Puisi Fadlillah Rumayn [Sepekan Parade Puisi #DIRUMAHSAJA]

Fadlillah Rumayn

puisi corona


BEKERJA DARI RUMAH


Di jendela kamar, aku melihat tubuhku seperti sarapan dingin. Sepasang telur dadar kesiangan dan kopi yang terlalu manis. Aku berjalan ke meja dan membayangkan kepalaku bergoyang. Kepalaku menampung semua bunyi. Akhir-akhir ini deru kendaraan adalah bunyi yang paling merdu.

Pekerjaan kini memiliki seluruh waktuku. Talenan tertawa-tawa melihatku kehilangan meja kerja juga kalender duduk. Gawai berisi potret-potret kertas yang tak bisa diremas. Di malam hari, aku terbangun untuk menonton anak-anak mengerjakan tugas.

Saat bangun pagi, aku merasa tubuhku menjadi sekecil burung. Rumah bagai sangkar besar yang memiliki sedikit ranting untuk dihinggapi. Di luar, virus pemburu terbang mencari mulut atau pintu yang banyak bicara.

Di televisi, lampu-lampu jalan di luar negeri tampak paling bising. Orang-orang hanya melihat-lihat dari rumah. Tabungan jalan-jalan disumbangkan ke rumah sakit. Sementara tubuh mereka disimpan agar masih bisa tertawa.

Televisi sama basinya dengan nasi-nasi ruwahan1 di kulkas. Kenangan lama diputar ulang. Orang-orang membutuhkan humor apa saja. Untungnya humor tak memiliki cap kadaluwarsa.

Di stasiun lain, program bagi-bagi duit tiap hari berhenti tayang. Sebagai gantinya, juru bicara presiden menghitung orang mati setiap hari. Orang-orang mati itu bisa jadi target bagi-bagi duit yang tak jadi.

Aku mematikan televisi dan membuka lemari. Pikiran yang berantakan ingin tinggal dalam lipatan setelan kerja. Tangan yang lelah ingin menyusup ke dalam sakunya. Barangkali terkena spidol kering bisa membuat detak jam lebih gegas.

Di instagram, para selebriti mengunggah keramaian dalam rumahnya. Aku membayangkan bila salah satu keluarga di sana adalah tukang bakso keliling yang biasa lewat. Atau tukang sol sepatu. Atau penjual sapu sawang. Atau wali murid yang kemarin dirumahkan.

Bunga di beranda ingin kau datang. Sesekali ia menjatuhkan kelopaknya, menghitung sudah berapa lama sepatumu tak menyisi sepatuku. Sepatuku sudah lama bersisian dengan galon cuci tangan.

Saat malam, lelah mengawasiku hingga tempat tidur. Bolak-balik dari beranda sampai kamar mandi setiap hari ternyata lebih capai dari  menjelaskan volume balok. Telingaku kini berjejal decak cicak dan denging nyamuk. Kadang-kadang telingaku sendiri ingin keluar dari sana. Bermain tik-tok, atau menyiram shopee tanam.

Malam ini, langit sesekali mengilat dan mengirim geledek. Mendung menggantung namun gerimis tak bergegas turun. Jangan-jangan hujan juga sama malasnya denganku saat bekerja dari rumah.


Ruang antara, 21 April 2020


1 ruwahan: tradisi mendoakan orang mati di bulan ruwah (sya'ban)


Fadlillah Rumayn, tinggal di Kudus, bekerja di rumah.

0 comments