Popularitas dan Laku Lancung
Popilaritas memang serupa candu memabukkan. Untuk mencapainya banyak orang jadi permisif. Menghalalkan sembarang upaya.
Saya
terenyum kecut dan merasa perih
hati manakala membaca biodata seorang penyair dalam sebuah buku antologi puisi
bersama. Di biodata itu tertulis, Fulan, penyair senior. Sepak terjangnya telah
sampai ke manca Negara. Sudah puluhan buku diulis, baik tunggal maupun keroyokan
bersama para penyair senior.
Lantas
atas biodata itu apa yang membuat saya terenyum kecut dan merasa perih hati?
Andaikata apa yang tertulis itu benar adanya, saya justru akan bersuka cita dan
tak habis bangga. Betapa tidak, sebab saya dan Fulan punya hubungan istimewa.
Bahkan boleh dikata sayalah yang kali pertama mengenalkan dia dengan dunia
puisi. Sampai menit tulisan ini dibuat saya masih berhubungan baik dengannya.
Sehingga rekam jejaknya sebagai penyair tidak lepas dari pantauan saya.
Apakah
biodata itu fiktif? Entahlah. Kendati sangat menyangsikan kebenarannya, saya
tak hendak menyoalnya lebih jauh. Darinya, saya lebih memilih mengambil hikmah,
nilai positif yang tersirat di sebaliknya. Bermuhasabah. Pada hening terbening
bersolilokui, bertanya lirih pada diri sendiri. Dalam rentang waktu sepanjang
tiga puluh sekian tahun menggeluti dunia tulis-menulis, menyertai jagat puisi,
apa yang sudah saya peroleh?
Sungguh,
tidak gampang menjawab pertanyaan itu. Kalaulah dipaksa menjawabnya, saya tidak
mampu berucap tanpa tergagap dan tanpa menghela napas panjang. Ya, ya, secara
konkret, apa yang sudah saya dapatkan dari berpuluh-puluh tahun menulis puisi?
Materi? Hem, rasanya tidak. Popularitas? Mungkin. Sekalipun cakupan luas wilayahnya
hanya sebatas lokal-regional.
Pertanyaan
lanjutannya, kalau materi tak didapat dan popularitas hanya diperoleh dalam
radius segitu, mengapa saya tetap nekat terus menulis? Itulah. Rupanya benar
bila ada yang berpendapat, hanya orang gila saja yang bersetia menulis puisi.
Hadew! Lha, mau apalagi? Wong saya kadung cinta. Wong kompetensi saya juga
pas-pasan. Lagipula, saat menulis saya juga tidak pernah punya hasrat agar nama saya populer.
Lebih-lebih agar kaya bin raya.
Tujuan saya menulis demi menulis itu sendiri
Ah,
masak iya begitu sih? Sumpah tanpa pocong, saya tidak bohong. Apa adanya.
Blakasuta saja, tujuan saya menulis demi menulis itu sendiri. Tidak ada demi
yang lain. Bilamana kemudian tersebab menulis nama saya jadi sedikit terkenal,
populer, saya anggap itu sebagai bentuk konkret dari hukum sebab akibat yang
wajar-wajar saja.
Stop!
Lalu apa hubungan semua itu dengan biodata si Fulan? Wah, iya ya. Maaf. Supaya
tidak jadi tulisan riya terselubung, mari kembali ke soal biodata. Sejujurnya,
lewat biodata itu saya ingin mengingatkan, bahwa jikalau tidak kuat iman dan
kurang pandai mengendalikan diri, penyair punya kemungkinan besar mudah
terjerumus pada laku suka berdusta. Seringnya hidup dan bermain-main di wilayah
dunia imajinasi potensial menjadikan dirinya alpa. Tidak bisa membedakan mana
yang nyata dan mana yang khayal.
Saya
punya beberapa teman penyair yang seperti itu. Suka berdusta, gampang menabur
janji manis, PHP, bicaranya acap jauh panggang dari api. Apa yang mereka cari?
Duga sangka saya, kreativitas sesat dan murahan itu dilakukan untuk mendapatkan
pusat perhatian. Namanya ngehit, jadi topik utama pembicaraan di
mana-mana. Populer. Tak peduli popularitas itu tergolong hak atau batil. Nauzubillah min zalik.
Apakah
Fulan termasuk salah satu dari kawanan penyair itu? Saya tidak tahu. Namun bila
saja biodata yang ditulisnya benar fiktif, besar kemungkinan ia juga sedang
merintis jalan menuju ranah popularitas itu. Tersebab kualitas karyanya kurang
mendukung ia memilih jalan lain yang mudah dilakukan. Menjual bual dengan
membuat biodata bodong. Bisa jadi ia sudah capai menjadi bukan siapa-siapa dan
terlalu kebelet jadi sesiapa.
Popilaritas
memang serupa candu memabukkan. Untuk mencapainya banyak orang jadi permisif.
Menghalalkan sembarang upaya. Beraneka kabar perihal itu sudah banyak kita
dengar. Demi popularitas betapa seorang mahasiswi merelakan dirinya digagahi
pemandu audisi pemeran utama sinetron abal-abal. Demi popularitas betapa
seorang penulis pemula nekat melakukan plagiarisme, nyolong tulisan orang lain.
Demi popularitas betapa seorang penyair kelas semenjana sudi mendegradasi
harkat kemanusiaannya, secara suka cita jadi tukang pijat dadakan redaktur
budaya sebuah koran dengan tujuan puisinya tersiarkan. Hadew.
Sebenarnya
apa sih yang bisa didapat dari popularitas? Banyak. Antara lain, panggung
utama, sanjung puji, tatap kagum, layanan VIP. Pokoknya, kondisi istimewa yang
menempatkan seseorang sebagai bintang. Menggiurkan bukan? Tidak heran jika
banyak orang berupaya keras mencapainya.
Akan
tetapi, apa arti popularitas bila dicapai dengan laku lancung? Fulan,
mahasiswi, penulis pemula, penyair semenjana, yang dijadikan ilustrasi di atas
adalah representasi kecil dari hasrat sesat manusia. Hasrat menjadi kaya
dadakan, hasrat menjadi penguasa tiba-tiba, hasrat menjadi penulis instan,
hasrat menjadi penyair karbitan, hasrat menjadi bintang segala bintang.
Esai
ini dibuat dengan maksud tunggal, mengingatkan. Mengingatkan diri saya sendiri,
kalian, dan siapa pun yang masih mau diingatkan. Berhasrat menjadi apa pun
boleh-boleh saja. Dengan catatan, proses pencapaaiannya dilakukan dengan cara
bersih dan lurus. Bukan dengan sebaliknya, cara culas dan serong kanan kiri.
Baca Juga:
Laku Rendah Hati dan Kesombongan Terselubung
Memanfaatkan Komunitas untuk Belajar dengan Gembira
Jangan (Hanya) Jadi Penyair
Mukti Sutarman Espe, penyair, redaktur tajug.net, mukim di Kudus.
0 comments