Pangeran Berjaket Denim

Lina Purwati



Siang itu, kukira akan menjadi hal paling memalukan yang pernah kualami. Bus yang kutumpangi begitu sesak. Aku memakai seragam putih kebangganku, kemeja berlengan panjang dan rok selutut berwarna senada. Sayangnya, rok itu kini ternoda oleh bercak merah. Di pertengahan jalan aku baru merasakan sesuatu yang basah di antara kedua pahaku. Saat bangkit, aku memerika rokku. Mengetahui ada sesuatu, aku bingung dan malu.

"Gimana ini?"

Aku menggigit bibir kuat-kuat dengan mata terpejam. Mengutuki tamu bulanan yang datang sesuka hati. Halte tempat biasa aku turun sudah terlewat jauh. Aku hanya bisa menunduk semakin rendah.

"Ups. Sorry!" Seorang cowok berteriak kencang, setelah menumpahkan jus wortel tepat di atas rokku.

Aku hanya bisa melotot. Moodku sudah benar-benar rusak. Oh, ini hari yang buruk.

"Aku nggak sengaja. Kamu bisa pakai jaketku untuk menutupinya." Cowok itu menyodorkan jaketnya. Tanpa pikir panjang, aku terima.

Belum sempat berterima kasih, cowok dengan kemeja putih sudah melenggang pergi menuju ke ambang pintu. Dalam hitungan ketiga, bus berhenti dan meninggalkan sosok yang kini kupercaya, kalau pangeran dalam dongeng itu ada. Bukan pangeran berkuda putih, tapi pangeran berjaket denim yang menyelamatkan sang putri.

***

  • Betapa romantisnya.
  • Semoga bertemu dengan pangeran berjaket denimmu.
  • Kamu kebanyakan nonton drama?
  • Itu jaketku. Mau bertemu denganku?


Aku hanya bisa memandang komentar-komentar di akun instagramku dengan membuang napas panjang. Foto segelas jus wortel dan sebuah jaket itu. Sepenuhnya aku sadar akan banyak komentar tidak mengenakkan hati dibanding komentar yang kuharapkan. Sudah dua tahun kejadian itu berlalu tapi belum juga kutemui pangeranku.

Mau bertemu? Aku kenal dengan pemilik jaket itu.

Alisku bertaut membaca komentar itu. Ini bukan komentar pertama yang meminta bertemu. Bedanya, ini komentar dari akun yang kukenal. Benarkah? Jariku bergerak menyentuh akun itu. Menampilkan seorang cowok dengan foto hitam putih sebagai foto profil. Namanya, @nichol_eran, kakak tingkatku di kampus. Pernah beberapa kali aku sekelas karena ia mengulang mata kuliah tahun lalu.

“Haruskah aku bertemu dengannya?”

Aku menggeleng. Teringat sebuah berita yang kebanyakan korban mutilasi karena pertemuan yang berasal dari media sosial. Aku merinding saat mengingatnya. Diperkosa, dianiaya, dibunuh dengan sangat mengerikan. Hingga keesokan harinya, ditemukan dengan potongan tubuh yang bercecer. Bisa jadi itu bukan Eran kakak tingkatku, kan? Apalagi di foto-foto instagram sangat berbeda dengan Nichol Eran yang kukenal. Lagipula aku juga malas bertemu dengannya.

“Berhenti berpikiran negatif, Arin.” Tanganku menepuk kedua pipi.

Jari-jariku terus bergerak melihat foto-foto cowok berkaca mata dengan potongan sedikit panjang disibakkan ke belakang. Hidungnya lancip dengan alis tebal dan mata yang kuamati menawarkan keteduhan saat ditatap. Jelas berbeda dengan Eran yang kukenal. Rambut gondrong dengan jambang dan kumis yang berantakan.

Aku hampir menutup instagram.  Namun sebelum menutupnya, aku melihat sepotong gambar cowok itu. Cowok berkemeja putih yang meminjamkan jaket padaku. Sedang merangkul pundak Nichol Eran.

***

“Arin?”

Aku mengerjap beberapa kali. Kepalaku sibuk mencocokan nama dengan cowok yang berada di depanku. Kulit wajahnya putih dengan sedikit kumis tipis di atas bibirnya yang merah. Tingginya sekitar seratus delapan puluh lima. Kemaja kotak-kotak yang digunakan cukup rapi, dikancing sampai leher. Berbeda dengan Nichol Eran yang kukenal super berantakan.

“I-iya.Aku mengangguk dengan kening berlipat.

“Apa aku semakin tampan hingga membuatmu melongo seperti itu?”

“Dasar narsis.

“Apa kau jadi menyesal karena menolak cintaku tahun lalu?”

Aku hanya membelalakan mata, tak percaya melihat kenarsisannya. Aku tidak menyesal sudah tiga kali menolak cintanya. Tidak sama sekali!

“Apa sih? Cuma beda banget aja. Eran kakak tingkatku itu super berantakan. Rambutnya panjang, kumis dan jambangnya tebal, pakai ....”

Senyum Eran kian lebar membuatku berhenti menjelaskan.

“Kau begitu memperhatikanku, eh?”

Hanya senyum kikuk yang bisa kutunjukan, lalu mengangguk pelan. “Kau tahu aku sangat berhati-hati. Bisa saja kau penguntit yang menggunakan nama Kak Eran, dan ternyata penculik, kan?”
Kali ini cowok di depanku terbahak begitu keras sambil memegangi perut. Bahkan beberapa pengunjung yang lewat sempat menoleh. Itu membuatku malu.

