya dari diri sendiri. Mengingat menulis adalah kegiatan personal sekaligus individualis.


Jadi, bila berhasrat besar jadi penulis sukses, mari menempa diri secara intens, belajar menulis bersama teman-teman sekomunitas dengan riang gembira. Tanpa henti.


Mukti Sutarman Espe, penggiat literasi Kudus, penasihat KPK, dewan redaksi Tajug.net.

0 comments