Popularitas dan Laku Lancung

Mukti Sutarman Espe

mukti sutarmen espe

Popilaritas memang serupa candu memabukkan. Untuk mencapainya banyak orang jadi permisif. Menghalalkan sembarang upaya.



Saya terenyum kecut dan merasa perih hati manakala membaca biodata seorang penyair dalam sebuah buku antologi puisi bersama. Di biodata itu tertulis, Fulan, penyair senior. Sepak terjangnya telah sampai ke manca Negara. Sudah puluhan buku diulis, baik tunggal maupun keroyokan bersama para penyair senior.

Lantas atas biodata itu apa yang membuat saya terenyum kecut dan merasa perih hati? Andaikata apa yang tertulis itu benar adanya, saya justru akan bersuka cita dan tak habis bangga. Betapa tidak, sebab saya dan Fulan punya hubungan istimewa. Bahkan boleh dikata sayalah yang kali pertama mengenalkan dia dengan dunia puisi. Sampai menit tulisan ini dibuat saya masih berhubungan baik dengannya. Sehingga rekam jejaknya sebagai penyair tidak lepas dari pantauan saya.

Apakah biodata itu fiktif? Entahlah. Kendati sangat menyangsikan kebenarannya, saya tak hendak menyoalnya lebih jauh. Darinya, saya lebih memilih mengambil hikmah, nilai positif yang tersirat di sebaliknya. Bermuhasabah. Pada hening terbening bersolilokui, bertanya lirih pada diri sendiri. Dalam rentang waktu sepanjang tiga puluh sekian tahun menggeluti dunia tulis-menulis, menyertai jagat puisi, apa yang sudah saya peroleh?

Sungguh, tidak gampang menjawab pertanyaan itu. Kalaulah dipaksa menjawabnya, saya tidak mampu berucap tanpa tergagap dan tanpa menghela napas panjang. Ya, ya, secara konkret, apa yang sudah saya dapatkan dari berpuluh-puluh tahun menulis puisi? Materi? Hem, rasanya tidak. Popularitas? Mungkin. Sekalipun cakupan luas wilayahnya hanya sebatas lokal-regional.

Pertanyaan lanjutannya, kalau materi tak didapat dan popularitas hanya diperoleh dalam radius segitu, mengapa saya tetap nekat terus menulis? Itulah. Rupanya benar bila ada yang berpendapat, hanya orang gila saja yang bersetia menulis puisi. Hadew! Lha, mau apalagi? Wong saya kadung cinta. Wong kompetensi saya juga pas-pasan. Lagipula, saat menulis saya juga tidak  pernah punya hasrat agar nama saya populer. Lebih-lebih agar kaya bin raya.

Tujuan saya menulis demi menulis itu sendiri

Ah, masak iya begitu sih? Sumpah tanpa pocong, saya tidak bohong. Apa adanya. Blakasuta saja, tujuan saya menulis demi menulis itu sendiri. Tidak ada demi yang lain. Bilamana kemudian tersebab menulis nama saya jadi sedikit terkenal, populer, saya anggap itu sebagai bentuk konkret dari hukum sebab akibat yang wajar-wajar saja.

Stop! Lalu apa hubungan semua itu dengan biodata si Fulan? Wah, iya ya. Maaf. Supaya tidak jadi tulisan riya terselubung, mari kembali ke soal biodata. Sejujurnya, lewat biodata itu saya ingin mengingatkan, bahwa jikalau tidak kuat iman dan kurang pandai mengendalikan diri, penyair punya kemungkinan besar mudah terjerumus pada laku suka berdusta. Seringnya hidup dan bermain-main di wilayah dunia imajinasi potensial menjadikan dirinya alpa. Tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayal.

Saya punya beberapa teman penyair yang seperti itu. Suka berdusta, gampang menabur janji manis, PHP, bicaranya acap jauh panggang dari api. Apa yang mereka cari? Duga sangka saya, kreativitas sesat dan murahan itu dilakukan untuk mendapatkan pusat perhatian. Namanya  ngehit, jadi topik utama pembicaraan di mana-mana. Populer. Tak peduli popularitas itu tergolong hak atau batil. Nauzubillah min zalik.

Apakah Fulan termasuk salah satu dari kawanan penyair itu? Saya tidak tahu. Namun bila saja biodata yang ditulisnya benar fiktif, besar kemungkinan ia juga sedang merintis jalan menuju ranah popularitas itu. Tersebab kualitas karyanya kurang mendukung ia memilih jalan lain yang mudah dilakukan. Menjual bual dengan membuat biodata bodong. Bisa jadi ia sudah capai menjadi bukan siapa-siapa dan terlalu kebelet jadi sesiapa.

Popilaritas memang serupa candu memabukkan. Untuk mencapainya banyak orang jadi permisif. Menghalalkan sembarang upaya. Beraneka kabar perihal itu sudah banyak kita dengar. Demi popularitas betapa seorang mahasiswi merelakan dirinya digagahi pemandu audisi pemeran utama sinetron abal-abal. Demi popularitas betapa seorang penulis pemula nekat melakukan plagiarisme, nyolong tulisan orang lain. Demi popularitas betapa seorang penyair kelas semenjana sudi mendegradasi harkat kemanusiaannya, secara suka cita jadi tukang pijat dadakan redaktur budaya sebuah koran dengan tujuan puisinya tersiarkan. Hadew.

Sebenarnya apa sih yang bisa didapat dari popularitas? Banyak. Antara lain, panggung utama, sanjung puji, tatap kagum, layanan VIP. Pokoknya, kondisi istimewa yang menempatkan seseorang sebagai bintang. Menggiurkan bukan? Tidak heran jika banyak orang berupaya keras mencapainya.
Akan tetapi, apa arti popularitas bila dicapai dengan laku lancung? Fulan, mahasiswi, penulis pemula, penyair semenjana, yang dijadikan ilustrasi di atas adalah representasi kecil dari hasrat sesat manusia. Hasrat menjadi kaya dadakan, hasrat menjadi penguasa tiba-tiba, hasrat menjadi penulis instan, hasrat menjadi penyair karbitan, hasrat menjadi bintang segala bintang.

Esai ini dibuat dengan maksud tunggal, mengingatkan. Mengingatkan diri saya sendiri, kalian, dan siapa pun yang masih mau diingatkan. Berhasrat menjadi apa pun boleh-boleh saja. Dengan catatan, proses pencapaaiannya dilakukan dengan cara bersih dan lurus. Bukan dengan sebaliknya, cara culas dan serong kanan kiri.

Lebih baik menjadi pecundang yang bermartabat daripada jadi pemenang yang tidak punya harga diri. Begitulah mottonya. Tabik dan salam Tajug.


Baca Juga:
Laku Rendah Hati dan Kesombongan Terselubung
Memanfaatkan Komunitas untuk Belajar dengan Gembira
Jangan (Hanya) Jadi Penyair 

Mukti Sutarman Espe, penyair, redaktur tajug.net, mukim di Kudus.

0 comments