Kembang Api di Balik Atap Limas
Asri S
Malam selalu sama.
Ribuan bintang tersebar membentuk berbagai konstelasi. Jariku akan mengayun
untuk menghitung deretan konstelasi acak dan membuat suatu garis imajiner yang
akan membuat konstelasi itu
berbentuk menyerupai sebuah gayung.
Konstelasi biduk, pikirku.
Mataku terus menyapu langit yang sedikit terhalang teras, berikut lusinan
ranting-ranting mangga yang terombang-ombing dipermainkan angin. Malam
ini aku beruntung, bulan membuat riak semakin kentara, memantulkan sinar
keperakan ke setiap sudut, menerangi halaman, dan memunculkan jarak-jarak yang menyisakan sepucuk bonggol hitam.
Ada banyak cahaya yang jauh lebih banyak
dari malam-malam biasanya. Dengan itu, aku
tidak perlu khawatir pada tikus-tikus yang mungkin berlarian menabrakku yang duduk di ambang pintu.
"Sebentar lagi
kembang apinya akan menyala."
"Iya,
Ibu."
Aku terus memperhatikan langit. Sesekali bulan terhalang awan tipis. Kemudian, aku sadar bahwa langit di atas kepalaku kadang membuat pilu. Entah kenapa dalam
sekejap langit ini lagi-lagi penuh kesunyian dan ribuan pertanyaan. Rasanya sangat sesak. Aku hanya bisa menunduk, lalu
mencoba memikirkan hal lain.
Seiring
jarum jam yang mulai berpindah dari satu angka ke angka lain, bola mataku turun
memperhatikan sebuah rumah yang tergabung dalam perumahan kaum
borjuis di seberang jalan. Pagar besinya kokoh berwarna keemasan. Temboknya dilapisi keramik marmer
dengan atap berbentuk limas, tampak menjulang hampir menutupi
ujung konstelasi biduk yang kusebut sebagai konstelasi gayung.
Di jendela lantai dua, tampak gorden kelabu
bergerak-gerak tertiup angin. Melihatnya membuatku sadar, malam lambat laun
membawa angin subuh yang membabat staminaku agar segera berbaring di tempat tidur. Meringkuk.
"Kembang apinya
pasti sebentar lagi."
"Iya, Ibu"
Aku duduk memeluk lututku, sendirian di ambang pintu. Terbenam dalam bayang-bayang teras dan ranting
mangga yang membuat celah terobosan cahaya bulan di mengenai kakiku yang
telanjang. Sebentar lagi kembang api akan bertalu-talu menyambut fajar di hari
istimewa seorang konglomerat.
Kudengar ledakan
keras yang pertama, kedua,
dan ketiga saat Ibu mulai bangkit dari sofa yang lama digerogoti tikus di sudut ruang tamu. Kakinya
yang telah terserang rematik, lincah
berlari di atas ubin untuk menyaksikan kembang api meledak-ledak kesukaannya. Aku ikut mendongak menatap langit yang hanya memperlihatkan konstelasi bintang. Lagi-lagi langit membuat
kepiluanku masuk ke tenggorokan, menyekat tangisku jauh-jauh ke ulu hati.
Ledakan itu terdengar bertalu-talu bersama rentetan suara kembang api yang
bermekaran membubuhkan
warna-warna ceria, jauh di seberang kali yang dibokongi atap berbentuk limas.
Hijau, merah, atau
kuning adalah warna-warna yang selalu terngiang di kepalaku. Rasanya aku
benar-benar ingin melihat kembang api yang tersembunyi sempurna di balik atap
berbentuk limas yang memesona itu, menyaksikan sesuatu yang Ibu sukai di
kehidupan yang serba kekurangan ini. Sederhana.
Bola mataku yang mulai basah seketika turun, menatap sesosok bayangan yang
menutup daun jendela, lalu menggeser gorden
kelabu dan mematikan lampu di lantai dua.
"Ah, ini sudah saatnya
tidur," aku terisak.
Di balik atap berbentuk limas yang selalu
kuamati, kembang api masih menggoda ingatanku, menari-nari dengan suara yang
dapat kudengar, dengan mata yang tak dapat melihat warna-warna cemerlang, yang
akan membuat bintang semakin iri.
Langkahku berat memasuki rumah yang sekian
tahun jauh labih sepi dari malam-malam yang dihiasi konstelasi. Aku menatap
remang-remang ruang tamu. Aku pun mulai ingat, Ibu telah bersama
bintang-bintang untuk membentuk konstelasi di langit itu.
Asri
S, tinggal di Tulungagung. Penulis adalah
pecinta pohon-pohon tua di alam. Berkeyakinan sesuatu yang busuk dapat berguna
melalui www.busuke.site. Dapat disapa di akun facebook sebagai Asri S, instagram
@asri_s1597, storial @asri4493, dan wattpad @AsriS15.
0 comments