Korona Membuat Saya Tak Waras
Sebelum geger virus korona, saya menjemput Ibu yang sedang sakit. Di
kampung saya yang terletak di kecamatan Wirosari, Grobogan sana, Ibu tidak ada
yang merawat. Saya memutuskan untuk membawa Ibu ke tempat kakak di Gondangrejo,
Karanganyar, 13 km dari Solo, tempat tinggal saya saat ini.
Tidak lama setelah membawa Ibu ke tempat kakak, ada pasien positif di RS.
Moewardi yang membuat walikota memutuskan status Kota Solo dengan Kejadian Luar
Biasa (KLB). Sekolah dan kampus diliburkan selama dua minggu. Saya yang rencana
bolak-balik Gondangrejo-Solo jadi buyar. Biasa kalau naik ojek daring ke tempat
Kakak, suasana ramai sekali, karena melewati Jl. Solo-Purwodadi, jalan provinsi.
Setelah ditetapkan KLB, Kota Solo sepi. Tidak hanya sepi tapi sepi yang
menakutkan.
Ibu saya sendiri menderita diabet, hipertensi, gangguan lambung
dan ... dementia. Yang terakhir ini sungguh menguras kesabaran. Selain tidak
nyambung diajak bicara, kembali seperti anak kecil, Ibu juga ngeyelan. Lengah sedikit
saja bisa hilang beliau itu. Selain ikhtiar ke medis saya juga mengobatkan Ibu
ke pengobatan alternatif tidak jauh dari rumah kakak.
Jadi yang sebenarnya ingin kuceritakan adalah begini. Dalam kondisi biasa
saja, saya sudah cukup lelah mengurus Ibu yang menguras emosi. Belum kalau saya
capek dan banyak kerjaan, bisa saya bentak. Ya, walau habis itu pasti menyesal
juga sih. Keadaan ini semakin mengikis mental ketika korona merebak. Bayangkan
tiap hari digempur berita tentang korona. Sudah dibisukan sana-sini, tetap saja
kecolongan.
Kebetulan saya juga tergabung di tim yang mengurusi penggalangan
dana untuk distribusi APD ke faskes-faskes. Menerima pesan dari RS dan
puskesmas serta klinik yang kekurangan masker sungguh bikin hati nggrantes. Belum orang-orang yang
meragukan gerakan saya dan teman-teman. Kalau sekedar ragu tidak masalah karena
saya memang tidak mengatasnamakan lembaga terkenal, modal kepercayaan dari
teman-teman dekat dan kenalan teman dekat saja. Yang membuat down dan menangis
itu karena ada yang bilang bahwa saya nyari keuntungan. Ada yang bilang
seharusnya pemerintah yang menangani itu, sedang di saat yang sama saya
menerima pesan singkat dari salah seorang perawat, “Mbak, nek nunggu pemerintah
kami keburu mati.” Siapa yang tahan?
Banyak yang bilang, seharusnya saya tidak
usah memikirkan hal seperti itu. Tapi saya tidak tega. Apalagi saya punya akses
untuk membantu mereka walau hanya mendistribusikan masker. Saya selalu
terngiang-ngiang curhatan teman dekat saya yang ibunya kerja di salah satu
rumah sakit di Boyolali.
“Di RS tempat kerja Mama nggak ada masker. Mau beli, harganya selangit. Kalaupun beli, nanti kena BPK, karena harga tidak wajar.
Akhirnya, RS memutuskan menjahit kain untuk masker. Piye ki? Ngenes tenan tenaga medis.”
Ya Allah, masker kain sungguh
tidak standar. Ia punya ibu yang menyabung nyawa di rumah sakit. Saya paling
tidak bisa tidak tersentuh jika sudah membicarakan tentang seorang ibu. Ia
adalah salah satu semangat saya dan teman-teman komunitas menggalang dana untuk
menebus masker dari salah satu penjual masker yang berhasil saya nego untuk
tidak menyerahkan maskernya pada tengkulak. Bagaimanapun caranya, masker itu
harus tersalurkan ke orang yang tepat. Biarlah orang nyinyir. Saya hanya dapat
komentar, sedang tenaga kesehatan itu bisa mati.
