Ada Hikmah dari Kepalsuan Sekalipun
Judul: Fake Boyfriend on Friday
Penulis: Lina Purwati
Penerbit: CV Jejak (Jejak Publisher), anggota
IKAPI
Tahun
Terbit: 2019
Tebal: 248 halaman
ISBN: 978-602-474-842-5
Apa jadinya kalau kita dihadapkan oleh
dua pilihan, antara masuk penjara atau menjadi pacar palsu? Kata penjara selalu
terdengar ngeri di telinga siapapun. Sementara memilih menjadi pacar palsu,
mungkin lebih menyenangkan. Tapi siapa sangka, pilihan terakhir itu, bagi
Kirana, ternyata malah lebih kejam dari penjara. Karena mantan-mantan Juna
sepakat memusuhi Kirana.
“Selamat datang di penjara musuh pacar sejuta umat.” (hal. 94)
Kirana Maharani adalah siswa SMA kelas
XII MIPA yang sedang memperjuangkan kesehatan Tiara, sahabatnya, malah berujung
celaka. Ia menjalani kehidupan sebagai pacar palsu Arjuna Prabaswara, seorang
selebgram yang gagal fokus belajar karena selalu dikerubungi fansnya. Kirana,
sebagai pacar palsu Juna, bertugas untuk mengusir cewek-cewek yang suka
mengganggu belajar Juna. Sialnya, Kirana malah mendapat berbagai teror,
siksaan, bahkan lehernya dilukai oleh fans fanatik Juna.
Kisah berubah romantik ketika
pelan-pelan mereka menyadari rasa tulus mulai menggantikan kepalsuan status.
Kirana dan Juna malah bingung menyikapi perasaan cinta dengan keadaan selalu
terkena teror seperti itu.
"Cukup alasan untuk membuat seseorang tetap bertahan. Dan alasanku bertahan adalah karena kamu.” (hal. 156)
Lina Purwati menyuguhkan keseharian
remaja zaman ‘now’ dengan apik. Lengkap dengan bubuhan deksripsi yang bisa
dibayangkan oleh pembaca sebagai sesuatu yang instagenic. Kita bisa menemukan aktivitas-aktivitas alami anak
zaman sekarang yang belum banyak disentuh, misalnya anak sekolahan yang jago marketing online shop.
“Karena penampakan pasangan imut di depan, membuat keyakinan Kamal bertambah kalau penjualan bando, cokelat, bunga akan meningkat tajam di hari valentine nanti.” (hal. 121)
Kemal, tokoh yang dilukiskan Lina
sebagai anak sekolahan yang mahir marketing,
membuat novel ini semakin terkesan modern. Pasalnya, tahun-tahun ini bisa
dikatakan sebagai bomnya globalisasi. Termasuk mewabahnya profesi freelancer yang bisa dikerjakan oleh
siapa saja, termasuk anak sekolah.
Terpengaruh oleh keseharian penulis
sebagai guru matematika, novel Fake
Boyfriend on Friday ini menyuplik banyak istilah matematis. Sehingga
memperkaya pembaca tentang pengalaman matematika.
Selain itu, Lina menyelipkan berbagai
konflik seputar dunia les anak SMA yang hendak menghadapi ujian. Mengingat Lina
juga seorang tentor di bimbel terkenal, ia mampu menunjukkan jenis try out dan rangkaiannya secara detil.
Sehingga novel Fake Boyfriend on Friday
ini semakin hidup dan dekat dengan anak muda.
Meski novel ini tergolong pop, novel ini
mengandung kesan spiritual. Lina menciptakan tokoh-tokoh yang rajin beribadah,
di antaranya, salat tepat waktu. Namun dikemas lembut sehingga tidak akan menjadi
masalah bagi pembaca nonmuslim.
“Seperti biasa, setiap subuh mereka selalu jamaah, asmaul husna, mengaji, dan diakhiri doa bersama.” (hal. 44)
Secara psikososial, novel ini menawarkan
refleksi menarik. Pertama, orang tua Kirana dan Arjuna memiliki peran besar bagi
perkembangan sosial anak. Yang berarti dapat menjadi pembelajaran ringan bagi
pembaca dalam mengasuh anak.
Misalnya, cuplikan kalimat Ganang, ayah
Kirana, yang menjadi penyemangat bagi anaknya untuk selalu bertanggung jawab.
“Berpijak pada kebohongan sama saja menginjak kaca. Semuanya akan retak hingga pecah dan kamu akan terluka.” (hal. 168)
Kedua, konflik yang ditawarkan sangat
menghibur. Sehingga pembaca tidak perlu tegang, justru merasa santai. Sapa
seperti ketika memunculkan masalah, Lina juga menyajikan solusi tak kalah
santai. Meski mengandung kritik terhadap kondisi psikologi perempuan yang
selalu menginginkan penampilan maksimal.
“Ngapain malu? Manusia itu butuh makan. Bukan butuh penampilan yang sempurna tapi menyiksa.” (hal. 58)
Ketiga, semangat tanggung jawab pada
apa pun yang pernah kita lakukan disalurkan Lina Purwati melalui novel
perdananya ini.
Ketiga, hikmah yang terdapat di ending cerita mengedukasi pembaca, bahwa
semustahil apapun mimpi kita, usaha keras tidak akan menghianati.
Fadlillah Rumayn, tinggal di Kudus. Guru madrasah ibtidaiyah.
0 comments