Menulis dan Menjadi Penulis
Menulis
berbeda dengan menjadi penulis. Yang pertama bisa sendirian, yang kedua butuh
teman. (#KampusFiksi)
Kutipan di atas saya dapat dari twitter @kampusfiksi.
Kebetulan saya pernah mengikuti pelatihan #KampusFiksi di Jogja yang
diselenggarakan oleh Penerbit DIVA Press. Karena itu, saya jadi akrab dengan
kutipan tersebut. Di samping itu, pun mengamininya.
Pada pertengahan tahun 2015, saya dan teman-teman dari Kudus
–yang malah saling kenal di dunia maya– memutuskan bertemu. Sebelumnya saya belum
punya banyak teman dari Kudus yang memiliki minat dan kesenangan di dunia literasi.
Lingkaran pertemanan saya hanya di dunia maya saja. Saat itulah saya sadar,
bahwa saya juga butuh teman yang dapat ditemui secara langsung.
Teman untuk apa? Ya, untuk berbagi pengalaman, berbagi
kesenangan, berbagi keresehan dan lain sebagainya.
Bukankah memiliki teman yang punya minat dan kesenangan yang sama itu sungguh membahagiakan?
Perkumpulan kami itu lalu kami namai Komunitas Fiksi Kudus.
Kenapa? Karena kebetulan minat kami pada karya tulis fiksi, tapi tidak menutup
kemungkinan akan membahas karya tulis non fiksi juga. Dengan membentuk sebuah
komunitas, kami berharap akan bertemu teman-teman baru, sehingga akan lebih banyak
lagi hal-hal yang nantinya bisa dibahas dan dibagi.
Sebenarnya saya mengusulkan membentuk komunitas karena
pada waktu itu saya belum menemukan komumitas literasi di Kudus. Ini murni
karena keterbatasan saya dan kekuperan saya. Padahal ternyata sudah berdiri
beberapa komunitas literasi yang karya-karya anggotanya sudah bergaung di
luaran sana. Sebut saja Keluarga Penulis Kudus, Komunitas Jenank, Forum Lingkar
Pena, dan mungkin masih ada beberapa saya ketahui.
Penulis
Makhluk Sosial
Kembali ke kutipan di atas. Adanya komunitas-komunitas
literasi seperti yang saya sebutkan di atas, saya semakin mengamini bahwa
menjadi penulis memang butuh teman. Apalagi sekarang muncul nama-nama komunitas
literasi di Kudus seperti Omah Gatra, Keluarga Berkarya, Jagong Sastra,
Komunitas Guru Menulis, dll. Mungkin mereka semua mengamini juga bahwa penulis
memang butuh teman.
Penulis kan juga manusia. Manusia itu makhluk sosial. Menurut
Aristoteles, makhluk sosial merupakan zoon
politicon, yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan
berinteraksi satu sama lain. Jadi sudah pas kalau sebagai seorang penulis,
tetap butuh berinteraksi satu sama lain.
Lalu
bagaimana dengan menulis?
Sebenarnya setiap penulis punya gaya atau cara sendiri dalam
menulis. Ada yang bisa menulis dalam keramaian, ada yang menulis sambil
mendengarkan musik Korea, ada yang memilih musik instrumental, dan ada yang
lebih memilih tenggelam dalam kesunyian.
Kesunyian kerap menjadi pilihan kebanyakan penulis untuk
menulis. Bahkan banyak penulis yang seolah punya ruang sendiri yang sunyi,
tanpa ada gangguan apa pun. Dengan sunyi, mungkin segala hal yang dipikirkan,
dirasakan dan ingin disampaikan akan lebih mudah tertuang. Dan bukankah sunyi
adalah sendiri?
Jadi, benar saja jika menulis itu biasa sendirian. Aktivitas
menulis memang tidak menuntut untuk punya partner atau dilakukan secara
bersama-sama. Namun tidak menutup kemungkinan juga jika menulis bisa dilakukan
bersama-sama. Misalnya menulis duet dengan sambung-menyambung tulisan
contohnya.
Apa pun kondisinya, dengan siapa atau sendirian, itu hakmu
kok untuk memilih. Yang penting tetap menulis. Iya toh?
Panggung-Panggung
Penulis
Abraham Maslow (1908-1970), seorang psikolog ternama
mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup (hierarchy
of needs) yang akan selalu berusaha dipenuhi, yaitu kebutuhan fisiologis
(sandang, papan, pangan, dan lain-lain), kebutuhan keamanan dan keselamatan
(bebas dari ancaman, bebas dari penyakit, dan lain-lain), kebutuhan sosial
(memiliki teman, memiliki pacar, memiliki keluarga, dan lain-lain), kebutuhan
penghargaan (pujian, tanda jasa, hadiah, dan lain-lain), serta yang terakhir
dan merupakan kebutuhan tertinggi manusia adalah kebutuhan aktualisasi diri.
Ternyata Abraham Maslow juga berpendapat bahwa manusia juga
butuh kehidupan sosial, kan? Selain itu, beliau juga menempatkan aktualisasi
diri sebagai kebutuhan tertinggi. Wah, jadi penulis yang juga manusia juga
butuh aktualisasi diri yang sebenarnya bentuknya bermacam-macam. Ada yang
membuktikan lewat karya-karya yang dimuat di media. Ada pula yang
beraktualisasi di atas pentas, dengan mementaskan karya puisi atau cerpen
misalnya. Tidak ada salahnya toh?
Semakin ke sini banyak sekali digelar panggung-panggung
sastra. Mulai panggung puisi di cafe hingga acara-acara sastra besar bertaraf
daerah hingga nasional. Ini bisa jadi salah satu tempat bagi penulis untuk
menjajal hal lain bukan?
Memang ada yang berpendapat bahwa panggung semacam itu tidak
perlu terlalu digalakkan, lebih baik menulis dalam kesunyian. Ah, terserah
saja. Bukankah setiap manusia berhak berpendapat dan berhak memilih?
Terkadang penulis memang butuh
hiburan semacam itu. Lagipula di acara-acara tersebut kan bisa bertemu dengan
banyak orang yang punya minat dan kesukaan yang sama. Yang terpenting, penulis
jangan melupakan kegiatan pokoknya, yaitu menulis itu sendiri. Ingat, nanti
kalau sudah nyaman di panggung, malah enggan menulis, loh.
Reyhan M Abdurrohman, ketua Komunitas Fiksi Kudus, redaktur Tajug[dot]net. Novelnya Ajari Aku Melupakanmu (Zettu, 2014), Mendayung Impian (Elex Media Komputindo, 2014), Chiang Mai (Loka Media, 2019). Bisa disapa di instagram @reyhan_rohman. Blog pribadinya www.reyhanmabdurrohman.my.id
1 comments
"Jangan nanti kalau sudah nyaman di panggung, enggan menulis," weh... kalimat penutupnya makjleb. Pengingat diri banget nih... hehehe... terima kasih.
BalasHapus