Begitulah tiap pagi saya koordinasi pembagian masker di grup WA sambil
terus mengawasi Ibu. Saya sempat kelimpungan karena Ibu hilang. Tidak terlalu
masalah kalau kondisi sedang tidak kondusif seperti ini. Mengantar Ibu ke
pengobatan alternatif saja ketar-ketir, karena masuk kampung keluarga PDP
korona. Ke klinik pun seperti itu, takut. Belum di perumahan Kakak ada ODP dari
Bogor. TNI sliwar-sliwer. Petugas BNPB juga. Ibu hilang di kondisi seperti ini
sungguh bikin jantungan. Takut beliau berinteraksi ke siapa saja. Minum obat
dan makan saja, Ibu masih harus dibilangi berkali-kali. Mana nyambung beliau
diajak ngomong soal korona? Ketika dibilangin pun, dikiranya anaknya ini
melarangnya jalan-jalan. Berkali-kali juga Ibu minta pulang kampung. Beliau
kepikiran sawahnya terus. Ya Allah, Buk, negara lagi geger, tulung.
Sebenarnya saya sudah mengalihkan perhatian dari gempuran pemberitaan
tentang korona dengan main-main sama keponakan, main sama kucing, lihat video
lucu-lucu, sampai bikin cilok yang bentuknya seperti pempek, saking nggak
terbentuk. Bentuk cilok itu seperti kondisi mental saya yang awut-awutan.
Intinya semua pengalihan itu tidak bisa mengusir rasa panik saya. Mau keluar
ambil uang di ATM saja takut. Terima paket dari kurir takut. Rasanya seperti
dikuntit malaikat Izrail.
Sungguh keseringan cuci tangan, lama-lama bikin saya
tak waras. Saya sampai mimpi buruk, mimpi bertemu korona dengan wujud seperti
bulu babi. Saya ngomong sama tuh virus, “Dik Ona, capernya udahan ya? Banyak
yang butuh bantuan medis nih. Ada yang mau lahiran, kecelakaan, pasien cuci
darah tiap minggu, dan lain-lain. Jangan kamu monopoli semua dong, oke?”
Selain gempuran berita korona, saya juga sering dicurhati teman tenaga
kesehatan. Salah seorang teman analis kesehatan yang bekerja di sebuah RS di
Jakarta Selatan mengeluh tentang terbatasnya APD, sampai kekhawatiran dirinya
yang bisa mati sebelum menjumpai orang tuanya di Wonogiri. Teman perawat lain, sempat curhat kalau ia sampai terpapar, ia mau bunuh diri karena takut menulari
orang. Ada juga cerita kenalan teman yang meninggal di kosannya ketika
melakukan isolasi mandiri.
Penderita covid seperti aib. Saya sungguh ingin
bilang pada orang-orang yang mengucilkan penderita covid, ketika ada kejadian
begini, tolong, support mereka. Selalu jaga komunikasi, antar kebutuhannya
sampai jarak aman. Lindungi mereka. Kalau begini sebenarnya yang membunuh bukan
virus itu sendiri, tapi stigma dari masyarakat. Saya bisa paham kenapa teman
saya paling ndableg dalam hal apa pun, saat-saat begini ia ikut panik. Saya bisa
mengerti karena ia tinggal di kos sendiri di Yogya sana. Sakit sendirian di
kosan itu memang mimpi buruk, apalagi tidak punya teman.
Tapi saya masih percaya keajaiban. Saya percaya pageblug ini akan berlalu. Bisa
saja ada plot twist. Teryata prediksi yang seram-seram itu tidak terjadi. Korona
minggat begitu saja. Saya merindukan berkumpul dengan keluarga dalam suasana
kondusif, naik kereta prameks ke Yogya, nongkrong sama teman-teman di Solo,
ziarah ke Kudus, menerbitkan buku baru lagi.
Oh, bahkan saya lupa kalau saya
belum menikah. Yang saya ingat adalah utang yang belum saya bayar ke teman. Mati
syahid pun kalau masih punya utang juga nggak boleh masuk surga dulu ya kan? Huhu.
Aduh kok jauh-jauh, yang terdekat saja lah. Saya pengin tarawih dan salat id
dengan tenang dan normal. Iya sih saya pernah bilang saya males kumpul-kumpul
keluarga besar yang kebetulan tahun ini jatahnya di rumah saya. Saya pernah
berdoa semoga acara kumpul-kumpul itu batal karena saya nggak mau ditanya kapan
menikah. Tapi ... ya nggak gini juga.
Gondangrejo, 28 Maret 2020
Impian Nopitasari, pekerja lepas di Solo.
0 comments