“Marah?”

“Tidak.”

“Di instagram itu foto aku waktu SMA. Itu sudah tiga tahun, kan? Terakhir kita sekelas itu tahun lalu. Jadi apa salahnya merubah penampilan?”

“Terus di mana pemilik jaket denim itu?” tanyaku to the point.

***

Minggu pagiku benar-benar terganggu dengan dering telepon dari nomor tak dikenal.

“Iya,” balasku singkat setelah orang di seberang memberi salam.

“Ini Eran. Ada yang ingin kubicarakan.”

“Bicara saja.”

“Baiklah, apa kau ada kertas?”

Pertanyaan Eran membuatku kembali fokus.

“Untuk apa?”

“Karena aku akan bilang sesuatu yang penting. Barang kali kau perlu mencatatnya.”

“Ya, aku ada kertas.”

“Kalau pen, ada?”

“Pen? Ada,” sahutku cepat. Sudah tidak sabar dengan apa yang akan diucapkan Eran.

“Kalau pacar, ada?”

“Pacar? Eh? Serius dikit kenapa? Nggak jelas kututup, nih.” Jelas-jelas ia tahu alasanku menolaknya karena menunggu pangeranku.

“Iya. Iya. Serius ini. Kalau cinta, ada?”

“Cinta?!” Tanpa sadar aku berteriak. Sedikit frustasi. “Cinta untuk apa?!”

“Untuk cowok yang minjamin jaket denim. Ada atau nggak?”

“Nggak ada!” sahutku lalu menutup telepon. Aku sudah malas berurusan dengan Eran. Kemarin, ia pergi setelah menerima telepon entah dari siapa tanpa memberitahuku pemilik jaket denim tersebut. Sebuah SMS masuk dari Eran.

Ayo ketemu di kafe Butter. Ada cowok pemilik jaket denim.

***

“Arin!” Eran berteriak memanggilku. Ia duduk di meja paling dalam dekat kasir.

Langkahku terhenti di ambang pintu, saat melihat penampilan Eran siang ini. Ia memakai kaos putih yang ditutupi dengan jaket denim berwarna biru dongker. Dengan dua saku di dada. Sama dengan jaket denim yang kubawa.

 “Mana pemilik jaket ini?” Aku mengeluarkan tas jinjing berisi jaket denim yang kubawa setiap hari selama dua tahun ini.

“Bentar lagi juga sampai. Pesan saja dulu sambil nunggu.”

“Makasih. Aku udah kenyang. Lagian aku cuma mau bilang makasih ke cowok itu.”

“Serius cuma itu?”

Alisku tertarik ke atas. “Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Bagus aja. Pesen gih. Aku traktir sebagai permintaan maaf.”

“Fadil!” teriakan Eran membuatku mengikuti arah pandangnya. Pada pintu masuk. Seorang cowok berambut gondrong sedang menggenggam tangan seorang cewek.

Detik itu aku tak tahu harus tersenyum atau menangis. Antara senang dan sedih. Senang karena akhirnya aku bertemu dengan seorang cowok yang meminjamiku jaket. Tapi sedih juga karena ternyata Fadil mengenalkan cewek itu sebagai pacarnya.

“Kinar.” Tanganku menyambut uluran tangan cewek berambut panjang sebahu yang digerai.

Aku menarik napas panjang dan memandang cowok di depanku. “Fadil, aku ingin mengembalikan jaketmu. Terima kasih.”

Basa-basi tidak ada dalam kamusku kali ini. Aku ingin segera pergi setelah mengembalikan jaket milik Fadil. Detik itu aku sadar kenangan manis biarlah disimpan saja dan dikenang sesuka hati.

Benar kata orang, selama dua tahun berharap bertemu dengan cowok berjaket denim, tak mungkin aku tak berharap lebih. Bukan sekadar bilang terima kasih. Terlebih lagi, aku sadar kalau harapan itu seperti balon yang terbang. Semakin tinggi, semakin besar kemungkinan untuk segera meletus.

“Wuah! Ini jaketnya Eran.”

Mataku melotot. “Maksudnya?”

“Dulu, aku ragu mau meminjamkan jaket ini atau tidak, karena aku pakai jaket yang sangat disayangi Eran. Akhirnya aku tanya Eran lewat WA. Ia bilang boleh.”

Aku menoleh pada Eran yang kini tersenyum. Mataku berpaling pada gelas Eran. Jus wortel.

“Itu juga ide Eran untuk menumpahkan jus wortel kesukaannya. Jadi, kau tak perlu malu kan?”

“Kak Eran...”

Senyum Eran yang kian mengembang membuatku merasa bersalah dan hanya bisa menunduk dalam. Menolak cintanya karena sebuah kenangan yang sebenarnya tak kutahu siapa pemilik sebenarnya.


LIna Purwati, guru matematika yang merasa kekal menjadi remaja dengan menulis dan membaca cerpen remaja. Novel debutnya terbit tahun 2019 berjudul Fake Boyfriend on Friday disusul dengan Pesan Cinta tanpa Judul. Karya-karya lainnya bisa dikunjungi di akun wattpad @linapurwati1. Dapat dihubungi melalui email linapurwati123@gmail.com

2 comments